— 完了SISA DARATAN di bagian barat washington sore ini tengah dibalut kabut tipis yang mengepung nyaris semua permukaan bekas festival tahunan musim panas, sebuah karnaval perayaan budaya lingkar pasifik, dengan orang-orang dari negara pasifik yang telah bermigrasi ke wilayah barat laut amerika utara. tenda-tenda kosong, bendera-bendera sobek, dan kios-kios yang sunyi berserakan. gelanggang kota beraroma nuklir. apa yang dulu menjadi pertemuan riang orang-orang dari berbagai belahan pasifik, kini berubah menjadi arena mencekam, diselimuti aroma tanah basah yang pekat dengan bau kehancuran. seakan atmosfer itu sendiri menyerap kengerian yang terjadi beberapa jam sebelumnya.
di tengah keheningan yang mengerikan itu, puing-puing beton berserakan bagai sisa-sisa bangunan yang pernah megah. tubuh-tubuh tak bernyawa tersembunyi di balik reruntuhan, seperti boneka rusak yang ditinggalkan. pasukan militer, yang tampak seperti bayangan kelam dari pemerintahan yang terlambat, baru saja tiba. kendaraan berat mereka menggilas tanah yang becek, menambah rasa sesal atas lahan yang seharusnya penuh dengan tawa kini menjadi pemandangan penuh horor. paramedis bergegas ke sana-sini, mencoba menolong apa yang tersisa, personel militer sibuk menyisir daratan untuk menyelamatkan mereka yang mungkin masih hidup, tetapi kebanyakan hanya menemukan kehilangan.
hujan halau mentua temani akhir september yang kelabu. rona suram menghampar di mana-mana. penduduk dengan cidera ringan nyaris semua berhasil dievakuasi. beberapa di antaranya merupakan remaja kisaran belasan, sebagian besarnya merupakan pengujung dewasa yang berhasil selamat dari ledakan bom rakitan pecahan peluru. disinyalir, kelompok militan ekstremis dari gerakan pemberontak pemerintah merupakan dalang dari jatuhnya puluhan korban jiwa di pesisir kontinen barat. letaknya di wilayah barat laut seattle, negara bagian pesisir amerika serikat.
pesawat militer dengan baling-baling horizontal super besar sukses mendarat, ikut menggetarkan tanah di bawahnya. tiang-tiang penyangga yang seharusnya berdiri kokoh, kini runtuh mengantam tanah. di sana, nicholas wildan duduk terpekur, lututnya menekuk di samping bangunan yang nyaris runtuh. tubuhnya dikelilingi oleh kawat-kawat berkarat dan kayu yang hampir patah, sementara hujan lembut membasuh luka-luka di kulitnya yang pucat. kemeja putihnya basah dan sobek di perpotongan siku. cairan merah mengalir dari pelipisnya, namun tidak dia hiraukan. hanya bisikan lirih yang keluar dari bibirnya, "semua akan baik-baik saja." sebuah mantra sia-sia yang diulangnya seperti harapan kosong.
beberapa jam yang lalu, nicholas menyaksikan ledakan besar. api berkobar, menghantam langit, dan gelombang ombak menerjang tanpa ampun. daratan yang menyenangkan tiba-tiba berubah menjadi neraka, puing-puing terbang, orang-orang berteriak, dan laut seolah berniat menelan semua yang ada di hadapannya. kini, hanya ketenangan yang tersisa, tapi bukan kedamaian. tidak ada apa-apa selain keheningan mencekam yang melingkupi remaja belasan tahun dari sisa-sisa festival yang hancur. nicholas mengulas senyum getir. irisnya yang berpendar hijau melirik puing-puing bangunan di bawah tungkai kaki yang bengkak dan membiru ketika seseorang tak dikenal datang menghampirinya.
"aku barusan lihat laki-laki tua yang tidur di atas tanah. dia berbaring bersama puing-puing beton. kau tahu?"
"dia tidak tidur," diliriknya sekilas anak laki-laki berambut cokelat yang muncul tidak tahu dari mana. seragamnya kumal, lubang sobekan dan noda kotor di mana-mana. kulitnya pucat sekali, kontras dengan lengan kiri bagian bawah yang lebam entah karena apa. "dia tertimbun bebatuan."
anak itu laki-laki itu tampak tidak cukup peduli pada kengerian yang disaksikannya. dia duduk di tumpukan batu-batu beton yang berserakan. "mereka jahat sekali," bisiknya, seperti berbicara pada dirinya sendiri. "meledakkan bahan peledak di tempat orang banyak, itu jahat. banyak teman-temanku terluka. mereka dibawa pergi oleh beberapa petugas medis." entah siapa yang dia katakan. namun, tampaklah bulir-bulir air mengalir keluar dari kelopak matanya. meluncur turun melewati pipi, hingga saat hampir menyentuh dagu, tangan kecilnya bergerak lebih cepat dari yang nicholas duga. "apa yang mereka lakukan padamu? kau terlihat tidak baik."
nicholas tersenyum masam, perasahaan pahit serasa menyumbat dadanya. "mereka membuangku ke laut."
"itu buruk sekali." anak laki-laki yang belum diketahui namanya itu menunjukkan rasa simpati yang besar. "kau sendirian di sana? bagaimana bisa kembali? apakah seseorang menemukanmu dan membawamu ke daratan?" dia menunjuk kumpulan orang-orang militer yang berada tidak jauh dari mereka.
nicholas menggeleng. darah di pelipisnya merembes kian banyak. "siapa namamu?"
"azka. namaku narrazka," jawab anak itu, senyum tipis muncul di wajahnya yang kotor.
"azka dengar," nicholas menjeda, matanya menatap kosong ke arah laut, ombak besar menerjang karang, bunyinya terdengar seperti deru yang mendalam dan bergemuruh. "aku ingin sekali bertemu dengan mama dan papa. mereka menungguku di ujung persimpangan, tepat empat puluh meter dari arah pintu keluar karnaval. tolong datang dan katakan pada mereka bahwa aku menyayangi mereka, dan mungkin ucapan maaf?" suaranya melemah, seolah setiap kata yang diucapkannya menarik sisa-sisa energi terakhir dari tubuhnya yang lelah. "aku tidak bisa pulang."
"kenapa? apa dokter mengatakan kau perlu tinggal di rumah sakit?" azka menatap kasihan, dia tahu hampir sebagian besar teman-teman sekolahnya pun akan berakhir di tempat yang sama, mungkin sampai beberapa minggu ke depan. dia bahkan paham betul bagaimana sialnya seminggu penuh dihabiskan hanya dengan tiduran di ranjang pasien, hari-harinya hanya akan ditemani bau obat-obatan yang lumayan tengik.
"rumah sakit, ya?" nicholas melempar pandangan ke bebatuan karang yang tersapu ombak. "sebelum ini aku sudah berada di laut terlalu lama, azka. dan ya, aku sendirian. aku tahu mama menungguku untuk pulang, tetapi aku bahkan tidak tahu, apa yang harus kulakukan ketika tubuhku terpaksa kehilangan napas di menit-menit terakhir," dia menjeda. kepala bagian kanannya berdenyut ngilu, tetapi tetap dia paksakan naik tengadah—menatap langit senja keabuan dengan relap listrik terjepit di antaranya. nicholas nyaris tergelak kendati pendar di bola matanya kian meredup, hampir lenyap tak bersisa. "saat itu aku sadar, bahwa aku tidak akan pernah bisa kembali ke darat untuk bertemu mama."
setetes cairan merah kental merosot turun dari pelipisnya disusul tetesan-tetesan anyir berikutnya. nicholas tahu dia benar-benar tampak mengerikan dengan bagian atas kemeja putih yang berubah merah sepekat darah. "kau tahu, azka?" tiba-tiba reruntuhan bagunan yang dipijaknya amblas dan ia pun jatuh terperosok menyambar puing-puing beton dan balok, meninggalkan narrazka yang membeku—berusaha mendengar suara napasnya sendiri yang nyaris tersendat-sendat. kedua tungkainya gemetar hebat, perutnya melumat mual. azka bergidik tanpa sadar, wajahnya yang berona pucat berganti kian putih begitu dia lihat nicholas menyentuh bagian pelipis miliknya yang bocor. "rumah sakit adalah tempat untuk mereka yang sakit. bukan untuk mereka yang sudah mati." []
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐞𝐦𝐛𝐮𝐦𝐢 𝐒𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚
Paranormal[COMPLETED] Tentang akhir September yang kelabu, dan untuk mereka yang berpikir mereka masih punya cukup waktu. ft. jayke ▍©2021 /WHISKY