#77: Ditemukan

1.5K 261 43
                                    


"Apa yang kalian perbincangkan?"

Pertanyaan itu, dilontarkan Nawang Sari dengan dingin. Membuat suasana menjadi menegangkan. Semua menjadi terdiam.

"Aku tahu, kalian sedang merencanakan sesuatu. Tetapi, sepertinya sangat terlambat untuk itu. Dasar para manusia munafik, yang melakukan kebodohan pribadi, tapi selalu membutuhkan kambing hitam! Setiap kejahatan kalian, selalu menyalahkan iblis. Padahal hidup adalah pilihan. Mau baik atau buruk, itu adalah kesempatan yang kalian tentukan."

"Hentikan perbuatan kalian, Nawang Sari." kata Aki Tirem. Tetapi Nawang Sari malah tertawa.

"Apa yang harus dihentikan? Bukankah kalian yang memulai? Kalian yang selalu membutuhkan jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan. Tidak pernah mau berusaha yakin, dan juga tidak ingin memahami takdir. Jadi, nikmatilah!"

Tiba-tiba, Nawang Sari masuk ke dalam Rumah Bidadari, dan pintu rumah itu lalu tertutup. Dan perlahan-lahan, rumah besar itu lalu menghilang.

"Cahayaaaa!!!" Umima dan Nyi Larang menjerit dan menangis sekuatnya. Mereka berlarian ke sana kemari, pada sebuah tanah kosong yang sangat luas. Tak ada lagi rumah besar dan mewah milik bidadari. Itu artinya, Cahaya juga lenyap, bersama Cahaya dan bayinya Nawang Mentari.

Aki Tirem menoleh pada Nina dengan sedih,"Tarub, apakah kau bisa melakukan sesuatu?"

Tapi Nina, gadis kecil dari reinkarnasi itu, malah menggelengkan kepala.

****

Kem mengelap tangannya yang berlumuran darah, dengan kain putih yang diserahkan dayang-dayang. Seonggok tulang campur daging berlumuran darah kini tercerai berai di tanah Lapangan Merah. Para prajurit mulai mengumpulkannya untuk diberikan kepada anjing liar di hutan.

"Kepalanya dimasukkan ke dalam lubang kotoran!" perintah Kem, pada prajurit yang sedang menenteng kepala Jihan.

Puas sekali Kem, menyakiti wanita jalang itu sampai ke tulang. Dia bahagia mendengar jeritan dan lolongan memilukan dari mantan sahabatnya itu. Tapi yang membuat Kem seakan tidak sudi menghentikan siksaannya, karena Jihan tidak pernah sedikitpun mengucapkan kata "maaf". Seakan dia lupa atas segala kesalahannya yang membuat hidup Kem remuk redam.

"Aku tidak bisa menggoda suamimu, jika kau sendiri sebagai istri, tidak membuka peluang untuk itu! Kau biarkan aku masuk dalam kehidupanmu, menjadi bagian sahabat terhangat juga untuk suamimu. Pria yang tidak pernah kau berikan pelayanan terbaik di atas ranjang! Kau cuma bisa diam mengangkang, tanpa pernah kau bertanya, apa keinginan suamimu sesungguhnya. Dia butuh gairah, Kem. Gairah! Seks bukan sekedar melebarkan liang vaginamu!" teriak Jihan.

Kem tak menjawab, tetapi dia menusukkan kedua pisau ke mata wanita itu dengan ganas. Jihan menjerit-jerit kesakitan. Selanjutnya siksaan yang lebih pedih menyusul.

Kem, melemparkan kain lapnya yang bernoda ke sisa tulang tengkorak Jihan dengan jijik. "Apa kabar dengan kelakuanmu sendiri, Jihan? Kau hanya selalu melihat keburukan orang lain. Selalu merasa hebat melebihi orang lain, dalam segala hal. Kau seenaknya bisa mengatur, bahwa yang ini harus begitu, dan yang itu harus begini. Tanpa kau sadari, bahkan kau tak mampu mengatur nafsu untuk menguasai pada dirimu sendiri..."

"Lalu apa bedanya dia dan dirimu?"

Kem langsung menoleh. Didekatnya kini berdiri Dewawarman dengan begitu banyak pasukan di belakangnya.

"Dewawarman!" Kem menatap tajam ke arah pria, yang kini tampak begitu tidak menyukainya itu.

Dewawarman tersenyum sinis,"Jadi namamu itu, Kemuning? Kau berpura-pura menjadi Dewi Larasati, lalu mengacaukan istana ini, agar kau jadi Ratu yang berkuasa? Jangan bermimpi. Tanah ini warisan Larasati, dan kerajaan ini, aku yang dirikan. Kau tidak ada urusan di tempat ini. Jadi berhenti, dan bangunlah dari mimpi konyolmu itu!"

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang