1. Sepi

69 3 1
                                    

Langit malam selalu terlihat sepi. Terkadang dihias bintang tanpa celoteh ramai. Inginku larut dalam hangat. Namun, sepi sendirilah yang mengajakku berteman.

💚

Bunyi jangkrik dan burung hantu disamarkan oleh suara anak-anak yang sedang bermain di lapangan--hanya terpisah jalan setapak dari tempatku berada. Padahal hari sudah malam, tetapi mereka masih belum masuk ke rumah masing-masing.

Aku duduk di atas kursi panjang, menonton mereka sambil menikmati sebatang rokok yang tinggal setengahnya.

Semilir angin terasa lembut mengenai kulit wajahku. Beruntung, aku sudah melapisi kaus pendek dengan jaket, dan untuk bawahannya memakai celana panjang sehingga tidak merasa kedinginan.

Tiang lampu jalan yang kurus kering bergoyang disapa angin malam. Cahaya kuning terpancar dari bohlam itu, sedikit meredup kala hewan kecil bersayap mengerubunginya.

Mendongakkan kepala, langit gelap yang terbentang luas tanpa bintang langsung memenuhi pandangan. Bulan pun enggan membantu penerangan sebab sinarnya terhalan di antara rerimbun pohon.

"Sendirian aja, Mrit!"

Aku sedikit terlonjak--sampai melemparkan sisa rokok--kala mendapatkan sapaan disertai tepukan agak kencang di pundak sebelah kanan. Menoleh ke arah si pelaku, aku lantas berkata dengan nada protes, "Eh, elu, Tang! Bikin kaget gua aja. Jangan manggil gua 'Mrit', dong! Udah kayak apaan jadinya."

Tatang tertawa lepas hingga membuat beberapa anak menoleh ke arah kami. Laki-laki yang memakai baju pendek hitam dengan celana gombrong selutut itu kemudian ikut menempati bagian kosong bangku panjang di sampingku.

"Impaslah, Bro. Elu juga manggil gua 'Tang' doang. Emangnya gua kutang?!" balasnya tanpa dosa.

"Ssst!" Aku lekas meletakkan telunjuk di depan bibir, "jangan terlalu kenceng ngomong kayak gitu, Tang. Elu kagak lihat di sini banyak bocah?"

"Sabodo teuing, ah." Laki-laki berperawakan jangkung itu mengangkat bahunya cuek, membuatku menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak pelan.

Tatang memang seperti itu, terkesan ceplas-ceplos. Namun, untuk ukuran anak pemilik kontrakan yang kutempati, dia termasuk royal.

"Bagi gua rokok, dong, Imrit!" pintanya tiba-tiba.

"Sekalian aja Ifrit! Biar nama gua samaan kayak jin!" Aku mendengkus kesal. Meski begitu, tetap kuberikan bungkus berisi gulungan tembakau padanya.

"Ya elah, salah mulu gua. Nih, makasih." Laki-laki itu menyerahkan barangku kembali. "Lu kagak …?"

Aku langsung menggeleng. "Enggak. Tadi gua udah abis dua batang."

Tatang tak menjawab lagi. Ia hanya manggut-manggut sebelum kemudian asyik dengan rokoknya. Sementara aku kembali menatap ke depan, di mana anak-anak kecil yang sedang bermain terlihat mulai berkurang.

Tak lama aku menyaksikan mereka, datang seorang wanita paruh baya yang memakai baju panjang, jilbab langsung, serta kain samping sebagai bawahan, dan menghampiri salah satu bocah laki-laki berkepala plontos.

"Ujaaang! Kadieu maneh! (Ke sini kamu!) Lainna ngaji malah ulin di lapangan! (Bukannya ngaji malah main!) Pantesan ti tadi diteangan euweuh wae. (Pantas aja dari tadi dicariin enggak ada.) Balik! Baliiik!"

Aku refleks meringis sambil mengusap telinga mendengar lengkingan perempuan itu yang berpotensi merusak salah satu  indraku ini.

Anak laki-laki gundul yang dipanggil Ujang tersebut terlihat langsung memasang sikap waspada, sebelum kemudian, lari terbirit-birit sambil menyerukan kata, "Ampun, Mak! Tadi diajak ama si Udin!"

"Ha ha ha!" Tatang yang sejak tadi diam tiba-tiba tertawa keras. Rokok yang sedang dihisapnya tadi terjepit  di antara jari tengah dan telunjuk. "Kocak banget, tuh, bocah! Untung kita, mah, udah gede sama hidup sendiri, ya, Mrit. Jadi enggak usah diribetin begitu," lanjutnya kemudian, sambil kembali merokok.

Aku hanya tergelak sumbang. Sedikit banyaknya, ucapan pemuda jangkung itu membuatku berpikir dalam.

Hahidup sendiri, ya? Enak, sih, tapisepi.

* * *

"He … heheotan … bulu ketek cacabutan … idung pesek dut-dutan …."

Nyanyian Mang Atep yang berbunyi lucu menyapa gendang telinga ketika aku memutuskan untuk masuk ke rumah setelah sekian lama berada di luar. Sementara Tatang sendiri sudah pulamg ke rumahnya.

Kontrakan yang sekarang kusewa memang ditinggali dua orang, dan teman seatapku adalah sosok yang tadi kusapa, yang saat ini sedang bersantai di ruangan depan.

"He … heheotan bul--"

"Belum tidur, Mang?"

Laki-laki yang membalut tubuhnya dengan kaus oblong putih dan sarung itu langsung menghentikan nyanyian ngasalnya. Ia lantas menaikkan pandangan ke arahku, dan menjawab, "Eh, maneh (kamu), Mrit. Belum ngantuk. Sekarang emang udah jam berapa?"

Aku segera memeriksa jam yang tertempel di dinding atas pintu.

"Jam sepuluh, Mang," balasku kemudian, menatap Mang Atep lagi.

"Ooh … he'euh. Soklah, duluan sana ke kamar. Urang, mah, rek (mau) di dieu (sini) dulu."

Aku mengiakan, lantas melanjutkan langkah yang tadi sempat tertahan di ambang pintu.

Rumah sewaan yang saat ini menjadi tempat tinggalku dan Mang Atep tidak terlalu besar, terdiri atas dua kamar, satu bilik mandi, dapur, dan bagian depan yang biasa dipakai bersantai. Itu pun luasnya tidak seberapa.

Untuk urusan makan, kami biasanya masing-masing. Kesibukan yang berbeda membuatku dan Mang Atep jarang bertemu.

Usai mengobrol sejenak dengan laki-laki yang berusia tiga tahun di atasku itu, aku pergi ke kamar mandi dulu.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh menit, aku masuk ke kamar yang berdinding abu-abu--warna untuk seluruh ruangan. Sampai di sana, aku melepaskan jaket dan menggantungnya asal di balik pintu bersama pakaian lainnya. Tidak ada lemari besar menyebabkanku menumpuk baju dan celana di balik benda pipih tersebut.

Barang-barang yang ada di bilik pribadi ini pun tak banyak. Hanya terdapat tempat tidur, dan lemari kayu berukuran kecil di ujung ruangan. Selain itu, kamarku penuh dengan pakaian yang berserakan di mana-mana.

Tidak ada yang ingin dilakukan lagi, aku segera melemparkan diri ke atas ranjang. Mata ini langsung tertuju pada langit-langit putih yang sebagiannya sudah berwarna kekuning-kuningan bekas rembesan air hujan.

'Sekarang tanggal berapa, ya?'

Memiringkan tubuh menghadap ke tembok di mana tempat kalender berada, aku terkejut kala mendapati angka 27 pada bulan Maret yang dilingkari spidol hitam.

'Udah waktunya, ya?'

Tanpa mengubah posisi badan, aku cepat-cepat merogoh saku celana, mengeluarkan dompet kulit yang telah sobek di sana-sini, dan membuka benda keramat itu.

Seketika, aku terpegun, lalu menghela napas panjang sambil memejamkan mata.

Hanya tersisa beberapa lembar uang dua ribuan dan satu lembar dua puluh ribu. 

'Ah, ternyata emang udah saatnya. Besok malem apa, ya? Kudu riset lokasinya dulu, nih.'

Bangkit dari tiduran, aku cepat-cepat mengambil tas di bawah ranjang dan mengobrak-abrik isinya. Setelah buku dan pulpen didapatkan, aku segera menuliskan hal-hal yang akan membantu 'operasi' nanti.

____

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang