13. Meet Again

3.1K 309 47
                                    

Haii,

Yuk vote dulu, pencet bintangnya,
._.

Selamat baca yaaa.

****

Membasahi kerongkongan yang tiba-tiba tercekat. Bibir tipis dan mungil itu kini melipat ke dalam seraya membasahi dan mengeluarkannya kembali. Meredakan degupan jantung yang sedari tadi berdetak tak semestinya, mencerna kejadian beberapa jam yang lalu, yang baru saja terjadi.

Dia kembali? Ia kembali datang setelah tiga tahun menghilang bagai di telan bumi, bagaimana bisa?

Gracia menghela nafasnya, ia menatap nanar pada pantulan cermin di depannya sambil tersenyum miris, "Huh, kenapa harus ketemu lagi?"

Ia menggelengkan kepalanya berulang kali, memejamkan matanya untuk mengusir hal-hal negatif yang sudah bersarang dan menjalar di seluruh bagian kepalanya.

Apa yang akan ia perbuat setelah ini? Gracia sangat tahu orang itu se-gimana liciknya, ia sangat tahu orang itu akan melakukan hal apapun demi keinginan dan kesenangannya dapat terwujud, se-licik apapun caranya.

"Tenang Cia, kamu harus tenang, Oke?" Gracia bergumam sambil menatap pantulan dirinya pada cermin, mencoba menyemangati meski ia tahu kenyataan, ia adalah manusia lemah.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Setelah membersihkan badan dan juga bersemedi sedikit, kini Gracia menuruni tangga rumahnya yang begitu sepi. Memakai pakaian santai, celana bahan dengan sweater oversize dan juga tas kecil yang bergantung pada bahu kanannya.

Ia berjalan menuju luar rumah, mobilnya sudah menunggu sedari tadi yang sudah di nyalakan. Segera ia memasuki dan duduk di kursi belakang, di ikuti dengan sang supir yang kini sudah ada pada posisinya.

"Malam ini mau kemana Nona?" Supir itu melirik pada spion, tersenyum tipis dan hangat.

Gracia mendengus, memajukan badannya dan memukul pelan lengan laki-laki yang kini sedang tertawa, "Bang Jari! Udah berapa kali Cia bilang, gausah panggil Nona. Kesel Cia lama-lama."

Jari Nugraha Prasetya. Laki-laki berusia dua puluh satu tahun, kelahiran Solo. Ia merupakan anak dari asisten rumah tangga keluarga Gracia, dirinya merantau ke sini bersama sang ibu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga biaya sekolah ke-tiga adiknya yang kini berada di kota kelahirannya. Suami Bi Surti sudah meninggal sejak Jari berusia tujuh tahun dan maka dari itu Surti dan Jari merantau untuk mencari pundi-pundi uang.

Jari sendiri sudah Gracia anggap seperti abangnya sendiri. Pembawaan Jari yang humble dan juga ceria membuat Gracia tak segan-segan menunjukkan kedekatan, terlebih lagi dirinya itu tidak punya kakak karena dia adalah anak tunggal, membuat ia bersyukur Jari bisa bekerja dengan keluarganya. Oh iya, Jari sendiri laki-laki yang pintar dan berwawasan tinggi, sayang saja dirinya tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, ingin membantu Ibunya bekerja saja katanya, padahal sudah di tawari oleh Dyo, tapi Jari menolak.

"Sorry deh, mukanya gausah gitu dong adik manis. Oke-oke, Cia bidadari mau Abang anter ke mana sekarang?"

"Ck, tetep aja ngeselin." Katanya memberengut seperti anak kecil.

Jari mengemudikan mobilnya dengan kecepatan delapan puluh kilometer per jam, jalanan yang tidak terlalu ramai kini menghiasi jalanan kota Jakarta, tumben sekali. Mungkin orang-orang sadar jangan terlalu sering keluar rumah dan membuat macet, apalagi sok-sokan keluar tapi tak punya arah tujuan. Biasanya anak muda seperti itu bukan? Hanya memacetkan jalanan tapi tak punya gandengan.

          

"Peri kecil, adiknya Abang Jari yang paling cantik. Aku bisa baca pikiran kamu.." Katanya dengan menunjukan wajah sampingnya agar bisa melihat sekilas wajah Gracia yang kini ber-condong ke depan, ".. Pasti kamu mau ajakin Abang ke Cafe Rembulan, habis itu pergi ke rumah Rico. is this handsome brother's guess correct?" Katanya di akhiri dengan kekehan dan menaik-turunkan alisnya.

"Ya ya, memang kamu seorang peramal yang handal Bang."

"Tumben ke Cafe itu, se-inget aku, kamu ke sana kalau hati kamu lagi ga tenang. Apa hari ini, bad day?"

Gracia menggelengkan kepalanya, ia tak ingin menjawab pertanyaan Jari barusan. Tatapannya kembali menyendu, arah padangannya kini menatap Jari yang sesekali mencuri lirikan pada jalan dan Gracia. Pikirannya kembali terbayang pada kalimat seseorang tadi sore.

"Sampai sana aku harap kamu cerita Cia." Suara Jari barusan membuat Gracia tersadar, menatap ke arah laki-laki itu yang kini memasang ekspresi datar, ".. Kamu melupakan aku yang sering baca Buku-buku sama mempelajari tentang psikologi, kamu ngelupain aku yang mau jadi seorang psikolog meski ga jadi." Ucapnya di akhiri dengan kekehan.

Ah iya, Gracia melupakan itu. Ia tau bagaimana Jari sering mempelajari tentang psikologi secara otodidak. Buku-buku di kamarnya pun bertumpuk begitu banyak, satu rak yang menjulang tinggi.

"Bisa nanti aja tidak Bang?"

"Hari ini dan nanti tidak akan berubah, tetap sama. Jadi lebih baik ceritakan segera."

Selama di perjalanan keduanya kembali hening, lebih tepatnya Jari menyuruh Gracia menenangkan dirinya. Di temani radio yang menyala dengan playlist yang lumayan galau, entah karena penyiarnya sedang patah hati atau mungkin semesta sedang mendukung Gracia untuk merenung.

Melihat ke arah luar, menghitung berapa jumlah kendaraan yang melewati mobilnya atau terkadang menghitung jumlah gedung-gedung megah itu untuk mengalihkan pikirannya.

Tiga puluh lima menit kemudian, mobil sudah berhenti dan terparkir dengan sempurna di parkiran Cafe. Jari membuka seatbelt dan mengarahkan tubuhnya untuk melihat ke arah Gracia yang masih termenung, "Arwah gentayangan ga bakal masukin tubuh kamu, bisa di tonjok sama malaikat, jadi berhenti lah melamun." Katanya, ia dapat melihat keterkejutan Gracia yang tersentak dan langsung terduduk dengan tegap.

Jari keluar dari mobil, kemudian ia membukakan pintu belakang dan tersenyum ke arah Gracia, "Ayo turun, kasihan aku lihat mukamu. Masih umur enam belas tahun tapi serasa dua puluh delapan yang di tanya mana jodoh dan di suruh nikah cepet." Ucapnya dengan terkekeh, mengulurkan tangannya dan langsung di sambut oleh Gracia.

Mereka berdua memasuki Cafe, memilih duduk di samping kiri ruangan dengan kaca di sebelahnya yang menampilkan jalanan. Duduk saling berhadapan kini Jari melihat menu yang baru saja di beri oleh pegawai di sini.

"Pasta Carbonara satu, Nasi Goreng Satu.. Hmm, Es jeruk dua sama Es Krim Vanilla satu ya Mba.." Jari berucap sambil memberikan buku menu.

Setelah pergi, kini Jari menghadapkan tubuh dan pandangannya kembali pada Gracia sepenuhnya. Ia dapat melihat Gracia kembali melamun. Tersenyum dan menggelengkan kepalanya, menepuk sekilas pada tangan yang Gracia lipat di atas meja, "Malaikat sedang berantem sama setan, karena setan mau masuk ke tubuh kamu. Jangan banyak melamun, tolong kerja samanya dengan malaikat ya bidadari."

"Ga lucu Bang!" Gracia mendelik matanya, kemudian ia menatap Jari dan memajukan bibir bawahnya.

"Ngapain bibirnya di majuin? Kamu bukan type-ku Cia, terlalu daun muda."

"Eleuh, Pd banget ya abangnya.."

Jari tertawa, "Bercanda. Oke kembali ke inti, aku belum tua dan pikun. Jadi ada masalah apa hari ini?"

By My SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang