***
Bukan ke rumahnya, tapi ke rumah abu tempat Kim Sohyun beristirahat. Jiyong mengajak Lisa ke sana, mengunjungi Kim Sohyun yang sudah lama pergi. Penjaga gedungnya mengenali Jiyong, sebab pria itu rutin datang ke sana. Setiap kali hatinya sakit, setiap kali sedih, setiap kali senang, Jiyong datang ke sana.
"Aku sering datang ke sini, bagaimana pun suasana hatiku," ucapnya, pada Lisa yang masih sedikit pening karena mabuknya. "Saat hatiku sakit, aku datang ke sini untuk mengingat Sohyun yang hatinya lebih sakit dariku. Setiap kali sedih, aku kesini untuk mengingat bagaimana sedihnya Sohyun. Bahkan saat senang, aku kesini untuk mengingatkan diriku sendiri kalau aku tidak boleh senang setelah apa yang ku lakukan padanya."
"Sudah tiga tahun," gumam Lisa. "Apa oppa masih tidak boleh bahagia? Lalu bagaimana denganku? Tidak boleh juga?"
"Kau harus bahagia-"
"Bagaimana caranya? Bahkan setelah tiga tahun aku pergi ke Paris, aku sama sekali tidak bahagia," sebal Lisa, menatap abu Sohyun dengan matanya yang bergetar. "Eonni, tolong lepaskan Jiyong oppa sekarang," pintanya, yang setelahnya lantas berbalik. Berucap kalau ia tidak ingin membenci Sohyun, namun tidak ada seorang pun yang bisa ia salahkan tiga tahun lalu, bahkan sekarang.
Lisa bersandar di kap depan mobil Jiyong, menunggu pria itu kembali. Perlahan ia melihat jam di pergelangan tangannya. Sekarang sudah pukul satu malam dan sudah dua puluh menit Jiyong berdiri sendirian di dalam rumah abu itu. Mungkin kakinya membeku dan tidak mau bergerak lagi. Lisa tidak ingin masuk dan mengeceknya.
Jiyong tidak pernah berpaling darinya. Ia adalah pria paling setia yang Lisa kenal, selain ayahnya. Sejak dulu, sampai mereka memutuskan untuk menikah, Lisa adalah dunianya, sama seperti bagaimana Lisa mencintai pria itu. Sesekali mereka bertengkar, menangis, marah, juga kecewa, tapi semua itu bisa mereka atasi kecuali kematian Kim Sohyun. Jiyong meninggalkan dunianya karena kejadian itu.
Setelah tiga puluh menit menunggu dalam dinginnya pukul satu malam, Jiyong akhirnya kembali. Dalam bisu, keduanya kembali masuk ke dalam mobil, kembali melaju di jalanan menuju gedung apartemen tempat Lisa tinggal. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Ingatan akan Sohyun yang melompat dari jendela kantor, jatuh ke atas sebuah mobil yang terparkir di bawahnya kemudian tewas di tempat kembali berputar dalam ingatan mereka.
Lisa melihat kejadian itu dari bawah, beberapa meter dari mobil yang menangkap tubuh Sohyun. Sedang Jiyong ada di dekat jendela, terengah sebab larinya tidak cukup cepat untuk berhasil menahan Sohyun. Sohyun meninggalkan pesan bunuh dirinya pada Jiyong. Membuat pria itu terikat pada rasa bersalah yang luar biasa menyesakan.
"Aku belum menikah," ucap Jiyong, tepat sebelum Lisa keluar dari mobilnya, di depan gedung apartemen tempat wanita itu tinggal, pada pukul dua menjelang tiga dini hari. "Aku bertemu dengan Kepala Lee di depan Sohyun. Kami makan bersama setelahnya, sedikit mengobrol lalu dia salah paham. Dia ingin mengatur kencan buta untukku, karena dia pikir aku harus segera melupakan Sohyun. Tapi aku memberitahunya kalau aku sudah menikah. Agar dia melupakan idenya itu."
"Sampai membayar seseorang untuk berpura-pura jadi istrimu? Bukankah itu berlebihan?"
Lisa tidak menunggu jawaban Jiyong. Tanpa menoleh lagi, gadis itu melangkah masuk ke dalam gedung apartemennya. Terus berjalan, berharap Jiyong akan mengejarnya, berharap pria itu akan menghampirinya. Lisa pikir Jiyong akan turun, meraih tangannya, lantas menjelaskan kalau ia salah paham. Namun apa yang ia dengar justru suara mesin dari mobil Jiyong yang melaju pergi.
Jiyong tidak datang ke kantor keesokan paginya. Pria itu tiba di rumahnya ketika hari hampir pagi. Ia duduk di ranjangnya, menatap kosong pada lantai. Perlahan, pesan yang Sohyun tinggalkan untuknya kembali memenuhi kepalanya.
Aku lelah. Kebahagiaan yang oppa bilang akan datang, rasanya tidak akan pernah datang untukku. Apa yang membedakanku denganmu? Apa karena oppa bertemu dengan Lisa? Sedang aku tidak menemukan siapapun? Aku juga ingin bertemu seorang kekasih kaya raya yang bisa membantuku, tapi aku tidak menemukan siapapun. Karena itu. Karena aku tidak bahagia di sini. Karena aku lelah tinggal di sini, aku akan pergi lebih dulu.
Pesan singkat yang Jiyong terima tempo hari, membuat pria itu terjaga sampai matahari terbit. Hanya duduk diam, melamun tanpa melakukan apapun sampai bel rumahnya berbunyi. Pria itu tahu bel rumahnya berbunyi, namun ia sama sekali tidak berencana untuk membukakan pintunya. Petugas gas, kurir paket atau asistennya— hanya orang-orang itu yang mungkin datang. Handphonenya bergetar, ada sebuah panggilan namun ia enggan untuk beranjak.
Sadarlah Kwon Jiyong, kau punya pekerjaan yang harus kau selesaikan— berulang kali pria itu menyadarkan dirinya sendiri. Berulang kali ia berusaha menggerakkan tubuhnya. Ia bisa bergerak. Ia bisa menoleh bahkan membaca nama orang yang meneleponnya. Namun setengah dari dirinya menolak untuk bereaksi.
Kau tidak berhak bahagia setelah membiarkan Sohyun menyerah begitu saja. Kau tidak berhak mendapatkan apapun setelah merenggut hidup seseorang dengan harapan-harapan palsu yang kau berikan padanya. Bertahanlah, nanti akan datang waktu dimana kau bisa bahagia— karena omong kosongmu itu, Sohyun mengakhiri hidupnya. Lantas atas dasar apa kau berhak untuk bahagia dan melupakannya?
Sepanjang pagi, Jiyong bergelut dengan dirinya sendiri. Bukan kali pertama ia begitu. Hampir setiap pagi ia harus bergelut dengan dirinya sendiri. Sebagian dari dirinya tenggelam dalam rasa bersalah dan merasa harus tetap tenggelam. Sebagian lainnya sudah terlalu sesak dan ingin segera naik ke permukaan. Rasa sesak itu semakin menjadi-jadi sejak Lisa muncul, membuat Jiyong sangat menginginkan gadis yang bisa membebaskannya dari keterpurukan itu.
Seseorang mencoba membuka kunci pintunya. Ia masukan kombinasi angka pertama— ulangtahun Jiyong— tapi salah. Ia masukan kombinasi kedua— ulangtahunnya— juga salah. Ia masukan kombinasi ketiga— hari jadi mereka— masih salah. Ia masukan kombinasi keempat— tanggal pernikahan mereka, dan saat itu lah pintunya terbuka.
"Oppa!" seru Lisa, mencari Jiyong yang tidak juga muncul bahkan setelah ia menerobos masuk. "Ya! Kwon Jiyong! Kau membuatku khawatir!" marah Lisa kemudian, setelah ia melihat Jiyong yang hanya duduk, melamun di atas ranjangnya. Emosi yang kemudian membuat Jiyong bisa mendapatkan kembali kesadarannya.
"Bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Jiyong, setelah akhirnya ia keluar dari lamunannya.
"Kenapa oppa tidak menjawab panggilanku?! Kenapa oppa tidak datang ke kantor hari ini?! Kenapa kau hanya duduk diam di sini?! Apa kau benar-benar menemui seorang psikiater?! Ada apa denganmu?! Kenapa kau jadi kacau begini?!"
"Berhenti lah berteriak," jawab Jiyong, menghindari tatapan Lisa. "Aku hanya terlambat beberapa jam. Kenapa kau datang ke sini? Kembali lah ke kantor. Selesai kan pekerjaan-"
"Sekarang sudah jam sembilan!" potong Lisa, menarik tirai yang ada di kamar itu, menunjukan langit malam yang ada di luar jendela. Bukan hanya sepanjang pagi, Jiyong duduk di kamarnya sepanjang hari. Di mulai sejak ia pulang setelah mengantar Lisa, sampai malam ketika Lisa datang.
"Ah? Sudah malam? Kurasa aku duduk lebih lama dari perkiraanku," tenang Jiyong, meski ia sedikit canggung.
"Ayo ke rumah sakit. Ayo temui seorang dokter, hm?" ajak Lisa, mengulurkan tangannya untuk meraih lengan Jiyong.
"Aku punya dokter-"
"Tapi tidak ada perubahan. Sudah tiga tahun. Kalau tahu begini, harusnya aku tidak pergi waktu itu. Oppa bilang, oppa akan berusaha. Oppa bilang, kalau aku pergi oppa akan melupakan semuanya dan memulai hidup baru. Tapi kau tidak melakukan apapun. Kalau tahu akan begini jadinya, harusnya kita tetap menikah. Sohyun eonni, masih lebih penting daripada aku? Sekarang pun begitu?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.