12

16 1 0
                                    

Di atas laut Cadudasa termenung. Tidak bergerak meski ombak mengajak berdansa. Tak peduli juga ia akan lampu-lampu panggung yang masih menyorot terang. Mungkin sedang tidak berminat. Karena pada pelayarannya kali ini penumpangnya berbeda. Tidak terdengar gelak tawa Jarot dan kawanan nelayannya yang sedang mabuk. Gembira karena mendapat tangkapan besar. Tepuk tangan dan gebuk pada dinding kapal pada nyanyian parau juga tidak menggema. Satu-satunya yang terdengar sekarang adalah suara tamparan.

Rendra dan Dindra tertunduk dengan pipi merah. Tidak berani mereka membalas tatap Kirana yang melotot galak. Pada lembar halaman baru, jagad semesta mencatat mungkin malam itu si kembar akhirnya berkenalan dengan sebuah marabahaya.

"Hamba benar-benar tidak habis pikir." kata Kirana melanjutkan kata-katanya lagi. Masih galak, namun juga masih terdengar seperti memohon. "Mencuri kitab pusaka kerajaan saja sudah pelanggaran berat, tetapi pergi meninggalkan Kincir Ametu? Apa kalian berdua sadar apa yang telah kalian lakukan? Apa sebenarnya yang kalian berdua inginkan?"

"Kami hanya ingin tahu." bisik Rendra pelan. "Tentang Kincir Ametu, tentang semua yang tidak kami ketahui. Dan juga tentang asal-usul nama kami."

"Masih kamu berkutat dengan itu, Rendra?" tanya Kirana tidak percaya. "Apakah hal itu benar-benar hal besar bagimu? Sampai kamu nekat untuk mencuri kitab milik Pikulun Gusti Prabu dan Pikulun Rani? Belum lagi sekarang kalian berdua mencuri kapal milik Gusti Jarot?"

"Meminjam." bisik Dindra.

"Mencuri, Dindra!" sambar Kirana cepat. Setelah itu sang apsari kembali lagi pada Rendra. "Ketahuilah, jika semua yang kalian inginkan, semua yang kalian hendak ketahui, semua akan terungkap pada waktunya nanti. Itulah janji Pikulun Prabu dan beliau tidak pernah berdusta. Kenapa kalian tidak dapat bersabar dan malah bertindak gegabah?"

"Kalau begitu sekarang Guru Kirana membenarkan dengan sungguh-sungguh jika memang ada yang disembunyikan dari kami?" tanya Rendra dengan tatapan tajam.

"Ya!" jawab Kirana mantap. "Memang ada beberapa hal yang belum kalian ketahui. Dan biar saya ulangi sekali lagi, jika semua itu adalah pertimbangan Pikulun Gusti Prabu Mahawira demi kebaikan kalian berdua! Pada waktunya nanti kalian akan mengetahui namun tidak sekarang! Sekarang kalian berdua akan ikut dengan saya pulang ke Kincir Ametu!"

"Tidak! Kami tidak akan pulang!" balas Rendra.

"Rendra!" seru Kirana.

"Guru Kirana, jika memang semua hal itu tersembunyi dari kami maka katakanlah jika memang patut untuk disembunyikan. Tetapi perlukah hingga berdusta?" sekarang Dindra yang berkata-kata. "Romo dan Sibu, Guru Kirana dan Guru Resi Rakata, semua orang menyirami kami dengan petuah bijak namun mereka juga yang berdusta pada kami."

"Dindra! Jangan berbicara yang bukan-bukan!"

"Tetapi memang bukankah demikian adanya? Saya menyadari sesuatu setelah melihat Banawi. Masih banyak sekali yang tidak kami ketahui. Semua tidak selalu indah terlihat seperti di Kincir Ametu. Sepanjang perjalanan kami tidak melihat sembrani seperti Anggara, tidak melihat bangsa naga seperti Guru Resi Rakata dan Paman Patih Rajawa, tidak juga melihat bangsa apsara dan apsari. Yang kami lihat berseberangan! Kami akhirnya melihat hal yang selama ini hanya dapat kami bayangkan dari setiap kisah cerita dan sejarah!" susul Rendra panjang.

"Cukup!" sentak Kirana dengan suara melengking. "Cukup! Jangan kalian teruskan lagi! Saya tidak ingin membahas hal ini lagi! Sekarang kapal akan berputar kembali menuju Padas!"

"Jika Guru Kirana ingin kembali maka kami tidak akan menahan," Dindra berjalan mundur lalu mengambil kantung bawaan miliknya. "kami akan terus menuju Argakencana biar bagaimanapun caranya. Jika aku harus menggendong Rendra berenang maka jadilah!"

Purana GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang