Haii,
Yuk vote dulu, pencet bintangnya,
._.Selamat baca yaaa.
****
Membasahi kerongkongan yang tiba-tiba tercekat. Bibir tipis dan mungil itu kini melipat ke dalam seraya membasahi dan mengeluarkannya kembali. Meredakan degupan jantung yang sedari tadi berdetak tak semestinya, mencerna kejadian beberapa jam yang lalu, yang baru saja terjadi.
Dia kembali? Ia kembali datang setelah tiga tahun menghilang bagai di telan bumi, bagaimana bisa?
Gracia menghela nafasnya, ia menatap nanar pada pantulan cermin di depannya sambil tersenyum miris, "Huh, kenapa harus ketemu lagi?"
Ia menggelengkan kepalanya berulang kali, memejamkan matanya untuk mengusir hal-hal negatif yang sudah bersarang dan menjalar di seluruh bagian kepalanya.
Apa yang akan ia perbuat setelah ini? Gracia sangat tahu orang itu se-gimana liciknya, ia sangat tahu orang itu akan melakukan hal apapun demi keinginan dan kesenangannya dapat terwujud, se-licik apapun caranya.
"Tenang Cia, kamu harus tenang, Oke?" Gracia bergumam sambil menatap pantulan dirinya pada cermin, mencoba menyemangati meski ia tahu kenyataan, ia adalah manusia lemah.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Setelah membersihkan badan dan juga bersemedi sedikit, kini Gracia menuruni tangga rumahnya yang begitu sepi. Memakai pakaian santai, celana bahan dengan sweater oversize dan juga tas kecil yang bergantung pada bahu kanannya.
Ia berjalan menuju luar rumah, mobilnya sudah menunggu sedari tadi yang sudah di nyalakan. Segera ia memasuki dan duduk di kursi belakang, di ikuti dengan sang supir yang kini sudah ada pada posisinya.
"Malam ini mau kemana Nona?" Supir itu melirik pada spion, tersenyum tipis dan hangat.
Gracia mendengus, memajukan badannya dan memukul pelan lengan laki-laki yang kini sedang tertawa, "Bang Jari! Udah berapa kali Cia bilang, gausah panggil Nona. Kesel Cia lama-lama."
Jari Nugraha Prasetya. Laki-laki berusia dua puluh satu tahun, kelahiran Solo. Ia merupakan anak dari asisten rumah tangga keluarga Gracia, dirinya merantau ke sini bersama sang ibu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga biaya sekolah ke-tiga adiknya yang kini berada di kota kelahirannya. Suami Bi Surti sudah meninggal sejak Jari berusia tujuh tahun dan maka dari itu Surti dan Jari merantau untuk mencari pundi-pundi uang.
Jari sendiri sudah Gracia anggap seperti abangnya sendiri. Pembawaan Jari yang humble dan juga ceria membuat Gracia tak segan-segan menunjukkan kedekatan, terlebih lagi dirinya itu tidak punya kakak karena dia adalah anak tunggal, membuat ia bersyukur Jari bisa bekerja dengan keluarganya. Oh iya, Jari sendiri laki-laki yang pintar dan berwawasan tinggi, sayang saja dirinya tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, ingin membantu Ibunya bekerja saja katanya, padahal sudah di tawari oleh Dyo, tapi Jari menolak.
"Sorry deh, mukanya gausah gitu dong adik manis. Oke-oke, Cia bidadari mau Abang anter ke mana sekarang?"
"Ck, tetep aja ngeselin." Katanya memberengut seperti anak kecil.
Jari mengemudikan mobilnya dengan kecepatan delapan puluh kilometer per jam, jalanan yang tidak terlalu ramai kini menghiasi jalanan kota Jakarta, tumben sekali. Mungkin orang-orang sadar jangan terlalu sering keluar rumah dan membuat macet, apalagi sok-sokan keluar tapi tak punya arah tujuan. Biasanya anak muda seperti itu bukan? Hanya memacetkan jalanan tapi tak punya gandengan.
KAMU SEDANG MEMBACA
By My Side
General FictionShania Gracia tolong percaya aku. Aku sangat mencintaimu.