Otwe Malam Pertama

5.9K 234 0
                                    

OTW Malam Pertama
(4)

Oke! Semangat Nara! Kamu pasti bisa.

Dia yang minta duluan, bukan aku. Lagi pula dia suamiku. Cukup sekali ini bukan. Yang penting uangku cair. Setelahnya, pasti hari-hari kami akan kembali seperti biasa.

Kutapaki satu demi satu lantai marmer di lantai dua. Menatap ke jam besar yang berada di ujung ruangan.

"Masih sore," gumamku.

Masih banyak waktu yang kupunya sampai Om Sombong itu datang. Banyak yang harus kupersiapkan di kamarku sendiri.

Kutarik napas dalam-dalam. Langkahku berhenti kala sampai di depa kamar Om Saga. Menatap ke pintu dengan ukiran klasik itu, ingatanku berputar pada kejadian sebulan lalu.

Jujur saja, ini mengagetkan. Karena di malam pertama, dia bilang tak akan pernah menyentuhku jika aku tak mau.

Malam itu, pria yang memakai tuxedo berwarna putih tulang, selaras warnanya dengan gaun pengantin yang kukenakan, datang menghampiriku yang mematung di depan anak-anak tangga.

"Kamu sedang apa? Tak lelah?" tanya Om Saga.

Pria itu bicara sambil mengurut lehernya. Sama sekali tak tampak bahwa dia menginginkanku malam itu. Pria yang kupikir akan melahapku setelah mengusir semua orang.

Padahal aku sendiri sangat gugup, sampai tak tahu apa yang mesti kuperbuat setelah ruang-ruang privasi kami sepi.

Ya ... usai akad, Om Saga memberi waktu dua jam agar tempat itu sudah selesai dibereskan. Tak boleh ada orang. Bahkan sampai sekarang, pelayan hanya boleh masuk di jam-jam tertentu saja.

Untung saja, rasa takutku pada suasana sepi hanya ketika berada di luar rumah. Bukan rumah yang memberiku keamanan. Karena sebelum menikah pun, aku sudah sering ke mari, tentu saja saat Om Saga tak ada di rumah.

Selama orang-orang membereskan pekerjaan, selama itu pula dia berbincang denganku dan keluarga yang datang. Suasana tampak canggung, kalau saja bukan Princess Nara yang jadi istrinya.

Ah, aku terbiasa menghadapi orang banyak. Tapi tidak dengan lelaki yang menganggapku seorang wanita di depanku waktu itu.

"Ehm. Aku lelah, Om. Yah lelah."

"Oh," sahutnya datar. "Kalau begitu tidurlah." Pria itu berjalan begitu saja melewatiku.

Mendahului menapaki anak-anak tangga. Langkahnya pelan tanpa beban. Hanya saja aku bisa melihat gurat lelah di wajah tampannya. Ah, kenapa aku mengatakannya tampan? Walau tampan tetap saja dia itu sudah tua!

"Om!" panggilku kala itu. Kuberanikan diri memanggilnya.

Pria itu berhenti. Membalik tubuh menatapku.

"Ya?" Dua alisnya yang tebal terangkat.

"Eum. Aku ...." Aku bingung harus bicara apa. Masa iya, mau ngomong soal anuan.

Ah, malu. Di mana harga diriku sebagai selebgram dengan follower 250K?

Om Saga malah tersenyum.

"Tidurlah, Bocah! Aku tak akan menyentuhmu jika kamu tak mau," ucapnya.

"Ap, apa?" Awalnya aku tak menyangka.

"Bibi sudah menyiapkan kamarmu di samping kamarku. Aku pikir kamu tak mau sekamar denganku. Tapi ... kalau kamu mau masuk ke sana, ya silakan saja."

"Apa?" Mataku melebar. Aku bingung dengan kata-katanya.

Tapi benar ... selama sebulan dia tak pernah merayu atau memintaku melakukan itu. Yah, dia orang sibuk mana ada waktu buat ke kamarku. Kadang pulang saja tengah malam.

Kamu akan menyukai ini

          

Sejak itulah aku merasa hidupku bebas. Tak perlu mengatasi traumaku karena harus melakukan itu.

"Ah, sudah, ya. Aku lelah sekali," ucapnya lagi. Lalu melangkah pergi meninggalkanku kamarnya sendiri.

Notif ponsel membuatku terhenyak. Bayangan Om Saga saat dulu meninggalkanku ke kamarnya menghilang.

Kuraih ponsel di saku. Saat kubuka ada dua chat bertengger.

"Alvin dan Mina."

Kubuka Alvin lebih dulu.

[Kalau kamu perlu bantuan untuk menjelaskan pada suamimu, aku akan melakukannya.]

Aku mendesah. Tampaknya sepupuku itu khawatir. Dulu aku bilang tak akan melakukan 'hubungan' dengan pria, bukan berarti tidak berusaha melakukannya dengan suamiku sendiri. Jelek-jelek gini, aku juga takut laknat malaikat.

Ya, aku punya trauma sebenarnya. Trauma yang dimulai sejak hari kematian Mama. Namun, aku juga punya kewajiban pada team. Membayar gaji mereka yang sudah lelah.

Mungkin aku belum sholihah, tapi aku tahu kalau menahan hak orang lain adalah perkara dzolim. Teamku harus digaji segera. Karena membayangkan sendiri saat hakku tak terpenuhi. Seperti sekarang misalnya, aku merasa berhak atas uang 5 juta dollar dan terus mengharapnya selama sebulan.

Namun, rupanya itu tak akan menjadi hak-ku selama aku tak tidur dengan Om Saga.

Chat dari Alvin tersebut hanya ku balas dengan emot senyum.

Lalu beralih ke pesan Mina.

[Kak, ada nggak satu juta dulu. Aku mau nebus obat ibu. Maaf. 🙏]

Tu ... kan. Apa kubilang?

Makin bulat saja niatku, untuk mendapat uang itu.

[Eum. Insyaallah besok pagi ya, Min. Maaf banget. Aku belum dapat uangnya.] send.

Ya Tuhan. Gini amat nasibku. Padahal sebelumnya semua baik-baik saja. Tapi Engkau menguji orang baik ini dengan ujian kekurangan uang. Oh, ini sungguh berat.

Kalau orang bilang, aku ini seperti tikus yang mati di lumbung padi.

"Maafkan aku, Mina." Aku mendesah.

"Apa aku pinjam Papa saja, ya? Tapi nanti Papa banyak nanya lagi. Ah, nggak ah. Lagian aku juga perlu uang dari Om Saga untuk keperluan lain. Nanggung. Malam ini akan kuambil keperjakaannya. Huahahaha. Semangat Nara! Semangat!"

Kulangkahkan kaki menuju kamarku sendiri. Pertama sebelum mandi, kubuka internet. Mencari artikel, bagaimana melakukan malam pertama tanpa sakit.
Kubaca dengan perlahan-lahan.

"Ya Tuhan, kenapa aku seperti pelacur saja. Rela buka artikel demi bisa dapat uang. Apa bedanya dengan menjual diri? Ah, nggak. Aku kan gadis Sholihah seperti kata followerku. Ini bukan menjual diri. Tapi ... melayani suami."

Mataku melebar saat menemukan sebuah gambar.

"Apa?? Gancet?!"

"Astagfirullah." Aku menutup mulutku sendiri.  "Ck. Ngadi-ngadi ini artikel. Kenapa muncul di pencarianku? Bikin panik saja."

Tak berhenti menggeser layar, akhirnya kubaca lagi. Kalimat-kalimat setelahnya sungguh mendamaikan jiwa. "Itu kenapa harus rilex."

Oke. Aku bisa rilex. Aku akan rilex begitu membayangkan uang lima juta dollar masuk rekeningku.

______________

Dengan gugup aku memasuki kamar Om Saga. Kamar yang tak pernah kumasuki meski ruangan itu tidak pernah dikunci.

"Sebenarnya aku harus memakai lingerie, tapi karena belum ada cinta di hatiku atau pun di hatinya. Untuk apa melakukan itu." Aku mencebik sambil mengelilingi kamar suamiku yang sangat luas.

"Ckck. Aku pikir aku sudah paling kaya. Tapu ternyata ...." Aku hanya bisa geleng-geleng melihat kamar megahnya.

"Apa aku pindah ke sini saja. Hahaha."

Aku bicara tidak-tidak untuk mengendalikan kegugupan sendiri.

Hanya untuk malam ini!

Namun ... sudah jam sembilan Om Saga tak juga datang.

"Apa aku telepon saja?"

Ah, tidak! Aku menggeleng.

"Ya Tuhan, kasian Mina. Kalau gini."

Aku mendesah dan terpikir sebuah ide. "Ya, aku harus minta tolong pada Alvin."

Akhirnya kukirim chat pada sepupu yang selalu bisa diandalkan itu.

[Al, tolong dong tf sejuta dulu ke rekening ini.]

Kukirim sebuah gambar, yang menunjukkan nomor rekening Mina.

[Ok]

Ya Tuhan Alvin baik banget.

[Makasih, ya]

[Sip. Sudah kejadian?]

[Apa?]

[Tidur sama suamimu]

Aku tersenyum sinis membaca pesannya. Kenapa juga harus membahas ini dengan Alvin?

Lagi pula, bagaimana bisa sudah terjadi?
Suamiku tak datang. Tak ada kabar. Dan aku malu menghubungi duluan.
Entahlah, apa Om Saga, benar-benar tak memikirkan pernikahan kami? Apa dia pria yang gila kerja? Apa jangan-jangan dia tak normal? Atau punya simpanan? Kenapa sama sekali tak memintaku melayaninya? Dia sangat dingin. Tiba-tiba saja aku merasa kesal, karena diabaikan.

Bersambung

Next bab 8 sudah ada di KBM App

https://kbm.id/book/read/d7536b5c-d676-e183-c1c3-9b14c2659312/27fcccdb-f335-28e1-4b61-3764746ac900?af=691ae0e5-0c0b-3eb2-77cf-2fa5965f5f37

Otewe Malam Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang