Bab 9

0 0 0
                                    


"Terjadi kecelakaan tunggal. Satu mobil terjun ke jurang. Para tim SAR sedang mengevakuasi korban ...."

Ranti tersentak ketika mendengar berita itu. Ciri-ciri dari mobil yang disiarkan memiliki kesamaan dengan mobil kakaknya.

Wanita itu bergegas ke lokasi kejadian untuk memastikan. Namun, apa yang ia jumpai justru menambah kekhawatiran. Kondisi mobil yang jatuh sungguh mengenaskan. Bagian depan mobil ringsek dan semua kacanya pecah.

"Penumpang mobilnya di mana, Pak? Bagaimana kondisi mereka?" Ranti bertanya kepada aparat yang masih berjaga di lokasi kejadian.

"Mereka sudah dibawa ke RS dekat sini, Bu. Dua orang meninggal di tempat, satunya kritis."

Setelah mendapatkan informasi lengkap, wanita itu langsung berlari menuju mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi. Pikiran panik membuatnya melupakan prosedur keselamatan, untung saja jalanan sedang lengang.

Selang beberapa saat, mobilnya berhenti di depan bangunan bertuliskan RS Medika Jaya. Ranti langsung turun dan berlari ke arah instalasi gawat darurat. Di sana ia bertanya kepada petugas yang berjaga di dekat pintu.

"Ada korban kecelakaan mobil yang dibawa ke sini, Pak?"

"Di ruangan itu, Bu. Ibu keluarganya, ya?"

Ranti langsung berlari ke arah ruangan yang dimaksud, tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan petugas. Pikirannya sudah kalut. Ia ingin segera memastikan keadaan kakak satu-satunya.

"Astagfirullah!" teriak Ranti ketika mendapati seonggok raga sedang terbalut perban di sekujur tubuhnya.

Wanita bergaun hitam itu langsung memeluk sang kakak yang sedang menatap sendu. "Mbak, gimana ini bisa terjadi?" tanya Ranti sambil menggenggam tangan Arimbi yang tak terhubung dengan selang infus.

Arimbi menggeleng pelan sebagai jawaban. Ia tak tahu penyebab kecelakaan. "Ni-tip Ar-ya, ya. Ka-mu-lah satu-satunya ke-lu-ar-ga Mbak." Ucapan Arimbi terhenti bersama suara monitor yang berdenging. Tim medis langsung berlari memberikan penanganan, tetapi ....

"Mohon maaf ... kami telah berusaha maksimal," ucap seorang dokter lelaki sambil menatap Ranti yang berderai air mata.

"Mbaaak! Jangan pergi! Gimana aku harus bilang sama Arya?" Wanita itu meraung-raung sembari menggoyang-goyangkan badan yang mendingin.

***

Seorang bocah lelaki sedang menangis di samping pusara kedua orang tuanya. Papa dan mamanya pergi untuk selamanya, secara tiba-tiba dan pada hari yang sama. Bimo--ayah Arya--meninggal di tempat, bersama sopir keluarga mereka.

"Ma, Pa, kenapa tinggalin Arya sendiri? Arya mau ikut ...."

Ranti memeluk bocah itu, mengusap-usap punggungnya agar kuat menghadapi cobaan hidup. Kehilangan memang selalu menyisakan luka, perlu waktu untuk menyembuhkannya.

"Tante ada di sini, Sayang. Arya enggak sendiri. Jangan nyerah, ya! Tante akan jagain Arya."

Arya kecil meluapkan tangis dalam pelukan Ranti. Ia merasa takdir begitu kejam kepadanya. Tak cukup terlahir dengan virus mematikan, kini kedua orang tuanya pergi tanpa sempat mengucap kata perpisahan.

***

"Arya, sini main! Seru, nih!" Angga memanggil Arya yang akan menapaki tangga. Ia mengajak Arya untuk mencoba seperangkat game yang baru dibelikan oleh papanya.

"Ngapain sih ajak dia? Aku takut ketularan penyakitnya, tahu!" ucap Bram--adik Angga--ketus.

Arya hanya menghela napas lelah, selalu seperti ini. Bram memang tak menyukainya sejak lama. Menurut Bram, Arya telah merebut kasih sayang mamanya. Ranti terkesan lebih perhatian kepada Arya, dibanding kepadanya.

Remaja lelaki itu melanjutkan langkah menuju kamarnya di lantai dua. Menyepi terasa lebih baik, dibandingkan harus berurusan dengan Bram. Bukannya ia takut, tetapi tak ingin membuat Ranti sedih. Menyakiti Bram tentu akan menyakiti tantenya juga.

Kini Arya sudah berusia 17 tahun, ia telah melewati ratusan purnama tanpa kedua orang tuanya. Namun, Ranti membuktikan janjinya untuk menjaga Arya. Wanita itu memperlakukan putra sang kakak dengan baik, hingga membuat Bram iri dan membenci sepupunya itu.

Dalam hal pendidikan, Ranti memutuskan untuk mengikutkan Arya homeschooling. Ia tak mau keponakannya di-bully jika masuk sekolah formal, karena tak semua bisa hidup berdampingan dengan pengidap HIV. Banyak yang menganggap mereka momok dan harus dijauhi.

"Itu mulut enggak dijaga. Arya, kan, saudara kita juga, tahu! Jangan keterlaluan gitu!" Angga melemparkan bantal sofa ke arah adiknya.

"Biarin! Ngapain juga, sih, Mama harus ngerawat dia? Taruh aja di panti asuhan sana!"

"Jaga ucapan kamu, Bram! Mama enggak suka kamu kasar sama Arya!" Tiba-tiba Ranti muncul dari arah ruang depan. Ia baru datang dari kantor dan tak sengaja mendengar percakapan anak-anaknya.

"Aku ngomong bener, Ma. Ngapain kita harus nampung dia. Rumah kita, kan, bukan tempat penampungan!"

'Plaaak!' Sebuah tamparan melayang dan memberi tanda merah pada pipi putra bungsunya.

"Asal kamu tahu, ya. Ini bukan rumah kita. Ini rumah Arya. Perusahaan tempat Papa dan Mama kerja itu milik dia, bukan milik kita. Orang tuanya Arya yang menampung kita saat papamu bangkrut dan dikejar penagih utang. Dengar itu!" teriak Ranti dengan mata memerah.

Bram terdiam. Fakta itu begitu menyakitkan baginya. Ia tak menyangka bahwa sebenarnya ia yang menjadi benalu, bukannya Arya.

Remaja yang masih memakai baju tidur itu langsung mengambil kunci motor di meja, bergegas pergi untuk melarikan diri dari kenyataan yang menggores harga diri. Ranti hanya menatap nanar kepergian sang putra bungsu. Hatinya juga sakit ketika harus memberikan tamparan kepada darah dagingnya sendiri. Namun, ia tak ingin Bram tumbuh menjadi anak yang tak tahu balas budi. Tanpa orang tua Arya, ia tak tahu nasib keluarganya akan seperti apa.

Be HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang