Kebetulan? Atau Takdir?

3 0 0
                                    

Uwaaah. Akhirnya sampai juga di akhir acara. Untung semuanya berjalan lancar, walau seharusnya sih bukan aku yang ada di panggung saat ini. Dan aku juga bangga pada diriku sendiri, karena bisa dibilang dengan nyaris tanpa persiapan aku tetap bisa bekerja maksimal tanpa kendala. Thanks to Apri, berkatnya aku bisa menambah poin di portofolioku sebagai MC. Hitung-hitung juga aku mulai promosi dan melebarkan sayap ke kota kelahiran yang justru aku sama sekali belum punya nama di sini.

Aku bisa melihat lurus ke depan, di mana Apri berdiri di dekat pintu sedang tersenyum sambil mengangkat kedua ibu jari tangannya. Dilihat dari gelagatnya, sepertinya sepupuku itu sudah sembuh dari penyakit anehnya akibat sedikit overdosis konsumsi suplemen penambah darah. Syukur deh kalau begitu. Tapi sejak kecil anak itu memang sering banget berpikiran pendek, dan sama sekali tidak berubah meski sudah sebesar ini.

Baiklah. My last task. Mari kita akhiri sekarang.

"Okay teman-teman. Seru banget ya bincang-bincang kita hari ini, sampai nggak terasa loh beberapa jam berlalu. Boleh dong minta tepuk tangannya buat pembicara kita, Pio."

Selama para audiens bertepuk tangan, aku menoleh pada Pio dan kebetulan cewek itu juga sedang menatapku. Dari sorot mata dan ekspresi wajahnya, aku tahu dia ingin mengucapkan terimakasih. Aku tahu dia sangat gugup, meski dia pintar banget menyembunyikannya. Tidak heran sih, ini debut pertamanya berbicara di depan banyak orang seperti ini. Dan sekali lagi aku bangga pada diriku sendiri, karena aku bisa membantunya dengan baik dan membuatnya nyaman berada di panggung. Yah, bukannya aku narsis. Apa salahnya mengapresiasi diri sendiri kan?

Mau tak mau aku menyeringai ramah supaya dia tidak merasa berutang budi atau semacamnya. Kan memang tugasku untuk membantunya. Dan aku juga mengedipkan sebelah mataku sebagai isyarat. Bukan masalah besar kok. You did a good job!

Perlahan tepuk tangan mulai mereda. Jadi aku berdiri dan memberi kode pada Pio agar ikut berdiri, lalu bersiap memberikan kata-kata penutup.

"Terimakasih untuk kalian semua yang sudah menyempatkan waktu untuk datang. Wow, kalau diperhatikan lagi semua kursi terisi penuh loh! Yang artinya semua yang sudah mendaftar tidak ada yang berhalangan hadir. Tapi dengan sangat berat hati Tora harus undur diri nih. Sampai jumpa lagi di ..."

"Eh, tunggu, tunggu!"

Eh? Aku menoleh pada Jimmy yang tahu-tahu muncul dari balik tirai di belakangku lengkap dengan mic di tangannya. Ada apa ini? Seingatku di rundown yang tadi diberikan Apri tidak ada informasi kalau Jimmy akan muncul di akhir segment. Perubahan rencana kah?

"Jangan pulang dulu teman-teman. Ada sedikit kenang-kenangan dari kami selaku panitia pelaksana event hari ini. Karena besarnya antusiasme kalian semua, kami memutuskan untuk memberikan bingkisan ke tujuh orang yang beruntung."

Aku diam sejenak. Penasaran. Sama seperti orang-orang di depanku. Mereka mulai berdiskusi pelan dengan orang-orang yang duduk di sampingnya.

"Jimmy, kenapa harus tujuh? Rasanya kurang pas gitu, kenapa bukan lima atau sepuluh?" tanyaku mewakilkan. Dicocokkan dengan tanggal pun, sekarang juga bukan tanggal tujuh.

"Angka kesukaan Ori," jawab Pio sambil tersenyum lebar.

"Oooohhhh," ucap para audiens serentak.

"That's right," tambah Jimmy sambil menjentikkan jari. "Jadi, di masing-masing kursi, tepatnya di bagian sandaran sudah ada tempelan nomor nih. Satu sampai lima puluh. Tapi kursinya nggak ditata berurutan sesuai nomor loh, ditatanya acak juga. Dan sudah dicatat urutannya sama panitia. Nah, biar makin adil, kita pakai generator nomor acak aja ya buat nentuin siapa tujuh orang beruntung tersebut. Tim operator, boleh tolong ditampilkan di layar."

Another Half of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang