Cuaca sedang mendung di pagi hari ini, setelah Anela mengobrol dan bermain bersama Daren kemarin, banyak sekali pertanyaan yang datang dari Bunda Anela.
Bunda Anela bertanya Anela ada dimana, ia tidak marah, hanya khawatir anaknya terkena masalah. Bunda Anela bukanlah orang tua yang mengharuskan anaknya pintar dan terus masuk ke sekolah, demi kebahagiaan dan kenyamanan Anela, Bunda Anela membebaskan segalanya.
Anela menjelaskan kepada Bunda nya mengapa ia tak sekolah kemarin dengan alasan jika Anela mempunyai tugas yang sulit dan ia lupa mengerjakkan nya sehingga ia memilih tidak masuk daripada mendapatkan hukuman di pelajaran penting. Bunda Anela yang mengerti pun hanya menasihati anaknya agar tidak melakukkan hal seperti itu lagi.
Di waktu yang sangat pagi ini juga Fabian sudah mengetuk pintu rumah Anela dan ikut sarapan bersama Anela di meja makan. "Lo kemarin kemana La?" tanya Fabian dengan nada berbisik nya yang langsung dibalas dengan tatapan kebingungan dari Anela.
Anela tak terkejut, bahkan ia biasa saja. "Kenapa bisik bisik sih?" tanya Anela dengan santai sembari memakkan menu sarapan yang ada didepannya.
Fabian mendadak keheranan, ia menatap Anela tak percaya. "Kemarin ke sekolah kok, lo nya aja yang gak liat," ucap Anela lagi sembari menatap kepergian Bunda nya dari meja makan.
Helaan nafas keluar dari mulut Fabian, "Bohong?" tanya nya dengan nada pelan dan tulus.
"Kenapa tanya itu?" tanya Anela yang mulai kembali luluh dengan pria dihadapannya itu. "Vania sama Raphael kemarin ngebahas lo yang gak ada di sekolah, katanya sakit, tapi kan kita pergi bareng La,"
"Lo gak apa apa kan?" tanya Fabian lagi sembari mengusap kepala Anela dan menatap nya penuh ketenangan. Ucapan Daren kemarin selalu terbayang diingatannya, Anela memang harus melupakkan Fabian agar ia tidak akan menjadi seorang perusak.
Walaupun tidak ada niatan untuk Anela menjadi seorang perusak, tetapi mungkin saja hal itu akan Anela lakukkan secara tidak sadar jika hatinya masih terus sulit untuk melupakan.
Dengan senyuman manis nya, Anela memegang tangan Fabian yang ada di kepalanya dan menurunkan lengan itu kebawah secara perlahan.
"Gue gak apa apa," jawab Anela dengan senyuman lebar nya.
"Pantesan gak barengan terus sama Vania, Raphael. Lo bolos sih," ucap Fabian dengan nada yang sudah mulai asik untuk diajak bercanda.
"Emang harus barengan terus? Kita aja sahabat dari kecil udah saling gak kenal," ceplos Anela yang membuat Fabian seketika bungkam.
Fabian menganggukkan kepalanya merasa tak bisa membalas ucapan Anela lagi. Lelaki itupun langsung berdiri dan merapihkan seragamnya, "Yuk La, kita pergi sekolah," ajak Fabian yang langsung diangguki semangat oleh Anela.
Anela ikut bangkit dari duduknya dan langsung mengikuti arah jalan Fabian. Mereka memulai perjalanan dengan menduduki kendaraan roda empat milik Fabian.
Saat dipertengahan, Anela mengerutkan keningnya kebingungan saat tempat dan jalan yang selalu menjadi tempatnya memukai jalan kaki sudah dilewati. "Gak usah kaget gitu dong La, jadi pengen nge-botakin," becanda Fabian.
"Nah, turun disini aja." ucap Fabian sembari memberhentikkan mobilnya di tempat yang berjarak sangat dekat dengan sekolah.
Walaupun suasana nya lumayan sepi, tapi lokasi ini termasuk lokasi yang sering didatangi oleh banyak murid yang bersekolah di tempat Anela sekolah juga. "Gak apa apa?" tanya Anela dengan wajah kebingungannya.
"Ya gak apa apa lah, gue gak mau denger lo sakit lagi. Hati hati ya La," ucapnya dengan senyuman manis yang selalu Anela lihat jika ia sedang turun di pertengahan jalan seperti biasanya.
"Beneran?" tanya Anela memastikkan. Fabian menganggukkan kepalanya cepat, "Iya, lagian juga biar lo gak kabur lagi, gue jadi gak semangat kalau gak liat lo di sekolah," ucap Fabian yang jelas saja berhasil membuat jantung gadis itu berdebar tak karuan.
Anela pun akhirnya keluar dari mobil Fabian lalu memperhatikkan pergi nya Fabian darisana. Gadis itu berjalan perlahan demi perlahan dengan kepastian hati nya yang selalu berubah ubah.
Ketika Fabian mengeluarkan perhatiannya, Anela merasa bahwa ia tak sanggup menghapus perasaannya. Tetapi pikiran nya selalu berusaha maju untuk segera melupakkannya. Ini semua benar benar menyiksa kesehatan hatinya.
Sesampainya Anela di sekolah, ia langsung dikejutkan dengan teriakkan dari Vania dan banyaknya pertanyaan dari Raphael. Gadis itu memejamkan matanya memikirkan alasan apa yang harus ia berikkan kepada kedua orang cerdas di hadapannya ini.
"La! Jujur! Kemarin kemana?!" tanya Vania sembari menatap Anela bagaikkan seorang guru pemarah yang sedang dalam mode kesalnya.
"Sebentar ya, pelan pelan, boleh kan?" tanya Anela dengan senyuman lebarnya seolah berharap jika kedua sahabat baiknya itu bisa tenang dalam menanyakkan sesuatu yang tentu saja Anela takut ini terbongkar.
Mereka memang telah saling berjanji untuk memberitahukkan segalanya dan menjauhkan kata kata kebohongan dalam persahabatan. Namun untuk kali ini, Anela terpaksa melakukkannya karena ia tak ingin semua berubah menjadi lebih rumit dari sebelumnya.
"Kemarin, gue udah pergi ke sekolah. Tapi pas dijalan jadi keinget tugas pelajaran Matematika. Gue lupa kerjain, kalau ketahuan kan point gue bisa dikurangin. Jadi kabur aja deh," jawab Anela dengan harapan tinggi untuk kedua temannya bisa mempercayai alasan itu.
"Lo gak bohong La? Tumben banget gak kerjain Matem, biasanya udah." balas Raphael dengan emosi yang sudah mereda dan berubah menjadi mode penasarannya.
Mode penasaran milik Raphael dan Vania jelas saja lebih mengerikkan. Mereka seperti seorang mata mata yang bisa dengan mudahnya mengetahui sesuatu yang tak Anela perlihatkan.
"Serius deh, kemarin gue ketiduran gara gara abis kerjain jurnal. Ini juga masih harus revisian akhir," jawab Anela yang akhirnya mendapatkan anggukkan perlahan dari keduanya.
Tentu saja Vania dan Raphael tak sepenuhnya percaya, namun ketika mereka teringat tentang jurnal, mereka langsung mengerti bagaimana keadaan Anela yang sekarang.
"Kan bisa kerjain di sekolah La, tanya sama Raphael. Biasanya juga gitu," balas Vania dengan perasaan yang masih sedikit kesal.
Anela tersenyum lebar, "Males sekolah juga sih, capek. Takut kena omelan ketua jurnal, jadi kabur aja."
Raphael mendorong pelan bahu Anela, "Lain kali jangan gitu ya, lo bikin orang panik tau gak," omel lelaki itu dengan wajah kesal nya.
"Kalau lo bolos gak ngajak gue, gue marah 1 minggu sama lo!" ancam Vania namun dengan nada yang menurut Anela sangatlah menggemaskan.
Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya singkat lalu mengeluarkan jadi kelingkingnya. "Gue janji, kalau bolos harus bertiga," ucap Anela yang langsung dibalas oleh sentuhan jari kelingking yang lainnya.
"Gue juga capek belajar mulu, bolos gak ngajakkin, gak seru lo!" Raphael menatap Anela dengan tatapan kecewa nya yang langsung dibalas oleh tawaan kencang dari Anela.
Vania menatap kedua sahabatnya itu kebingungan, "Eh bentar, kenapa yang juara kelas malah rencanain bolos sih? Gue aja gak se-pengen itu kok."
"Bolos sehari gak bisa bikin aku bodoh Vania. Jadi santai aja." jawab Raphael dengan senyuman sombong diwajahnya.
"Alah! Nanti gagal masuk 5 besar angkatan aja ngadu, terus ngambek. Santai berubah sial ituma," balas Vania yang sudah mulai dengan mode jahilnya.
Anela yang tahu akan apa yang akan terjadi selanjutnya pun hanya membalikkan badan gadis itu menghadap ke papan tulis dan mulai menaruh buku bukunya di rak bawah meja.
Perdebatan antara kedua sahabat Anela itu masih berlanjut hingga sekarang, bahkan mereka memperdebatkan akan masalah lingkungan yang sedang rusak karena perubahan globalisasi. Tidak sama sekali masuk ke masalah yang sebelumnya, namun inilah mereka. Aneh dan tidak bisa ditebak, namun sifat itulah yang berhasil membuat Anela nyaman di setiap waktunya.