70

217K 37.9K 12.4K
                                    

“Astaga, mantu Mami!” Iris dengan penuh semangat mendekat dan memberikan pelukan hangat pada Skaya.

Skaya terkekeh dan membalas pelukan wanita itu. “Apa kabar Mi?”

“Seperti biasa. Pusing, punya anak durhaka yang gak pernah pulang sama suami yang selalu nempel kek benalu.” Kalimat Iris membuat Sagara dan Danar terbatuk samar. “Ayo, Skay. Masuk.”

Iris menarik Skaya tanpa melirik Sagara sejak kedatangannya. Menghela napas, laki-laki itu mengekori tanpa berbicara apa-apa.

Karena mereka datang di waktu makan malam, Iris segera menyajikan makanan hangat dan berlimpah. Sebagian dari makanan adalah sayur-mayur.

“Cobain Skay. Sayurnya baru petik sore tadi di kebun. Masih seger!” ujar Iris semangat sambil mengambilkan makanan untuk Skaya.

Awalnya gadis itu merasa canggung karena antusiasme Iris dan menolak samar ketika dijamu. Namun Iris langsung memasang ekspresi sedih, membuat Skaya tidak enak menolak lagi.

“Mami punya kebun? Keren banget. Aku juga pengen buat nanti.”

“Kayaknya ada seseorang yang harus jadi petani eksklusif di masa depan.” Danar menyindir samar disela makannya.

Sagara melirik Danar lalu tersenyum miring. Dia tahu bahwa kebun keluarganya diatur secara pribadi oleh Papinya. Bahkan dia bisa menebak bahwa hidangan sayuran dan buah di atas meja adalah hasil jerih payahnya. “Demi cinta.”

Danar berdecih pelan. Dia tidak bisa lagi memanasi anaknya dengan hal-hal baik yang dia lakukan pada Iris. Betapa membosankannya.

“Jadi Skaya liburan di Jakarta?” tanya Iris basa-basi.

Gadis itu mengangguk cepat. Jika dulu, dia lebih memilih tetap di Surabaya bersama Cici. Tetapi di Jakarta ada banyak kenalannya sekarang. Dia entah kenapa ingin menghabiskan waktu di sini.

“Mi, kenapa Sagara bisa pinter banget?” tanya Skaya tiba-tiba.

Alis Iris terangkat. “Contohnya?”

“Pinter pelajaran, bisnis, olahraga, sama piano!”

Iris dan Danar sontak menatap Sagara heran. “Gara gak bisa main piano, ih.” ungkap Iris dengan mata memicing.

“Gara yang bilang ke kamu dia bisa main piano?” Danar melirik sang anak dan tanpa ragu merusak citranya. “Dulu waktu guru piano dia ngajarin, gak ada harapan. Buta not dia.”

“Tapi waktu itu....” Skaya langsung membungkam begitu teringat Sagara yang berkata dia hanya memainkan setengah lagu. Seketika Skaya menatap laki-laki itu penuh arti.

Sagara terbatuk kering lalu menyesap air. Wajahnya memerah samar. Sebenarnya waktu itu dia mencari siswa yang pintar memainkan piano di sekolah dan menyuruhnya mengajari cara memainkan lagu It's You secara langsung, tanpa memerdulikan betapa gemetarnya siswa tersebut berhadapan dengannya.

Seperti yang dikatakan Danar, dia buta not. Seberapa pun usaha dia mempelajari alat musik, itu akan sia-sia. Manusia tidak ada yang sempurna, oke? Begitu pula Sagara. Dia sesungguhnya memiliki banyak kekurangan. Namun dia lebih sering menekan kekurangannya dan memperlihatkan kelebihannya.

Skaya menghabiskan waktu di sana selama tiga jam. Setelah makan malam, Iris menariknya untuk makan salad buah sambil menonton film sehingga gadis itu tidak sadar bahwa malam sudah semakin larut.

“Mi, aku pulang sekarang.”

Iria melirik jam dinding dan menggeleng tegas. “Gak! Udah malem. Kamu nginep di sini aja gimana?”

Kamu akan menyukai ini

          

Kening Skaya mengerut samar. Dia berpikir sejenak dan hendak menolak. “Tapi—”

“Gak ada tapi-tapian. Udah mau jam 10 ini. Rumah kamu kan jauh. Nanti ada apa-apa di jalan gimana?” balas Iris berteguh hati.

Sagara yang baru saja datang mengambil ceri di atas meja dan memakannya. “Nginep aja, Aya.”

Dipaksa oleh dua orang, Skaya pada akhirnya mengiyakan dengan senyuman pasrah. Namun diam-diam dia melirik Sagara kesal.

“Kalo gitu... aku istirahat sekarang?” Sejujurnya tubuh Skaya sudah sangat lelah. Dia baru turun dari pesawat tadi siang, menyimpan barang bawaannya di rumah dan langsung menuju SMA Lesmana. Dia belum memiliki istirahat yang cukup untuk hari ini.

Ketika diantar ke kamar tamu, Skaya merasa tempat tersebut sangat terlihat seperti kamar hotel. Kasur dengan seprai putih polos, dinding berwarna krem, nakas serta lemari yang diatur sesuai tempatnya. Suasana tersebut mencerminkan rasa hangat.

Kaki gadis itu melangkah menuju lemari dan membukanya. Kata Iris, ada baju untuk dia gunakan. Namun melihat deretan gaun serta piama di dalam yang seukuran dengan tubuhnya, Skaya melongo.

Skaya seketika memiliki kecurigaan bahwa mereka sudah merencanakan agar dia menginap di tempat ini begitu melihat betapa lengkap kebutuhan dirinya di ruangan ini.

Memilih tidak menghiraukannya, gadis itu bergegas mandi dan mengenakan piama merah muda pucat. Dia saat ini sedang menggosok rambutnya yang basah karena keramas, namun tersentak begitu mendengar ketukan di pintu balkon.

Menaikkan alis, Skaya perlahan mendekat, menggeser gorden putih dan segera membuka pintu kaca begitu melihat sosok Sagara di balkon kamarnya.

“Kenapa lo—”

“Shutt!” Sagara langsung membekap mulut Skaya dengan senyum berarti. “Jangan bobok dulu. Gue masih kangen.”

Sontak skaya mendelik mendengarnya. Mengabaikan raut tak terima gadis itu, Sagara merebut handuk di tangannya dan membantunya menggosok rambutnya yang masih meneteskan air.

“Harum banget,” gumam Sagara tatkala posisinya berada di belakang Skaya. Aroma sabun dan sampo keluar dari tubuh gadis itu, membuat Sagara semakin ingin berlama-lama dengannya.

Merasa lama mengeringkan rambut menggunakan handuk, Sagara menarik Skaya ke dalam kamar dan memaksanya duduk di kursi meja rias. Dia mengeluarkan hairdryer dan dengan rajin mengeringkan surai gadisnya.

Mata Skaya mengerjap menatap Sagara dari cermin di hadapannya. Melihat betapa giatnya laki-laki itu, dia tersenyum tanpa sadar.

Tak berselang lama, Sagara mematikan hairdryer, mencondongkan tubuh ke depan dan mengecup pipi Skaya lembut. “Habis keramas malem-malem jangan lupa keringin. Nanti masuk angin.”

Gadis itu membelalakkan mata dan tanpa sadar menangkup pipinya yang dicium. Sagara terkekeh melihatnya dan mengelus kepalanya lembut. “Pelecehan! Gue mau lapor ke Mami!”

“Lapor aja gak papa. Entar kita nikah makin cepat.”

“Lo—”

Tok tok tok

“Skaya?”

Mata Skaya terbelalak. Dia bergegas menarik Sagara ke balkon dan menutup pintunya, tak lupa menarik gorden sebelum mengembuskan napas dan membuka pintu.

Di depannya terdapat Iris yang memegang segelas susu hangat rasa stroberi. “Mami anterin susu buat kamu. Diminum ya?”

“Oh, iya Mi. Ayo masuk dulu.” Skaya mengundang Iris masuk, yang tentu saja diiyakan wanita itu.

Menatap Skaya dari atas hingga bawah, Iris mengangguk puas. “Imut banget kamu,” pujinya sambil mencubit pipi Skaya gemas.

Gadis itu terkekeh. Dia menerima gelas susu tersebut dan menyeruputnya tenang. Namun melihat Iris menuju arah pintu balkon, jantungnya berdebar.

“Skaya, udara malem dingin. Gak usah buka pintu balkon.” Iris dengan tenang mengunci pintu balkon sebelum memperbaiki gorden agar lebih tertutup. “Awas ada pencuri masuk.”

“Uhuk,” Skaya tersedak susu. Kenapa dia merasa bahwa Iris tahu Sagara di sana? Apakah Iris memiliki indra keenam?

“Kamu pake piama motif anak anjing gini bikin Mami inget Gara dulu.”

Rasa penasaran seketika memenuhi benak Skaya. “Kenapa Sagara, Mi?”

“Waktu kita sekeluarga liburan ke Semarang, ada tetangga yang melihara anak anjing bulu tebel. Pokoknya imut banget, Mami gak tau jenisnya apa. Gara masih umur 8 tahun, dia gak sengaja minum wine Papinya jadi agak mabuk. Dia nakal banget, kabur dari rumah dan pergi ke halaman tetangga.” Iris mulai bercerita tentang masa kecil sang anak membuat gadis itu semakin penasaran.

“Terus Mi?”

“Terus dia lihat anak anjing. Karena bulunya putih, dia kira ayam. Jadi dia kejar anjing itu mau ditangkep sambil teriak 'Ayam sini! Mau aku jadiin sate kamu', gitu katanya. Anjingnya kira diajak main, jadi kabur. Mereka main kejar-kejaran sampai si anjing marah dan gigit tangannya Gara. Sejak itu dia takut sama anjing sampai sekarang.” Iris menghela napas sedih, namun mimik wajahnya nampak dibuat-buat.

Bruk!

Skaya yang hendak tertawa seketika terhenti mendengar suara dari balkon. Iris juga melirik ke arah balkon, tersenyum misterius lalu mengelus kepala Skaya. “Yaudah, kamu tidur sekarang. Udah malem.”

Begitu pintu tertutup, Skaya segera memeriksa balkon. Namun di sana kosong, tidak ada sosok Sagara lagi.

TBC

July 25, 2021.

7K votes + 10K komen.

Skaya & the Big Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang