"Jangan pernah biarin mereka tau luka lo, Alisa. Jangan lihatin sakit yang lagi lo rasain, apalagi membaginya."
*
*
*Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin toilet perempuan, di gedung IPS lantai dua. Tatapannya seakan-akan kosong, namun nyatanya pikirannya sangat berisik. Seolah banyak hal bertubrukan di kepalanya sampai membuatnya merasa pusing akan hal itu. Pikiran negatif, hal-hal yang membuatnya ketakutan, sampai kejadian-kejadian di masa lalu yang selalu menghantuinya.
Alisa menghembuskan napas panjang sambil menundukkan kepalanya yang masih terasa berat itu. Ada sedikit rasa pusing yang ia rasakan, namun ini adalah hal biasa untuknya. Alisa membuka almamater yang ia pakai diiringi helaan napas berat. Tadi ia bilang pada Putri dan teman-temannya untuk pergi ke toilet sebentar. Pagi ini badannya sedang kurang sehat dan rasanya ia tak memiliki energi untuk menjalani hari.
Gadis itu meringis sambil memijat pelan pelipisnya. Ia menatap datar lengan kirinya yang menampilkan beberapa plaster yang fungsinya tentu untuk menutup luka yang ia ciptakan.
Tak ingin berlarut dengan rasa sakit itu, ia segera keluar dari toilet. Lalu menyandarkan punggungnya ke tembok di balkon yang menampilkan lapangan serta murid-murid yang berlalu lalang di koridor. Gedung IPS masih terlihat sepi pagi ini.
Alisa mendongak menatap langit yang berwarna biru cerah. Ia memejamkan matanya sambil menarik napas dalam untuk menenangkan diri, lantaran ada kilas balik yang tak ingin ia ingat lagi.
Plak!
"BERANI KAMU NYAKITIN NADINE, HAH?!"
Alisa tertegun. Masih dengan posisi yang sama, mendongakkan kepalanya dengan mata yang terpejam. Lagi-lagi, ini.
Plak!
"Udah saya bilang jangan panggil saya Mama!! Kamu bukan anak saya!! Jangan sentuh saya!"
Alisa menghembuskan napas panjang lewat mulutnya. Ia tak boleh terbawa lebih jauh dari ini.
Bruk!
"BERDIRI DAN PERGI! Bangun kamu! Jangan lebay!"
Dadanya naik turun dengan napas yang tak beraturan. Ia membuka matanya, dan menatap langit dengan tatapan yang berpendar gelisah juga mata yang berkaca-kaca. Pelipisnya mulai dihiasi keringat, sedangkan tangannya meremas kuat almamater yang ia pegang.
Brak!
"INI HUKUMAN BUAT KAMU!"
Bruk!
"Kamu yang sudah menghancurkan kehidupan saya, Alisa! LEBIH BAIK KAMU MATI!"
"Kenapa harus Nadine dan Anggara yang pergi? Kenapa anak saya yang sangat saya sayangi yang harus pergi? Kenapa Nadine tidak bisa bersama saya lebih lama lagi? KENAPA KAMU YANG ADA DI SINI?! KENAPA BUKAN KAMU YANG MATI DAN PERGI, ALISA?!"
Setetes air mata jatuh ke pipinya tanpa persetujuan darinya. Lagi-lagi kilas balik masa lalunya itu selalu menghampirinya secara tiba-tiba. Alisa benar-benar benci akan hal ini, karena membuatnya benar-benar terlihat lemah.
Plak!
"KAMU YANG SUDAH MENGHANCURKAN HIDUP SAYA!"
"KAMU YANG MENGAMBIL SEMUA KEBAHAGIAAN SAYA!"
Bruk!
"ANAK PEMBAWA SIAL! HARUSNYA KAMU YANG MATI! BUKAN ANAK DAN SUAMI SAYA!"
"GAK! BUKAN GU--"
KAMU SEDANG MEMBACA
FAREWELL: Our Story
Teen FictionAttention: Plagiarism is prohibited! This work belongs to the author, work with your hands and create good things. Jika rangkaian pertemuanku sebelumnya adalah sebuah kekeliruan, maka aku harap pertemuan dengan kalian kali ini adalah rangkaian dari...