"Vel? Kamu udah sadar?"
Veli mengerjapkan matanya. Mencoba menyesuaikan pandangan dengan cahaya di sekelilingnya.
Ia mengenali ruangan itu. Kamarnya, walaupun tampak lebih terang dari biasanya, karena Veli terbiasa menggunakan lampu tidur jika sudah berada di kamar.
"Mbak Jihan?" lirih Veli, sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri.
"Apa yang kamu rasain, Vel? Mana yang sakit?" Jihan memperhatikan Veli.
Veli menggelengkan kepalanya pelan. "Cuma pusing aja kok, mbak."
"Kamu minum obat dulu ya? Biar pusingnya hilang." Jihan menyiapkan beberapa obat yang ada di meja nakas. "Kebetulan mbak masih ada persediaan obat di rumah. Jadi mbak bawa ke sini waktu kamu pingsan tadi. Semoga obatnya cocok di tubuh kamu ya."
Veli mengangguk pelan, mencoba duduk bersandar di kepala tempat tidur, kemudian menerima beberapa obat dari tangan Jihan.
"Pelan-pelan minumnya." Jihan memberikan segelas air putih ke arah Veli untuk meminum obat.
"Makasih ya, mbak."
Jihan menggelengkan kepalanya pelan, setelah mengembalikan gelas air putih itu ke atas meja. "Makasih untuk apa? Justru seharusnya mbak minta maaf sama kamu, Vel. Karena mbak nggak bisa ngejelasin pelan-pelan, makanya kamu jadi pingsan kayak tadi. Mbak.."
"Mbak nggak salah kok. Mungkin akunya aja yang nggak bisa nerima kenyataan." sela Veli.
Jihan meraih tangan Veli. Menggenggamnya erat. "Perasaan kamu gimana sekarang, Vel? Maaf kalau penjelasan dari mbak dan Bang Zaqi justru nyakitin hati kamu. Mbak sama Bang Zaqi bener-bener minta maaf sama kamu. Mbak sama Bang Zaqi nggak ada maksud buat nyakitin kamu. Mbak sama Bang Zaqi cuma mau kamu belajar nerima takdir yang udah terjadi, Vel. Karena takdir itu nggak bisa kita rubah. Walaupun kita nggak rela, kita nggak ikhlas, tapi kita nggak bisa nentang takdir yang udah Tuhan gariskan buat kita. Iya, katakanlah kita nggak rela, kita nggak ikhlas buat nerima kenyataan kalau Arga udah meninggal. Tapi apa dengan itu kita bisa ngerubah takdir? Apa dengan sikap kita itu kita bisa balikin Arga lagi ke kita? Ke kehidupan kita? Enggak, kan?"
Jihan memperhatikan Veli yang kini sudah kembali menangis dalam diam.
"Mbak cuma mau kamu belajar ikhlas, Vel, buat kebaikan kita juga Arga. Biar kamu bisa ngejalanin hidup ke depan, biar Arga juga bisa tenang di alam sana. Biar Arga nggak terbebani. Doain Arga, biar dia mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan. Karena mbak yakin, dengan begitu, kamu juga pasti lama kelamaan bisa nerima ini semua."
Veli mengangguk lemah. "Iya, mbak. Aku mau belajar ikhlas buat nerima ini semua."
Jihan menepuk tangan Veli yang ada dalam genggaman tangannya. "Mbak bakal bantu sebisa mbak, biar kamu bisa ngelewatin ini semua, Vel. Kamu nggak perlu khawatir lagi. Kamu punya mbak dan Bang Zaqi yang bakal selalu ada buat kamu. Kita saudara kamu. Oke?"
Veli kembali mengangguk pelan. "Makasih ya, mbak. Mbak udah baik banget sama aku."
Jihan tersenyum. "Karena itu gunanya saudara."
"Tapi, mbak."
"Ya, Vel?"
"Tadi kata Bang Zaqi, aku datang waktu di KBRI, sebelum Mas Arga di antar ke pulang ke Indonesia."
Jihan mengangguk pelan. "Iya. Kamu datang waktu itu. Tapi waktu mbak tanya, apa kamu mau ikut pulang ke Indonesia, kamu nolak. Katanya kamu mau tetap di sini. Biar doa kamu aja yang nganter Arga pulang ke Indonesia."
"Tapi, kenapa justru aku nggak ingat sama sekali dengan kejadian itu, mbak? Kenapa aku justru nyariin Mas Arga sekarang? Bukannya harusnya aku ingat semuanya?" Veli menatap Jihan bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Bukan Jodohmu #4
RomanceKisah seorang Fidyan Arrizal Farauqi, dalam mencari jati diri. Ups! Sepertinya bukan pencarian jati diri. Melainkan perjuangan untuk menemukan seorang tambatan hati. Walaupun seumur hidupnya, ia terus menggaungkan 'Singlelillah' kepada teman-teman d...