Martha dan Elka kini duduk berhadap-hadapan dengan tatapan yang saling menhujam. Untuk beberapa saat, keduanya hanya terdiam dalam tatapan itu seakan saling menilai satu sama lain.
"Siapa namamu?" tanya Elka setelah merasa keheningan terlalu lama meliputi keduanya. "Sudah berapa lama kamu dengan mudah mengambil alih tubuh Martha?"
"Sejak Martha berumur 10 tahun, mungkin?" Nada suaranya menggantung. Seperti disengaja. "Dari pada itu. Sejak kapan juga lo tahu soal Martha dan juga gue?"
Elka memijit keningnya. Dia memang banyak tahu soal gangguan mental satu ini, namun ia belum pernah sekali pun bertemu bahkan mengobrol dengan alter ego si penderita kepribadian ganda. Berbicara dengan Martha yang sekarang, benar-benar memberikan sensasi yang berbeda. Gadis ini berbeda seratus juta persen dari Martha. Caranya menatap, caranya berbicara, gerak tubuh, mimik wajah. Semuanya berbeda.
"Nama lo siapa?"
Gadis itu masih diam.
"Berapa umur lo?"
"21 tahun."
Elka mengerutkan kening. "Lo perempuan 21 tahun. Oke, kenapa lo nggak mau sebut nama lo?"
Gadis itu membuang wajahnya ke arah jendela. "Gue emang nggak mau lo tahu."
"Sudah sebanyak apa hal yang lo lakukan selama meminjam tubuh Martha?" tanya Elka lagi. Nadanya semakin penuh penekanan. "Lo harusnya bantuin dia buat sembuh. Bukan malah sembarangan mengambil alih tubuhnya dan berbuat semau lo!"
"Lo pikir gue berbuat semaunya? Hei, lo nggak tahu keberadaan gue untuk melindungi Martha! Bocah ini terlalu lemah dan labil! Pikirannya gampang depresi!"
Elka mendesah kasar. "Lo tahu ada berapa kepribadian lagi di dalam tubuh Martha?"
"Hanya gue." Jawabannya singkat dan penuh keyakinan.
"Tadi lo bilang. Keberadaan lo di sini untuk melindungi Martha karena dia lemah dan gampang depresi." Elka pelan-pelan menuturkan kalimat selanjutnya. "Melindungi? Lo membunuh banyak orang."
Terdiam. Gadis di hadapan Elka itu hanya menampilkan wajah datarnya. Ekspresi tak terbaca itu sangat sulit ditebak. Elka tak menyangka akan melihat ekspresi itu. Setidaknya, dia harus kaget karena pasti merasa yakin bahwa tindakannya bersih dan memang sangat minim petunjuk maupun kesalahan.
"Gue tahu lo sedang berpuas diri karena kelakuan lo itu sangat bersih. Lo jenius. Lo bisa bersenang-senang tanpa memikirkan akibatnya. Tapi, suatu saat tindakan lo akan terbongkar. Lo akan tampil sebagai pembunuh dalam wujud Martha. Lo mengkambinghitamkan Martha. Lo sampah!"
Gadis itu menyeringai. Kedua matanya yang bulat, melengkung membentuk bulan sabit. "Gue hanya ingin melindungi Martha."
"Dari apa? Lo melindunginya atas dasar apa? Jangan mengada-ngada!" Elka berdiri. "Lo silakan bertindak semaunya lagi. Bunuh semua orang yang pengen lo bunuh. Silakan. Gue juga akan berjanji, kalau ada satu pembunuhan lagi yang terjadi. Gue nggak akan nyerahin lo ke polisi." Elka tersenyum penuh misteri. Ia mendekatkan wajahnya, kemudian tatapannya menajam. "Gue yang akan membunuh lo. Kalau lo merasa tertantang, lakukan aja. Dengan senang hati gue sambut kematian lo."
Elka berbalik. Tangannya sudah akan tersentuh dengan handel pintu, namun gadis di belakangnya berseru. "Nama gue Jenita! Gue ...." Elka kembali memutar tubuhnya ketika mendengar nada ragu-ragu dari gadis itu. "Gue akan bercerita sesuatu yang gue tahu ke lo."
Sebelah kening Elka terangkat. Gadis itu bersidekap dan bersandar di pintu UKS.
"Selama ini gue dan Martha nggak pernah bertukar informasi. Semakin Martha depresi, gue semakin sering mengambil alih, bahkan gue bisa mengalihkan pikirannya ke hal-hal yang gue lakukan. Ternyata itu berhasil membuat dia melupakan beberapa kenangan buruknya, termasuk apa saja yang dia lakukan. Hal kecil seperti tempatnya meletakkan buku, bahkan dia bisa melupakan warna baju yang ia kenakan kemarin." Jenita menarik napas panjang. "Itu semua gue yang lakukan. Gue yang melindungi dia."
"Termasuk membunuh? Lo menghilangkan memori itu dari Martha. Tapi kenapa?"
"Gue akan membuat pengakuan soal itu."
***
Martha memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Saat pandangannya terbuka, Martha langsung tertarik pada sosok Tristan yang duduk dengan mata tertutup di sampingnya itu. Martha mengerjapkan mata dan menggosoknya pelan.
"Lo nggak salah lihat." Martha terkesiap melihat Tristan yang langsung membuka matanya. "Gimana keadaan lo?"
Martha salah tingkah. Ia memaksakan diri duduk tegak di brankar. Selimut biru khas UKS menutupi pahanya. "A-aku udah merasa baikan."
"Sebenarnya lo sakit apa, sih? Kak Elka bilang lo kecapean doang."
"Ah, iya mungkin aku kecapean." Martha memegangi kepalanya.
Elka datang membawa segelas air putih dan sebuah pil obat. Gadis itu meletakkan gelas dan piring kecil itu di atas nakas. Tatapannya beradu dengan Martha. "Kamu mengingat sesuatu?"
"Ya. Seingatku, aku harus mempersiapkan terbitan tentang lomba solo." Martha memegangi kepalanya lagi. "Aku juga ingat kepalaku mulai sakit saat keluar dari ruangan jurnalistik."
Elka mengangguk. "Ya. Kamu kecapean doang. Jaga pola istrahat dan makan kamu. Hindari stres berlebihan." Setelah mengatakannya, Elka berbalik meninggalkan dia remaja itu.
Martha yang merasa kondisinya mulai membaik itu pun berusaha turun. Tristan sigap membantunya, pemuda itu memegangi pundak Martha, kemudian menarik lengan gadis itu agar merangkul pinggangnya.
"Aku hanya lemas. Aku nggak lumpuh, aku bisa jalan sendiri."
Pintu UKS terbuka. Eve mematung di sana bersama Cessa di sampingnya. Martha buru-buru melepaskan diri dari Tristan namun sialannya Tristan menahan pergerakan Martha yang tak seberapa itu.
"Owh, kayaknya kita datang di momen yang salah." Cessa ber celetuk dengan nada yang dibuat seperti orang menyesal. Padahal kenyataannya gadis itu menikmati reaksi terkejut Eve. "Hai, Martha. Gue hanya ada keperluan sama lo, sih. Lo udah baikan? Ada waktu ngomong sama gue?"
Melihat peluang itu, Martha segera mengangguk dan mencoba melepaskan tangannya dari pinggang Tristan meski beberapa kali gagal. Martha risih dengan tatapan Eve, apalagi Cessa sengaja berdeham keras tiap kali Tristan menarik tangan Martha lagi.
"Aku harus ngomong dengan Cessa dulu," kata Martha menatap Tristan tajam.
Tristan membalasnya tenang. "Lo belum cukup kuat."
"Aku kuat dan aku bisa!" tegasnya. Sekali lagi, Martha mencoba menarik tangannya. Kali ini dengan sedikit menghentak, hingga akhirnya berhasil. "Kita bisa bicara di luar, Cessa." Gadis itu berkata sambil lalu, diikuti Cessa yang bersiul seakan memanas-manasi seseorang.
Eve tak sekali pun memutuskan pandangannya dari Tristan. Sementara pemuda itu, duduk di sisi brankar dengan tenang. Tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk sekadar menjelaskan situasi tadi. Atau setidaknya menjelaskan sikapnya kepada Eve akhir-akhir ini.
"Ada apa?" tanya Eve. Suaranya merendah dan lembut. "Aku ada salah?"
Pandangan Tristan sukses mengarah kepada Eve. Namun, ia belum menjawab.
"Apa yang ada di pikiran kamu? Apa yang kamu pikirkan, Tris? Tolong kasih tahu aku, agar aku bisa meluruskannya. Kamu bisa saja hanya salah paham, kamu bisa saja ...."
"Kamu pembunuhnya 'kan?" Suara dingin Tristan memotong laju kalimat Eve. "Kamu pembunuhnya." Tristan mengulanginya dengan nada menuduh.
Eve terdiam, wajahnya pucat ketakutan.
***
A.n
Helaawww, akhirnya bisa update. Maaf nih, suka sok sibuk banget akhir-akhir ini. Mana deadlinenya tanggal 15 Agustus ini pula, hiks hiks. Semoga bisa tamat sebelum tanggal itu ya. Bantu doa, hehe.Udah Agustus aja. Nggak kerasa, udah mau lumutan di rumah aja. Semangat hidup terus ya manteman, hihi.
Sulteng, 01 Agustus 2021
Emeliiy (Yang akan berulang tahun bulan ini)
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu [TERBIT]
Mystery / Thriller[SUDAH DITERBITKAN] Misteri/thriller Tidak ada yang bisa kamu percayai di dunia ini, termasuk diri kamu sendiri. ~~~ Permainan nyawa bukanlah hal yang seharusnya terjadi, lebih lagi di lingkungan sekolah. Rasa marah, pembalasan dendam, melampiaskan...