8. Fired

100 2 0
                                    

Membiasakan dari dengan hal baru itu butuh kerja keras ekstra dan pengorbanan besar. Pantas saja nggak banyak orang yang mau pindah dari titik nyamannya. Kalau boleh milih, aku juga nggak mau pindah dari hidup nyamanku dulu. Bukan cuma karena ada Papa yang masih bisa mengomel kalau aku makan mi instan, tapi aku nggak harus repot begini.

Tanganku cepat memasukkan semua buku dan alat tulis ke ransel. Aku nggak peduli semua benda ini akan berantakan di dalam tas. Mereka nggak mungkin bisa protes karena letaknya nggak sesuai pada tempatnya, kok. Nggak ada pulpen yang ngambek gara-gara dijauhkan dari stabilo kuning menyala yang udah seminggu ini diharapkan membalas cintanya.

"Ke mana, buru-buru banget?" Aya memperhatikanku yang memakai jaket.

"Kerja," jawabku singkat.

Mata Aya membulat. "Sebentar lagi, kan, kelas penggantinya Pak Ridwan, Vi. Lo nggak boleh bolos sehari pun di kelas ini atau nilai lo bakal D." Dia panik sendiri.

Aku memegang tangannya. "Aya yang cantik, tolong absenin gue, ya. Gue ada kepentingan menyangkut hidup orang banyak," pintaku penuh harapan. Aku menaruh sedikit beban masa depanku padanya.

"Mana bisa?" Aya ragu dengan permintaanku. "Muka gue beda banget sama muka lo, Cumi!"

"Percayalah kita adalah keluarga. Kakek moyang kita sama, Nabi Adam. Kita punya darah yang sama. Kita juga sama-sama Warga Negara Indonesia. Kita pasti mirip!" Aku berusaha meyakinkannya.

Dengan gerakan cepat tangan Aya sudah berpindah ke dahiku. "Lo nggak sakit. Jiwa lo aja yang bermasalah." Dia menggeleng sambil menatapku iba.

Aku tersenyum manis padanya. "Gue pergi dulu, ya. Udah hampir telat, nih," pamitku, lalu berlalu meninggalkannya.

Ini hari kelimaku menjadi karyawan di Djadoel Cafe. Hari ini aku nggak boleh telat, apalagi nggak datang. Kemarin, aku sudah datang terlambat selama hampir dua jam. Dosen Pengantar Bisnis dengan seenaknya menambah jam pelajaran sebagai kompensasi kelas sebelumnya yang kosong. Sekarang, giliran aku mengorbankan kuliah demi bisa bertahan di Djadoel Cafe.

Sesampainya di tempat kerja, aku langsung mengganti kemejaku dengan seragam pelayan. Seragam ini nggak ada yang istimewa. Hanya kaus berkerah warna merah yang ada logo Djadoel Cafe di bagian dada kiri. Sebagai bawahannya, kami bebas menggunakan apa pun, asal sopan. Kali ini aku nggak mengganti celana jins yang kupakai sejak tadi pagi.

"Vio," panggi Mbak Erika. Tubuh rampingnya menghalangi pintu ruang karyawan. Di samping dapur sengaja dibuat ruangan kecil khusus karyawan. Biasanya kami istirahat atau bersiap di sini. Ruangan ini nggak terlalu besar. Cuma ada satu pintu tanpa jendela yang membuatnya pengap.

Aku tersenyum sebagai bentuk penghormatan kepada atasan dan juga menutupi perasaan nggak enak yang datang saat melihatnya. "Mbak Erika. Apa kabar?" sahutku sambil melipat kemeja, lalu memasukkannya ke dalam ransel. Ada meja kayu di sudut ruangan, yang biasa kami pakai untuk meletakkan tas dan barang bawaan selama jam kerja.

"Nggak baik kalau kamu terus melakukan kesalahan." Kata-kata yang keluar dari bibir merah Mbak Erika tegas dan menyengat.

Di dalam dadaku seperti ada grup band musik metal yang sedang melakukan konser. Hentakan drum, petikan gitar, dan teriakan vokalisnya berbaur bersama teriakan para penonton yang nggak semuanya punya suara merdu. Aku memilih menunduk karena merasa bersalah.

"Ini peringatan terakhir buat kamu, Vio. Saya harap kamu nggak hancurin kafe ini lebih parah lagi." Mbak Erika menatapku tajam.

Aku tahu dia kecewa denganku. Aku terlalu banyak melakukan kesalahan. Mungkin aku dianugrahi kesialan lebih banyak dibandingkan orang lain. Setiap hari ada saja tindakan cerobohku yang berhasil menghancurkan barang. Wajar kalau akhirnya Mbak Erika murka. Aku sudah membuatnya rugi besar. Masih untung dia nggak meminta ganti rugi dari semua kekacauan yang kubuat.

Sugar Baby Wanna BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang