04. Nurani Manusia

874 116 27
                                    

Saat masih berusia sebelas tahun, Arei sekeluarga pindah dari Osaka ke Jakarta karena perusahaan milik ayahnya, Daniel Russel, mengadakan proyek besar-besaran di sana. Pada awalnya, keluarga kecil yang hanya berisikan tiga orang itu berencana untuk pulang kembali ke Osaka setelah empat tahun. Namun Arei bersikeras untuk tetap tinggal meskipun seorang diri, untuk melanjutkan SMA di tempatnya bersekolah saat itu sampai lulus.

Kedua orang tuanya pun mengizinkan dengan beberapa syarat. Setelah sepakat, mereka lalu membeli rumah sewa yang sebelumnya ditanggung perusahaan dan sudah mereka tinggali sejak awal pindah ke Jakarta itu. Selain untuk ditinggali putra mereka hingga lulus SMA, rumah itu juga otomatis akan menjadi investasi untuknya.

Namun hari nahas itu tiba. Tiga tahun yang lalu di bulan Februari ketika pesawat yang ditumpangi Daniel Russel dan istrinya, Miya Matsumoto jatuh di perairan teluk Osaka sebelum sempat menjangkau bandara Kansai, menewaskan 155 orang penumpang dan awak. Tidak ada korban selamat.

Menurut beberapa pihak, penyebab kecelakaan itu adalah keteledoran pihak teknisi, sementara beberapa pihak lain menyalahkan sang pilot yang rumornya sempat memiliki masalah dengan minuman keras. Namun bagi Arei, apapun kesalahan yang telah diperbuat, atau siapapun yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut, orang-orang itu hanya melakukan yang terbaik. Salah rasanya jika kita harus menyalahkan orang-orang yang telah bekerja dengan segenap tenaganya, membawa tanggung jawab besar yang tidak lain adalah nyawa orang banyak dengan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Lagipula, Arei percaya bahwa setiap manusia lahir disertai nurani. Tidak ada manusia yang dengan sengaja berniat untuk membahayakan manusia lainnya.

Meskipun sangat terpukul, Arei telah tumbuh dewasa saat itu. Ia berusaha merelakan semuanya, meskipun ia mengalami hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun yang berat setelahnya.

Keiji Matsumoto, adik bungsu Miya Matsumoto, bertugas untuk mengurus segala aset yang ditinggalkan kakak iparnya, baik itu yang berada di Jepang ataupun di Indonesia, dan memastikan semuanya diatasnamakan Arei. Ia juga tetap meneruskan perusahaan Daniel, dimana sebelumnya ia pun berperan dalam membangun perusahaan itu—tepatnya, delapan belas tahun yang lalu sebelum kecelakaan pesawat terjadi.

"Jadi gini ..."

Arei tidak mendengarkan lagi suara Kanaya karena sibuk melepas kemeja putih yang bagian belakangnya sudah basah dan lengket karena keringat.

Sepulang dari Universitas Tokyo, ia berjalan kaki di sekitaran wilayah Hongo, melihat-lihat apartemen kecil yang direkomendasikan pamannya sebelum pulang naik kereta dan turun di stasiun Shin-Oukubo, lalu berjalan kaki sekitar sepuluh menit hingga sampai ke rumah pamannya pukul lima sore.

Kembali merasakan kegiatan jalan kaki untuk kesana-kemari tanpa membawa kendaraan rupanya cukup melelahkan bagi Arei. Perutnya bahkan sudah keroncongan sejak tadi. Namun sebelum makan, Arei terlebih dahulu harus mencopot pakaiannya lalu menyegarkan tubuh dengan setengah-mandi—ia terlalu lapar untuk benar-benar mandi, apalagi saat ini ada Kanaya dengan laporan rutinnya yang wajib didengarkan membuat gerakan buru-buru Arei terhambat dan akhirnya ia memilih untuk meletakkan ponsel itu di atas kasur sambil selang beberapa detik menyahut "Oh ya?" dan "Hm-m".

"Ngomong sama menara Tokyo, ya, gue!?"

Suara itu seakan memecah speaker ponsel kecil Arei, membuatnya tersentak kaget lalu cepat-cepat mengembalikan ponsel itu ke telinganya. Rupanya perempuan di sana sadar bahwa ia sedang tidak diacuhkan.

"Soriii, lagi ganti baju." Arei terkekeh. Ia kemudian berhasil memasang kaos dan celana boxer-nya dengan satu tangan. "Apa tadi?" Ia lalu menuruni tangga, membongkar kulkas pamannya yang hanya berisi snack dan soda kaleng di pintu bagian bawah, sementara di bagian atas hanya ada daging babi mentah. Ia beralih ke lemari makanan di sebelah kompor gas, dan akhirnya menemukan gudang mi instan pamannya.

Kamu akan menyukai ini

          

"Temennya mamah ada yang minat sama rumah lo."

"Oh ya?" Arei lagi-lagi mengalihkan suara Kanaya ke speaker lalu menyimpan ponselnya itu di atas meja. Namun kali ini ia benar-benar menyimak—meskipun sambil membuka bungkus mi dan memanaskan air. "Ntar deh, gue omongin ke paman."

"Oke. Lagi ngapain, sih?"

"Masak ramen. Masa se-lemari paman gue ini isinya mi instan semua ..."

"Satu shio sama lo."

Arei memutar bola mata. "Lo juga," balasnya.

"Enak aja—Eh, Lang ... Gilaaaang! Simpen, gak!?—"

Sambungan telepon mereka tiba-tiba terputus. Arei mengangkat bahu lalu buru-buru menyiapkan mangkuknya. Sepertinya adik laki-laki Kanaya sedang berulah lagi—Arei tak ambil pusing karena sudah sangat terbiasa mendengar kakak-beradik itu bertengkar sejadi-jadinya.

***

Masih dengan kemeja lengan panjang dan terusan pendeknya, Kanaya membuang diri di atas tempat tidur dan langsung meraih laptop yang sebelumnya ia tinggalkan begitu saja di atas kasur. Hari ini ia sudah menetapkan jadwal sebagai hari menyelesaikan episode-episode serial TV yang pernah ia lewatkan. Awalnya Kanaya berencana untuk memulainya dengan serial komedi romantis yang sudah lengkap ia kumpulkan sejak beberapa minggu yang lalu, tapi rencana itu sedikit terhambat karena Gilang yang rupanya melenceng dari tema "belanja keperluan SMP"-nya langsung mampir ke tempat hot wheels dan action figure. Ia menyapu habis keluaran-keluaran terbaru yang ada di sana seperti orang kesurupan, membuat Kanaya berteriak dan menghebohkan seisi toko—jelas sekali siapa yang dikira kesurupan saat itu.

Namun rupanya pandangan orang-orang tidak membuat amarah Kanaya mereda karena malu, sehingga mulailah perdebatan panjang antara dirinya dengan Gilang karena tentu saja ia tidak langsung berbaik hati mengeluarkan kartu atm-nya. Perdebatan itu pun berujung dengan Kanaya yang melaporkan tingkah Gilang pada ibunya di telepon. Lalu permasalahan selesai saat ibunya mengatakan bahwa ia akan mengganti seluruh pengeluaran adiknya hari ini.

"Akhirnyaaa!" seru Kanaya hiperbola.

Ia meraih earphone-nya yang terletak di atas kabinet sebelah ranjang, lalu mulai mencolokkan hard disk ke laptop saat seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"Naya?" sahut ibunya dari balik pintu.

Kanaya mendengus sambil menarik lepas earphone-nya. "Masuk, Mah!" teriaknya.

Jaren melangkah masuk dan langsung mengambil posisi di atas kasur, berhadapan dengan putrinya—masih berpakaian rapi lengkap dengan blazer, pertanda ia baru pulang kerja.

"Kata Arei, dia mau nanya pamannya dulu," celetuk Kanaya setelah menebak-nebak tujuan ibunya tiba-tiba berkunjung ke kamarnya dengan memasang tampang serius.

Jaren hanya mengangguk, tanpa melepaskan pandangan dari wajah Kanaya.

Kanaya mulai menyadari ada yang tidak beres. Biasanya dulu—dulu sekali, ekspresi itu hanya ditunjukkan setiap kali ibunya ingin curhat usai bertengkar dengan ayahnya.

"Mamah kenapa?"

Jaren menggeleng sambil memaksakan senyuman kecil. Ruangan itupun menjadi sangat sunyi untuk beberapa saat karena keduanya hanya terdiam.

"Kamu ... udah berubah pikiran?" Jaren mulai bersuara.

Kanaya mengerutkan kedua keningnya.

"Mamah masih layak kan ngurusin kalian?" Jaren kembali bertanya dengan suara bergetar. "Mamah udah usaha biar bisa pulang cepat. Buat kamu sama Gilang, Nay."

HEALINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang