The Blue Birthday

443 105 11
                                    



——

Hari Jumat kali ini berbeda dari hari Jumat biasanya, maupun empat hari weekday yang lain. Biasanya pada hari kerja Jelita sudah tiba di kantor sejak pukul tujuh—padahal jam kerja baru dimulai pukul sembilan—tapi hari ini, gadis itu sengaja mengambil cuti tahunannya.

Alasannya sederhana, karena hari ini adalah hari lahirnya. Sebenarnya pada tahun-tahun sebelumnya dia tidak pernah sampai mengambil cuti begini, karena toh tidak ada yang spesial juga. Semakin berkurang jatah umurnya di dunia, Jelita merasa ulang tahun bukanlah sesuatu yang wajib dirayakan.

Tapi tahun ini berbeda. Dia sudah memiliki dua janji dengan orang-orang terdekatnya hari ini. Pertama, siang ini dia akan menghabiskan waktu dengan Inggrid untuk pergi ke salon dan shopping. Dan yang kedua, Ardan sudah janji akan menemaninya sepulang kerja nanti—meskipun mereka belum punya rencana spesifik.

Jelita mengambil ponselnya untuk mengirim pesan ke salah satu anak buahnya. Seperti yang sudah-sudah, pada setiap hari ulang tahunnya itu Jelita selalu membelikan makan siang untuk satu kantor. Dan karena kali ini dia tidak bisa mengurusnya sendiri, akhirnya dia harus meminta tolong pada anak buahnya tersebut.

"Oke, urusan kantor udah beres..." Gumamnya sambil mengetikkan pesan terakhir yang akan dikirimnya. Setelah meletakkan ponselnya, Jelita membuka lemari pakaian untuk bersiap-siap karena jam yang ditentukan untuk bertemu dengan Inggrid sudah semakin dekat.

Setelah menghabiskan waktu setengah jam untuk memilih baju apa yang harus dipakainya, kini gadis itu bolak-balik melihat pantulan dirinya di cermin besar miliknya. Jelita memiliki satu ruangan di apartemennya yang khusus dijadikan untuk walk-in closet. Entah ada berapa banyak koleksi pakaian, tas, sepatu, dan aksesoris lainnya—mulai dari produk lokal hingga barang-barang branded mahal.

She loves fashion that much.

Penampilan Jelita di kantor dan di luar kantor benar-benar berbanding terbalik. Dengan penampilannya yang sekarang, tidak akan ada yang mengira kalau usianya sudah pertengahan kepala tiga.

Di tengah-tengah mini fashion show-nya itu, ponselnya yang berada di kamar tidurnya berbunyi, sontak membuat Jelita berlari untuk segera mengangkat telepon yang masuk.

"Yah, mati." Belum sempat Jelita menekan opsi 'call back' untuk menelepon balik Inggrid, lima pesan beruntun masuk ke iMessage-nya—dari orang yang sama—yang langsung membuat raut wajah Jelita berubah menjadi kecewa.

" Belum sempat Jelita menekan opsi 'call back' untuk menelepon balik Inggrid, lima pesan beruntun masuk ke iMessage-nya—dari orang yang sama—yang langsung membuat raut wajah Jelita berubah menjadi kecewa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Jelita tidak bisa menyalahkan juga, karena pada akhirnya setiap orang memiliki prioritas masing-masing. Toh, dia juga sudah sering dihadapkan dengan situasi seperti ini. Mau bagaimana lagi, kan?



Terbiasa sibuk dengan pekerjaan di kantor dan meeting dari satu tempat ke tempat lain hampir setiap harinya membuat Jelita kebingungan menghabiskan sisa waktunya sampai pukul enam sore nanti.

Karena malas sendirian, akhirnya dia membatalkan niat awalnya untuk ke salon dan shopping—yang berujung dengan menonton K-Drama di Netflix yang sudah menumpuk di My List-nya karena tidak pernah sempat untuk ditonton. Tapi setelah maraton dua series dengan total masing-masing 16 episode, dia merasa bosan juga.

Gadis itu beranjak dari sofa besar di ruang tengahnya dan berjalan menuju dapur. Tangannya membuka pintu kulkas untuk melihat isi di dalam sana. Jelita bukan orang yang suka memasak, tapi bukan berarti tidak bisa memasak. Dia hanya tidak punya waktu, jadi biasanya dia hanya akan melakukannya dua minggu sekali.

Sebuah ide terlintas di kepalanya, mungkin ini waktu yang tepat untuk memasak. Minggu lalu, Ardan kerap memamerkan kemampuan memasaknya yang kian membaik. Jelita juga tidak mau kalah, dia harus membuktikan pada Ardan kalau kemampuan lelaki itu tidak jauh lebih baik darinya.

Lasagna dan sebotol wine terdengar enak untuk menu makan malam nanti.



Satu jam.

Dua jam.

Tiga jam.

Ardan belum juga datang dari waktu yang dijanjikan, dan tidak ada kabar darinya sama sekali. Jelita tahu sesibuk apa pekerjaan Ardan di kantor, karena dia masih ikut mengurusi hampir semua hal di sana. Dan kalau sudah menyangkut soal pekerjaannya, lelaki itu tidak pernah setengah-setengah.

"Ini sih dibatalin juga nggak, sih?" Jelita menaruh ponselnya di atas meja sebelum menangkup wajah anjing berbulu putih miliknya. "Kalau tahu begini, mending aku kerja aja ya hari ini." Katanya.

Lagi, Jelita menegaskan pada dirinya sendiri bahwa setiap orang memiliki prioritasnya masing-masing. Dia sendiri juga pasti akan mendahulukan apa yang menurutnya penting, dan mungkin bisa melupakan hal yang lainnya.

"Tapi at least kan dia bisa kasih kabar biar gue nggak nungguin begini?!" Omelnya, entah pada siapa.

Selera makannya sudah menguap tidak bersisa sejak tadi, dan Jelita sama sekali tidak ada niat untuk menghangatkan masakan yang dibuatnya sepenuh hati itu.


——

——

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
A (Not So) Happy Free SoulWhere stories live. Discover now