Panjang hehe.
🐳🐳
Untuk kesekian kalinya Gagah kembali terjaga saat malam hari. Ia mengerjap saat tahu jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Ia mengusap wajah dengan kasar. Benar-benar kacau akhir-akhir ini. Sejak ketemu Sava pertama kali dan mimpi-mimpi tentang perempuan itu yang menangis, lalu tidak lagi diingatkan saat ia sudah meminta maaf, sekarang ia mimpi lagi!
Seumur-umur Gagah tidak pernah mimpi perempuan sampai sesering itu.
"Kita nggak cocok."
Ucapan Sava kemarin membuat Gagah berpikir ulang.
"Iya, Sav. Kayaknya kita nggak cocok."
Setelah Gagah mengiyakan, kok masih kepikiran?
Gagah akhirnya turun dari tempat tidur. Ia menuju dapur untuk menyeduh minuman hangat. Malam lagi dingin banget padahal AC kamar sudah ia matikan sejak sore. Ia membawa segelas susu, iya ia memang seperhitungan itu mengenai minuman apa yang harus dikonsumsi di jam-jam tertentu.
"Ikan-ikan," panggil Gagah setelah menarik kursi dan duduk di depan akuarium. Dua lengannya ditempatkan di meja untuk menyangga dagunya saat menatapi kegiatan ikan berenang. "Masa gue kepikiran Sava lagi?"
Gagah tidak tahu kenapa Sava muntah saat lihat foto louhan. Apa perempuan itu punya sejenis phobia atau alergi, ia tidak tahu.
"Kalian pasti nggak setuju kalo gue sama Sava. Soalnya dia takut sama kalian, terutama lo." Gagah menunjuk satu ikan di akuarium terpisah. "Louhan. Padahal lo cakep banget. Lo gue dapet harus mempertaruhkan adek gue sendiri. Untung calonnya adek gue nggak ketulungan baiknya, Lou. Jadi gue nggak dilema milih antara adek atau ikan."
Gagah nyengir setelah mengucapkannya. Kalau Anin dengar pasti ia sudah dilempar sepatu.
"Apa?" Gagah seperti mendengar gemericik air dari atraksi si cupang buas yang bolak-balik memutari tanaman yang ia taruh di dalam akuarium. "Lo bilang gue suka Sava, Pang? Serius?"
Ngadi-ngadi memang si cupang. Gagah mana bisa langsung suka sama Sava? Tertarik masih mungkin. Buktinya Gagah sempat hampir mengiyakan ajakan Sava untuk memulai sebuah hubungan walaupun akhirnya tidak jadi karena ada ikan di antara mereka.
"Apaan, Lou? Ngaco banget lo!" Gagah sedikit emosi. Kepalanya louhan persis di depannya, diam di sana tidak berenang ke sana kemari. "Lo bilang gue nggak suka dia tapi cinta? Lo jangan belain dia. Lo bisa ilang abis ini kalo setuju gue sama Sava."
Perasaan katanya jidat jenong itu pintar mikir. Kok louhan yang benjolnya keterlaluan itu malah makin mengada-ngada.
Gagah mengangkat kepala dari meja dan bersandar di kursi. Ia menyeruput susu hangat lalu menyisakan setengahnya. Ia jadi berpikir keras. Coba ia punya istri, pasti kalau kebangun jam segini tidak mungkin lihatin ikan doang kan?
Kok jadi ngebet begini ya? Padahal sebelumnya Gagah masih santai. Soalnya dulu kan Anin belum punya pacar dan Gagah merasa punya kewajiban untuk melakukan proses seleksi ke lelaki yang dekat dengan Anin. Dan kebahagiaan Gagah sendiri menjadi nomor sekian baginya.
Sekarang saat ia yakin adiknya sudah berada di tangan yang tepat, malah Gagah sendiri yang susah cari pasangan. Ia cukup selektif juga. Soalnya sebelum ini jarang yang selain menyayanginya juga sayang ke keluarga.
Gagah belum menemukan itu. Dulu pernah banget paling parah saat Gagah antar Anin berobat saat sakit, pacarnya ngambek berat katanya tidak diprioritaskan. Astaga, masa iya pacar Gagah itu lagi buang air besar saja suruh ditungguin? Cemburu yang tidak masuk akal. Malah terkesan membuat Gagah jadi miliknya saja, bukan milik keluarganya.
"Selain gue cari yang seneng sama keluarga gue," gumam Gagah. "Gue juga nyari yang suka sama hobi gue dong. Iya kan, Moll, Lou, Chan, Pang?"
Tapi ucapan Gagah malah tidak diikuti kata hati. Ia justru membuka ponsel dan menghela napas kasar. Tangannya tidak tahan membuka aplikasi pesan. Ia sempat terkejut sampai duduk tegak waktu sepintas lihat Sava sedang mengetik.
Ya Tuhan, umurnya sudah 27 tahun. Kenapa lihat Sava typing saja jantungnya tidak karu-karuan begitu?
Akhirnya Gagah buka ruang obrolan, tapi segera membelalak saat kata typing itu hilang dan Sava malah offline.
Sudah pasti Gagah susah lanjut tidur setelah ini. Sava, bisa-bisanya perempuan itu berhasil mengaduk perasaannya padahal pertemuan mereka juga baru beberapa kali. Lagian keduanya sudah setuju untuk tidak melanjutkan percakapan tentang mencoba sebuah hubungan.
Karena Gagah cinta ikan, tapi Sava malah muntah lihat ikan!
***
Sejak keinginan Gagah untuk punya pasangan hidup, jalannya memang mudah untuk dipertemukan perempuan-perempuan baik. Sayangnya beberapa dari perempuan yang dipertemukan dengannya justru membuatnya segan.
Contohnya sekarang. Bagaimana mungkin di antara 24 jam waktu, 7 hari dalam seminggu, bahkan seluas dunia itu, kok ia bisa satu lift dengan anaknya si bos. Padahal ini bukan jam kantor. Gagah kembali ke sana untuk mengambil beberapa dokumen yang tertinggal agar bisa ia selesaikan di rumah.
Sesuai perkiraan, Citra-seingatnya nama anak pak bos emang itu-seorang yang pendiam. Buktinya mereka tidak bercakap sedikit pun saat di lift, bahkan sampai keluar dari sana dan berjalan ke arah yang berbeda.
Tapi sayangnya Gagah lupa kalau ada satu dokumen yang masih ada di ruangan Bima. Mau tidak mau ia mengetuk dan dipersilakan segera masuk karena pintu tidak tertutup seluruhnya.
"Kebetulan. Gagah ke sini dulu."
Gagah tidak mungkin bisa menolak kan? Keadaan Bima yang kembali membaik akhir-akhir ini membuatnya bersyukur karena orang baik itu masih bisa tersenyum.
"Sudah kenalan sama Citra?"
"Sudah, Pak." Gagah baru duduk saat dipersilakan.
"Anak saya ini sangat pendiam," jelas Bima yang hanya Gagah balas dengan senyum kikuk. "Kadang saya nggak tau yang dia mau ini apa. Penurut sekali anaknya."
Gagah bisa mengira. Citra memang pendiam dan tidak banyak tingkah. Terlihat penurut. Ya, bisa dikatakan tipe-tipe yang Gagah mau. Tapi sayangnya ia juga heran dengan dirinya sendiri.
Yang ada di mimpinya akhir-akhir ini malah perempuan yang jauh dari tipenya. Perempuan cuek dan terlihat dingin macam Sava. Gagah tidak tahu ada apa dengan dirinya.
"Gagah sudah makan malam?"
Gagah segera menjawab, "Belum, Pak."
"Gimana kalau makan sama saya sama Citra juga?"
"Pa." Kali ini suara Citra terdengar. "Dia juga ada kesibukan sendiri. Ini bukan jam kerja, Pa."
Bima menghela napas, terlihat mengangguk mendengar ucapan anaknya. "Ya sudah. Papa masih mau di sini, Citra. Kamu pulang dulu ya. Terima kasih udah antar makan malam. Nanti biar Papa pulang sama sopir."
"Citra nunggu Papa aja."
Bima menggeleng. "Papa masih lama di sini. Lebih baik kamu pulang sekarang ya. Turunnya bareng sama Gagah biar nggak takut malam-malam begini di kantor."