BAB 8

4.9K 104 1
                                    

Azka POV

Aku memasuki rumah yang tampak sepi. Para asisten rumah tangga sudah pulang. Istriku belum pulang ke rumah. Dadaku terasa sesak. Pulang ke rumah tidak pernah membuatku tenang. Rasanya seperti terkurung di penjara. Aku tidak tahu rumah ini bisa disebut rumah atau tidak. Yang aku tahu rumah itu adalah tempat yang menenangkan. Tempat berkeluh kesah setelah lelah direcoki oleh dunia.

Aku menyalakan pancuran air. Mengguyur badanku dengan air dingin, berharap bisa menghilangkan rasa sesak di dadaku. Seperti ada batu besar yang menghimpit dadaku ketika aku kembali pulang ke rumah. Pulang? Entah kegiatan ini bisa kuanggap pulang atau tidak. Orang - orang menganggap hidupku sempurna. Menikahi perempuan cantik, kehidupan yang mapan, dan wajah yang tampan. Semua yang diinginkan kebanyakan lelaki ada pada diriku.

Aku melihat sosok bermata cokelat itu dari kaca. Ia tampak kelelahan untuk berpura - pura tersenyum setiap hari. Tiba - tiba aku mendengar suara pintu dari lantai bawah. Suara sepatu hak tinggi bergema ke seluruh ruangan, memecahkan keheningan. Itu sudah pasti istriku. Istri yang setiap hari kerjanya hanya berfoya - foya. Tidak pernah peduli kepadaku.

"Hai, sayang. Baru siap mandi?" tanya istriku saat memasuki kamar kami.

"Yeah, bisa lihat sendiri kan?" 

"Kamu benar, seharusnya aku mencoba usaha ini dari dulu. Dari pada setiap hari aku beli baju. Lebih baik aku membuat brand sendiri. Aku suka hasil pemotretannya tadi. Semuanya tampak mengagumkan. Dia sempurna untuk menjadi modelnya." katanya mulai berceloteh.

"Oh, baguslah." komentarku singkat.

"Udah makan?" tanya nya sambil melemparkan tas nya secara asal ke tempat tidur.

"Udah, kamu?" tanyaku balik.

"Udah sayang. Aku makan steak di restauran kesukaanku tadi. Rasanya masih oke meskipun chefnya sudah ganti."

Aku menyorongkan sehelai kaos putih ke badanku. Lalu memasang celana dan berbaring di tempat tidur. Sedangkan istriku duduk di meja riasnya. Menghapus makeup tebal yang menjadi topengnya sehari - hari. Mencopot perhiasan yang menghiasi leher dan tangannya. 

"Sayang, ada cincin berlian keluaran terbaru. Tadi aku lihat, bentuknya  lebih indah dari cincin pernikahan kita. Mau belikan itu untuk hadiah Anniversary pernikahan kita nanti?" tanya nya sambil memandangi cincin pernikahan kami.

"Oke, aku mau tidur. Jangan lupa matikan lampu nanti." kataku sambil memejamkan mataku.

Aku belum sepenuhnya tidur. Aku hanya berpura - pura tidur hingga istriku jatuh tertidur. Lalu ketika ia sudah tertidur aku menyelinap keluar dan pergi ke tempat persembunyianku. Aku memiliki bar pribadi yang berada tepat di atas caffe yang aku miliki. Tidak banyak yang tahu tempat ini. Hanya aku dan teman - temanku yang tahu. Dulu tempat itu adalah tempat persembunyian kami ketika bolos sekolah.

Aku menyalakan mesin mobil dan mulai melajukan mobilku ke jalanan yang telah sepi. Perasaanku terasa tenang ketika meninggalkan rumah terkutuk itu. Aku membuka jendela, membiarkan udara masuk ke dalam. Lalu menghirup udara dalam - dalam untuk menghilangkan rasa sesak di dadaku. Entah sampai kapan aku bisa bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia ini. 

Akhir - akhir ini aku mulai memikirkan masa depanku kelak. Aku sudah bosan bermain - main. Setidaknya aku ingin mencari belahan jiwaku yang sudah pasti orang itu bukan istriku. Aku ingin memiliki anak, hidup bahagia, dicintai, dan mencintai. Pernikahan kami hanya sebatas pernikahan bisnis. Ayahnya adalah direktur Bank yang akan membantu perusahaan kami. Aku dengan sukarela menikah dengannya atas permintaan mami. Aku bosan menjadi muda mengatakan ya pada semua orang. Bosan menjalani hal yang tidak aku suka. 

Kamu akan menyukai ini

          

Sudah dua tahun kami menikah, belum pernah sedetik pun hati ini berdesir untuknya. Ia tidak memiliki kelebihan apa pun yang dapat membuatku jatuh cinta. Terlalu manja, pemarah, egois, dan hal buruk lainnya ada padanya. Rasanya aku ingin tinggal selamanya di gedung ini. Aku memarkirkan mobilku di depan gedung yang menjadi tempat persembunyian kami.

Dulu lantai bawah gedung ini tidak ada apa - apa. Dari luar gedung ini hanya seperti gedung kosong yang terbengkalai. Tetapi, hal itu tampaknya membuat gedung ini terlihat semakin mencurigakan. Maka, aku membangun caffe di lantai bawah supaya tidak mengundang kecurigaan ketika kami keluar masuk gedung ini. 

Aku menaiki lantai atas gedung ini lalu, memasukkan kata sandi dan membuka pintu. Basecamp kami sepi. Tidak ada yang mampir malam ini. Teman - temanku telah memiliki kehidupannya masing - masing. Aku menghidupkan lampu untuk menerangi ruangan.

"Hai, ka. Tumben telat? Biasanya jam sepuluh udah disini?" kata sebuah suara mengagetkanku. Farel memperbaiki posisi tidurnya dan kembali bergelung di dalam selimutnya. Ah, aku lupa. Kecuali laki - laki ini tentunya. Ia masih sama seperti saat kami duduk di bangku SMA dulu. Tidak ada yang berubah dari hidupnya. Masih tetap bersenang - senang seperti dulu. Di saat kami semua telah menikah atau menemukan kekasih dia masih setia melajang dan bermain - main dengan banyak wanita. Hidupnya seperti tidak memiliki beban. Bebas.

"Mau minum lagi nggak?" tanyaku menawari Farel. Aku mengambil sebotol bir dari kulkas.

"Gue tadi udah ngabisin sebotol wine. Wine punya lu yang elu beli di Milan." kata Farel santai.

Aku melempar Farel dengan kotak rokok yang kebetulan berada dalam genggamanku. "Ah, sakit ka! Sorry, gue kira elu nggak bakal datang. Tapi, terima kasih ya. Enak banget soalnya jadi nggak bisa berhenti." kata Farel mencoba membela diri.

"Gue hemat - hematin minumnya untuk hari penting. Kampret lu rel!" 

"Hari penting apaan? Ulang tahun lo kan udah lewat? Ulang tahun pernikahan lo? Rasanya elo nggak secinta itu sama bini lo. Pelit amat sih sama teman sendiri." kata Farel kesal.

"Kali aja gue mau minum sama pacar baru gua." kataku mencari alasan.

"Nah, jadi gimana sama chef itu?" tanya Farel penasaran. Ia bangun dari tidurnya dan ikut duduk di depan meja bar bersamaku.

"Lancar, dia baik hati. Rasanya setiap kali memandang matanya gue jatuh cinta." kataku jujur. Belum pernah aku menemukan perempuan dengan kepribadian seelok itu. Ia cantik begitu pula dengan hatinya. Bahkan ia tidak pernah menatap lama mataku. Aku sudah jatuh hati padanya sejak bertahun - tahun yang lalu. 

"Nice, gue senang kalau lo senang ka. Mainkan pesona lo. Udah lama juga nggak punya pacar lagi kan?" kata Farel menyemangatiku.

"Tapi, kali ini kayanya gue beneran jatuh cinta rel. Bukan cuma untuk bersenang - senang." kataku lirih. Hatiku goyah olehnya. 

"Yaudah gas aja. Kalau dia memang buat lo nggak akan kemana kok." 

"Masalahnya gue ini laki - laki yang sudah beristri, rel. Apa dia masih mau sama gue? Setelah tahu gue udah punya istri." kataku ragu. 

"Sejak kapan lo jadi mikirin status lo? Biasanya elo nggak mikirin itu, ka. Lo sekali bangsat ya bangsat aja. Biasanya cewek - cewek yang lain tetap mau kok sama lo walaupun tahu lo udah punya bini." kata Farel sambil mengacak - acak rambutku.

Shanin perempuan yang berbeda. Ia perempuan berkelas yang tidak membutuhkan laki - laki. Tidak seperti perempuan yang biasa mendekatiku. Aku tidak berani untuk melangkah lebih jauh dengannya. Hubungan kami hanya sebatas teman. Bahkan aku tidak berani menyentuh tangannya meskipun aku sangat ingin. Cepat atau lambat ia pasti akan mengetahui bahwa aku telah memiliki istri. Aku tidak ingin dia menjauh dariku.

An AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang