Selamat Tinggal

392 7 2
                                    

Trotoar basah sehabis hujan. Jalanan lengang. Aku duduk di halte universitas sendirian--tidak benar-benar sendirian sebetulnya, ada dua remaja berdiri menoleh ke kanan, menanti jemputan, atau taksi--menghirup udara segar. Angin membawa aroma tanah, debu pasir, dan rumput, membuatku bersyukur karena masih memiliki penciuman yang berfungsi dan sehat.

Kutatap bayangan di layar mode tidur ponsel. Sesosok gadis bermata sayu dengan senyum getir menghiasi wajah. Gadis yang berusaha menemukan tali penyelamat tatkala hampir tenggelam diterpa gelombang.

Perkuliahan berakhir setengah jam lalu, tetapi aku belum ingin pulang ke rumah. Setiba di depan halte, sadar ternyata kehabisan kuota internet, sehingga tidak bisa memesan ojol. Dua mobil angkot telah kuabaikan, sementara hati didera kegundahan.

Aku teringat Dirga.

Seandainya kuota internetku masih ada, kemudian menghubunginya, dia sudah pasti datang.

Akan tetapi, dia tak bisa lagi dimintai bantuan.

Aku ingat ekspresinya ketika aku memohon-mohon supaya kami putus. Di hari yang bersejarah itu, di bangku kayu dekat lapangan outdoor kampus.

"Seyra."

Jantungku selalu melompat setiap dia menyebut namaku. Masalahnya, dia membuatku terbuai. Tersipu. Melayang. Tekadku bisa goyah seketika.

"Jangan bercanda," ujarnya. Nadanya menegur seolah aku tengah melakukan kekeliruan. Padahal aku tidak berbuat keliru. Aku justru merasa benar.

"Aku enggak bercanda, Kak." Ugh, suaraku kering. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah berhasil melalui semua ini tanpa menangis?

"Kamu naksir cowok lain?"

Pertanyaan klise itu sesungguhnya mustahil keluar dari mulut sesosok Dirgantara.

Dia tahu betul circle pergaulanku; jaga jarak dari lawan jenis dan tidak menyimpan kontak cowok lain (atas kemauanku sendiri, bukan karena diatur-atur olehnya layaknya seorang pacar posesif--Dirga tidak posesif).

Dialah cinta pertamaku, satu-satunya lelaki yang kuidolakan di kampus. Dia telah melihat bagaimana aku menungguinya di tribun penonton, mendukungnya di pertandingan basket melawan fakultas sebelah, membelanya ketika dicurangi. Dia tersanjung atas semua itu. Tidak banyak drama selama pendekatan. Singkat kata, satu minggu setelah bertukar kontak WhatsApp, kami jadian.

Kenangan itu justru semakin terbesit di benakku.

Aku menelan ludah susah payah. "Enggak."

Penampilanku yang membosankan, wajahku yang tak semenor mahasiswi kebanyakan, harusnya membuat Dirga tidak mengira aku pindah ke lain hati.

"Terus, kenapa?" tuntutnya.

Aku menunduk. Tak kuasa membalas tatapannya yang menyengat bak terik matahari siang itu.

Kenapa? Karena aku takut.

Mengapa jawaban sederhana itu sulit diucapkan?

"Kita baru jalan satu bulan," ujarnya lagi.

Kepalaku mengangguk pelan, mengiakan. Dan sebab itulah, aku ingin secepatnya menuntaskan ini semua.

Selamat TinggalWhere stories live. Discover now