Tanah Jatinangor dan kontrakan bajak laut.

990 120 164
                                    

Part 1

Enjoy reading, okay?

'______'🌍

Debu-debu berterbangan, memenuhi udara sore di Jatinangor. Suara knalpot motor Vespa abu-abu milik seorang pemuda bernama Bumi Bratadikara Nayaka menyusuri jalanan sempit. Vespa itu tidak melaju kencang, seakan-akan mengikuti ritme santai pemiliknya yang tak pernah terburu-buru dalam hidup. Dalam perjalanan, Bumi tidak pernah absen untuk melayangkan sapaan—entah kepada penjual gorengan di pinggir jalan, tukang parkir, bahkan ke anak-anak yang bermain bola di lapangan dekat gang. Senyum tengil selalu melekat di wajahnya, seperti tanda dagang yang sudah ia patenkan.


"Oi, Bos! Dagangan laris, ya?" serunya kepada seorang bapak penjual keliling sambil mengangkat tangan.

Bapak itu tersenyum heran, mungkin karena tidak kenal, tapi membalas lambaian tangan Bumi. Begitulah gaya Bumi. Ia tak peduli siapa yang ia sapa, selama orang itu membalas senyumnya. Menurutnya, dunia ini sudah cukup suram, jadi kenapa tidak menyebar tawa saja?

Jatinangor menjadi tempat pelarian Bumi sejak hampir setahun lalu. Setelah menyelesaikan SMA di Jakarta, ia memutuskan untuk melanjutkan studi Ilmu Politik di salah satu universitas ternama di Bandung. Meninggalkan orang orang yang ia sayangi. Bukan keputusan yang mudah, mengingat ia meninggalkan segala kenyamanan hidupnya di Jakarta, tapi Bumi tau—ia butuh keluar dari sana. Ia ingin mencari tempat baru, lembaran baru, dan mungkin diri yang baru.

Setibanya di kontrakan, ia langsung memarkirkan Vespa kesayangannya di samping mobil Honda CR-V keluaran baru yang mencolok di halaman. Dengan mata menyipit, ia menatap mobil itu penuh curiga.

“Ya ampun! Si sultan kw pulang juga. Mal, lo yakin gak salah parkir di sini? Ini kontrakan bajak laut, bukan showroom mobil mewah!” gumamnya sambil menepuk-nepuk jok Vespa-nya, seolah-olah memberitahu motornya untuk tidak minder.

Kontrakan mereka dijuluki "Bajak Laut" bukan tanpa alasan. Interiornya lebih mirip kapal yang karam di tengah lautan. Sofa usang yang kulitnya sudah mengelupas, meja kayu penuh coretan spidol, dan barang-barang berserakan di mana-mana. Aroma khas kopi basi dan rokok menjadi ciri khas tempat ini. Namun, bagi Bumi dan teman-temannya tempat ini adalah surga kecil mereka di tengah kesibukan kampus.

Begitu masuk, Bumi langsung menjatuhkan diri ke sofa, tanpa peduli apakah ada orang lain yang sudah duduk di sana atau tidak. Ia melihat Kamalik—teman sekontrakan yang paling tua—sedang duduk santai sambil merokok, wajahnya datar seperti biasa.

“Lik! Di depan bener kan mobilnya si Gamal? Dia serius bawa CR-V ke sini? Lagi pengen pamer gak si dia?” tanya Bumi bertubi-tubi dengan gaya sok heran.

Kamalik menghembuskan asap rokoknya perlahan, tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. “Iya, mobil dia. Gue juga bingung. Numben banget tuh anak balik kesini. Kayaknya si apartemennya lagi bosen lihat dia.”

Bumi tertawa keras. “Hahaha! Bener deh kayaknya. Gue yakin dia kangen sama kontrakan kita yang penuh kenyamanan ini. Tempat ini beneran gak ada tandingannya, Lik.”

Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Aresh muncul dengan semangkuk mie instan di tangannya. Aroma gurihnya langsung memenuhi ruangan, membuat Bumi mendengus kesal.

“Eh, Resh! Anjing sia. Bikin mie sorangan wae, babaturan macam apa lo?” seru Bumi sambil melompat dari sofa dan menghampiri Aresh.

Aresh tertawa kecil sambil duduk di kursi sebelah Kamalik. “Gue kira lo gak balik, anjir. Biasanya kan lo sibuk pura-pura rapat. Alesan ada siaran lah, rapat lah, sok sibuk banget.”

Kamu akan menyukai ini

          

“Eh, anjir! Jadi itu alasan lo gak bikinin gue mie?” balas Bumi sambil mencoba merebut semangkuk mie itu, tapi Aresh sigap menghindar.

Kamalik, yang sedari tadi hanya diam, akhirnya ikut bersuara. “Gue heran deh, ya. Kalian berdua tuh sama sama dari Jakarta. Plis deh! jangan sok-sokan ngomong Sunda. Logat kalian tuh kayak robot belajar bahasa manusia. Cringe banget, anjing.”

Bumi menatap Kamalik dengan mata melebar, seolah-olah baru saja dihina secara personal. “Lik! Lo ini gak menghargai usaha gue, ya? Gue tuh lagi mencoba blend-in, biar gak kelihatan kayak anak kota sombong.”

“Blend-in apaan? Logat lo Sunda-nya kayak turis Korea belajar di TikTok.” balas Kamalik sambil tertawa kecil.

Aresh menimpali. “Iya, bener tuh. Kalo lo ngomong Sunda di kampus, gue yakin satu kelas auto ngakak dengernya."

Keributan mereka semakin memanas saat Gamal akhirnya keluar dari kamarnya. Dengan pakaian santai, kaos hitam polos dan celana pendek—ia menatap teman-temannya dengan tatapan lelah.

“Apaan sih? Baru dua menit gue balik, kalian udah berisik banget.” katanya sambil duduk di sofa.

Bumi langsung menunjuk Gamal dengan sumpit yang tadi ia rebut dari Aresh. “Lo kali sumber keributan. Jarang-jarang balik, bawa mobil mahal pula. Mau bikin kontrakan kita keliatan kayak tempat servis mobil?”

Gamal mendengus sambil tersenyum tipis. “Alah. Gue tau lo ngiri, Bum.”

“Ngiri? Hahaha! Gam, lo salah besar. Gue ini icon anak sederhana yang dicintai rakyat jelata. Gak butuh mobil mahal buat diliat keren, cukup jalan kaki aja, semua orang langsung noleh.” balas Bumi dengan percaya diri yang jelas berlebihan.

Kamalik menggeleng pelan sambil menepuk pundak Bumi. “Bro! orang noleh bukan karena lo keren, tapi karena lo suka bikin onar.”

Gamal tertawa kecil. “Udah-udah. Gue ke sini mau bahas PKKMB. Gue butuh bantuan kalian, kalo lo semua gak mau bantu. Ya gue terpaksa keluar dari grup kontrakan gak jelas ini aja.”

Bumi menyeringai. “Oh, jadi lo ke sini ada maunya, ya? Pantes aja. Lo butuh bantuan gue, si bintang kampus ini ya. Lo sadar kan, kalo tanpa gue acara lo bakal cuma kayak seminar online yang audiensnya pada tidur semua.”

Semua orang di ruangan itu tertawa. Meskipun sering saling menyindir, ada kehangatan yang tidak bisa disangkal. Kontrakan Bajak Laut mungkin berantakan, penuh debu, dan aroma aneh, tapi tempat ini adalah rumah.

Di tengah kesibukan kuliah dan drama kehidupan, mereka menemukan pelarian yang sempurna—sebuah tempat di mana perbedaan menjadi keunikan, dan tawa selalu menjadi solusi. Di sini, ketengilan Bumi tidak hanya diterima, tapi menjadi bagian penting dari kebersamaan mereka.

'______'🌍

Setelah candaan dan traktiran di District Café, malam itu suasana di kontrakan Bajak Laut kembali ramai. Kali ini, lengkap dengan kehadiran Daffa dan Ken yang baru saja tiba dari kampus setelah menyelesaikan tugas kelompok mereka.

Ken adalah teman sekontrakan Bumi yang terkenal kalem, tapi sering kali melontarkan komentar sarkastik yang bikin seisi kontrakan tertawa terbahak. Daffa, di sisi lain, adalah mahasiswa dengan sikap paling dewasa di antara mereka. Sifatnya yang selalu bijak membuatnya sering menjadi penengah di tengah kehebohan teman-temannya.

Begitu Daffa masuk, ia langsung berseru, “Wih, rame banget nih. Ada apaan? Pada diskusi mau bikin negara baru, ya?”

Bumi yang sudah tergolek santai di sofa langsung menyahut, “Negara baru, apaan? Ini si Gamal mau jadi ketua PKKMB tahun ini, katanya. Anak Sultan ini mau nambah gelar lagi.”

BUMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang