Tanah Jatinangor dan kontrakan bajak laut.

997 121 164
                                    

Part 1

Enjoy reading, okay?

'______'🌍

Debu-debu berterbangan memenuhi udara sore di jatinangor, terbawa hembusan angin yang sesekali menggelitik kulit. Jalanan sempit dipenuhi kendaraan yang melaju dengan ritme mereka masing-masing, beberapa terburu-buru dan beberapa-nya lagi berjalan dengan santai. Ditengah kesibukan itu, suara knalpot motor vespa abu-abu membelah kebisingan dengan nada khasnya yang bergetar pelan. Vespa itu milik seorang pemuda bernama Bumi Bratadikara Nayaka, yang kini sedang menyusuri jalanan dengan kecepatan yang seolah mengikuti irama nafasnya sendiri—tenang, tidak tergesa-gesa seperti seseorang yang tau bahwa hidup tak perlu selalu dikejar.

Bumi duduk di atas motornya dengan santai, satu tangannya menggenggam stang motor miliknya, sementara tangan lainnya sesekali mengangkat helm half-facenya sedikit, membiarakan udara sore menyentuh kulitnya. Dimatanya yang berkilat jenaka dunia adalah panggung yang harus dinikmati setiap detiknya. Sore ini bukan sekedar perjalanan menuju satu tempat, melainkan ritual kecilnya dalam meresapi kehidupan di pinggiran kota kecil ini.

Dipinggir jalan, seorang penjual gorengan tengah mengibas-ngibas wajan berisi minyak panas. Begitu melewatinya, Bumi mengangkat dagunya sambil berseru, “Mang! Masih panas nggak tempe mendoannya? nanti saya kesini ya. Bawa pasukan kayak biasa.” Suara tawa si pedagang mengiringi laju motor vespanya yang tetap konstan.

Tak jauh dari situ, seorang tukang parkir tengah duduk diatas motor, merokok sambil mengamati kendaraan yang keluar-masuk minimarket kecil. Bumi menekan klaksonnya dua kali, lalu mengacungi jempol. “Jangan kebanyakan ngelamun, kang. Nanti dikira lagi mikirin mantan!” celetuknya, disambut gelengan kepala si tukang parkir yang hanya bisa tertawa kecil.

Ketika vespa itu mendekati gang kecil yang di dalamnya terdapat lapangan tanah berdebu, beberapa anak sedang asyik bermain sepak bola. Salah seorang anak menendang bola terlalu keras hingga menggelinding ke tepi jalan. Bumi spontan menghentikan motornya, menendang bola itu kembali dengan akurasi yang cukup baik. “Gol buat abang, ya!” katanya, lengkap dengan ekspresi bangga yang dibuat-buat.
Anak-anak itu tertawa dan berteriak riang, sementara Bumi hanya menyeringai, melanjutkan dengan angin yang menerbangkan sisa-sisa debu belakangnya. Diwajahnya, senyum tengil itu tidak pernah luntur—seperti tanda dagang yang sudah dipatenkan atau mungkin lebih tepatnya bagian dari dirinya yang tak bisa lepas dari caranya melihat dunia.

Jatinangor menjadi tempat pelarian Bumi sejak hampir satu tahun lalu. Setelah menyelesaikan SMA di Jakarta, ia memutuskan untuk melanjutkan studinya di salah satu universitas di pinggiran Bandung dengan mengambil program studi ilmu politik. Keputusan itu bukan sesuatu yang mudah ia meninggalkan orang-orang yang disayanginya, juga segala kenyamanannya yang selama ini membentuk hidupnya di Jakarta.
Namun, Bumi tau ia butuh pergi, ada sesuatu di kota itu yang membuatnya merasa terjebak—entah rutinitas yang terlalu familiar atau kenangan yang semakin berat untuk dipikul. Ia ingin mencari tempat baru, lembaran baru dan mungkin, dirinya yang baru.

Jatinangor mungkin bukan tempat yang pernah ada dalam rencananya, tapi di sini, ia belajar menghirup udara dengan lebih lega. Tidak ada kebisingan jalanan yang terlalu padat, tidak ada bayang-bayang yang membayangi langkahnya. Hanya ada jalan-jalan kecil yang ia lalui dengan vespa abu-abunya, sapaan hangat daro orang-orang semakin terasa akrab serta langit senja yang pelan-pelan memberi ketenangan.
Setibanya dikontrakan, Bumi memarkirkan motor kesayangannya di samping sebuah mobil Honda CR-V keluaran terbaru yang mencolok di halaman. Alisnya bertaut, matanya menyipit penuh kecurigaan, mobil itu terlalu kinclong, terlalu berkilau dibawah cahaya sore yang mulai meredup—kontras dengan suasana kontrakan yang lebih sering dipenuhi tawa keras, gelas kopi bekas, dan sendal yang berserakan di teras.

          

“Ya ampun! Si sultan KW pulang juga!" gumamnya dengan nada dramatis. Ia melirik mobil itu sekali lagi, lalu beralih menepuk nepuk jok motor vespanya dengan penuh kasih sayang seolah-olah menenangkan motornya yang tiba-tiba jadi terlihat lusuh disamping kendaraan mahal itu. “Lik, lo yakin gak salah parkir disini? Ini kontrakan bajak laut bukan showroom mobil mewah.”

Dari dalam kontrakan terderngar suara tawa malas khas seorang pemuda yang baru saja bangun tidur. “Dih. Iri bilang bos.”

Kontrakan mereka memang dijuluki “bajak laut” bukan tanpa alasan. Interiornya lebih mirip kapal yang karam ditengah lautan—berantakan, kusam, tapi entah bagaimana tetap bertahan menghadapi ombak kehidupan par penghuninya. Sofa usang di ruang tengah yang kulitnya sudah mengelupas masih setia menampung tubuh-tubuh lelah setelah berkutat dengan kuliah atau kegiatan lain yang lebih mereka prioritaskan ketimbang tugas. Meja kayu disudut ruangan penuh coretan spidol, entah hasil kalkulasi tugas ekonomi, coretan iseng saat rapat organisasi atau pesan pesan konyol yang ditinggalkan oleh penghuni kontrakan sebelumnya. Barang-barang berserakan dimana-mana—helm yang entah milik siapa menumpuk diatas rak sepatu, baju kotor tercampur dengan kabel charger dan setumpuk gelas kopi yang belum sempat di cuci.

Aroma khas kopi basi dan asap rokok menjadi identitas yang melekat di tempat ini, bercampur dengan wangi minyak kayu putih dari salah satu penghuni yang entah kenapa selalu masuk angin. Udara yang sedikit pengap justru memberikan rasa nyaman bagi mereka yang telah terbiasa. Bagi Bumi dan teman-temannya, tempat ini bukan sekedar tempat tinggal saja melainkan surga kecil mereka, sebuah tempat berlindung dari kerasnya dunia akademik, tempat berbagi cerita, tertawa hingga larut malam, dan kadang-kadang tempat pelarian dari realita yang tidak selalu berpihak pada mereka.

Begitu masuk, Bumi langsung menjatuhkan dirinya ke sofa tanpa perduli apakah ada orang lain yang sudah lebih dulu duduk disana atau tidak. Tubuhnya ambruk dengan suara berdehem, menambah sedikit debu yang mengepul dari bantalan sofa yang sudah tua. Ia menoleh ke samping dan menemukan Kamalik—teman kontrakannya yang paling tua sedang duduk santai sambil merokok. Wajahnya seperti biasa datar tanpa ekspresi, seperti laki-laki yang terlalu banyak melihat kegilaan dunia hingga tak lagi mudah terkejut.

Kemalik, mahasiswa Teknik Geologi yang lebih sering terlihat sibuk dengan catatan lapangan dan bebatuan dikamarnya memang dikenal sebagai orang yang paling tenang dikontrakan ini. Ia seperti gunung berapi yang sudah lama mati—diam, tenang tapi kalo meledak bisa bikin satu kontrakan rebut sampai seminggu.

“Lik, serius deh. Lo nggak mau sekalian pasang neon sigh Billionare boys club di depan kontrakan?” Bumi melepas helmnya dengan malas, melirik sekilas kearah mobil Honda CR-V di luar yang masih terasa terlalu mewah berada disini.

Kamalik mengembuskan asap rokoknya pelan, seolah sedang memikirikan jawaban yang berbobot, padahal aslinya ia malas sekali merespon. “Dih, iri bilang bos.” Katanya akhirnya singkat dan penuh keangkuhan.

Bumi mendengus, lalu merebahkan kepalanya ke sandaran sofa yang sudah semakin miring. “Kalo gue jadi lo, Lik. Gue bakal jual tuh mobil buat beli vespa 5 biji terus sisanya buat hidup santai.”

Kamalik terkekeh kecil, menepuk-nepuk saku celananya mencari korek api meskipun rokok ditangannya masih menyala. “Kalo gue jadi lo, gue bakal berhenti ngayal.”

Bumi mendengus lagi, tapi kali ini lebih keras. Sementara itu, dari arah dapur terdengar suara gelas berbenturan dan sumpah serapah kecil dari seseorang yang kemungkinan besar baru saja menjatuhkan sesuatu. Suasana kontrakan seperti biasa—rebut, berantakan dan penuh omongan sarkas.

“Anjir! Siapa sih yang naro gelas dipinggir meja?!” suara Daffa menggema, terdengar jelas kekesalannya.

Daffa alfarizki Mahendra, mahasiswa hukum yang seharusnya sibuk dengan pasal-pasal malah lebih sering sibuk berdebat tentang hal-hal absurd di dalam kontrakan. Kalo ada argument tentang topik apapun, dia pasti yang peling berisik. Bahkan hal sepele seperti mie instan lebih enak direbus atau digoreng bisa jadi perdebatan panjang jika daffa ikut campur.

BUMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang