Sampai di apartemen, aku segera turun dari mobil Pak Elang, belum terbiasa manggil El, sih. Kukira Pak Elang akan langsung pergi menuju rumahnya. Tapi ternyata ia turun dan mengikutiku sampai ke depan lift.
"Lho, Pak Elang ngapain?"
"Nganterin kamu,"
"Eng... tapi nggak perlu sampe depan pintu apartemen juga sih, Pak."
"O ... nggak boleh ya?"
Aduh, gimana jelasinnya ya? Bukannya ga boleh, cuma malu aja gitu. Takutnya ada tetangga julid yang suka nyebar gosip ngliatin. Heboh deh tar satu apartemen.
"Gimana ya, Pak. Ng ...." Susah jelasinnya, udah garuk-garuk kepala juga ga nemu kutu. Eh, ide maksudnya. Ide buat nglarang Pak Elang nganter sampe depan pintu apartemen ku.
"E ... e... e... Neng Andini... siapa, nih? Ganteng pisan. Pacarnya ya?" Tuh kan, biang gosip keburu lewat.
"Bukan Mbak, ini Boss saya."
Saat aku bilang Boss, Pak Elang dengan pongah menegakkan tubuh dan membenarkan posisi dasinya.
Emak-emak kek ikan buntal itu memindai Pak Elang dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Oh, Boss? Ganteng ya, tapi kok ... agak tua, ya?"gumamnya.
" Ehem! Siapa yang tua ya, Bu?" Selidik Pak Elang.
"Ibu, ibu, sejak kapan saya jadi ibumu?" jawab Bu Markonah sengit.
"Lha ibu tadi ngatain saya tua." Kayaknya Pak Elang ga Terima dibilang tua.
"Lha emang kamu tua, kan? Coba saya tanya, berapa umur kamu? Pasti lebih dari 30 tahun."
Pak Elang terkesiap dan diam. Emang bener kan usianya lebih dari 30 tahun.
"Ga bisa jawab kan? Udah Terima aja kalau kamu itu memang tua."
Pak Elang udah mangap hendak menyahut, tapi secepat kilat kututup mulutnya dengan tangan kananku lalu menyeretnya masuk ke dalam lift.
"Eh, tunggu, urusan kita belum selesai!"
Bu Markonah mencoba menghalangi pintu lift yang hampir tertutup, tapi aku mencoba mendorong tubuh wanita perawan di usia tua itu agar menjauh dari pintu lift.
"Udah ya Mbak Marko, bye ...." ucapku saat pintu lift menutup.
Begitu pintu lift tertutup aku melepas tanganku yang masih menempel di bibir Pak Elang.
"Kamu harusnya biarin aku ngasih pelajaran ke wanita tadi."
"Hilih! Beraninya ama cewek."
"Kok kamu ngebelain dia, sih?"
"Bukan ngebelain, hanya melihat fakta aja, Pak."
"Maksudnya? Kamu juga nganggep aku tua?"
"Eh, bukan gitu, Pak." Aduh, gimana dong pembaca, Jangan-jangan abis ini aku dipecat.
Beruntung pintu lift terbuka dan aku menarik Pak Elang untuk keluar lalu berjalan menuju pintu apartemen ku.
"Eng, maaf, Pak. Anterinnya sampe sini aja, ya." ujarku saat sudah di depan pintu.
"Kenapa?" Tiba-tiba Pak Elang memijit betisnya, "aduh capek sekali aku."
Aku tahu Pak Elang cuma berpura-pura, dengan berat hati kubuka pintu apartemen dan mempersilahkan dia masuk.
pak Elang tak langsung duduk di sofa, ia sibuk melihat-lihat isi dalam apartemen yang memang hanya ada kasur, lemari es, lemari baju, meja kerja plus sofa. Tak ada lainnya lagi. Foto keluarga sengaja tak kupasang, biarlah hanya aku saja yang tahu siapa keluargaku.
"Silahkan duduk, Pak. Mau minum teh apa kopi?"
"Susu."
"Ha? Apa?" tanyaku curiga.
"Jangan memandangku seperti itu. Susu hangat, jangan bilang kamu ngga punya susu."
"Pak Elang jangan aneh-aneh ya!" Ujarku sambil menujuknya.
Pria itu bangkit menuju kulkas lalu mengeluarkan satu kotak susu UHT. Astaga, ternyata otakku yang eror.
"Maksud aku susu ini."
"Oh ... kirain ...."
"Kirain apa? Maksud kamu aku membicarakan susu yang mana?"
Aku tak menjawab, hanya meraih susu UHT dari tangan Pak Elang dan menuangkannya ke dalam gelas.
"Aku maunya hangat, Andini."
"Tapi aku nggak punya kompor, Pak Elang."
Ia sepertinya tak percaya, dia berjalan menuju ruang yang disebut dapur. Kosong, tak ada apapun. Dia mendengkus.
"Besok beli kompor," ujarnya sambil berjalan kembali ke sofa. "Masa iya cewek gak punya kompor, padahal kan cewek harus pintar masak."
"Siap Pak Bos, besok beli kompor."
Dia hanya manggut-manggut lalu meminum susunya sampe habis. Aneh, cowok kok ga suka kopi dan teh ya? Padahal aku penggila kopi dan juga teh. Ada banyak merek kopi dan teh kemasan yang aku stok di kulkas. Susu jarang sekali aku minum.
"Ya sudah, aku pamit, ya." Pak Elang bangkit dan berjalan menuju pintu.
"Eh, iya, makasih sebelumnya sudah diantar sampai rumah."
"Sama-sama."
Lalu Pak Elang berjalan di lorong menuju lift. Entah kenapa aku enggan beranjak, melihat tubuh Pak Elang yang gagah hingga masuk ke dalam lift.
***
Aku baru saja turun dari lift menuju jalan raya di depan apartemen. Tiba-tiba sebuah mobil silver berhenti tepat di depanku. 2 orang berpakaian serba hitam turun mendekatiku.
Mereka tiba-tiba meraih kedua tanganku dan memaksaku masuk ke dalam mobil.
"Lepas! Lepaskan aku!"
Aku terus berontak, tapi kedua pria itu amat kuat.
Aku tak kuasa menahan kekuatan dia pria kekar itu dan mau tak mau masuk ke dalam mobil silver mewah tersebut. Di dalam sudah ada pria paruh baya yang menunggu. Ia menatapku sekilas lalu memerintahkan sopir untuk melaju.
"Aku mau turun!" teriakku sambil tetap berusaha lepas dari dua pria yang memegangiku.
Tak ada sahutan, suaraku sama sekali tak didengar. Pria-pria itu sibuk dengan tugas mereka masing-masing.
"Halo, Tuan, Target sudah di temukan." Ujar pria paruh baya yang duduk di sebelah sopir.
"Woi! Lepasin aku! Lepas!" teriakku histeris.
Pria paruh baya tadi menoleh ke arahku lalu menutup hidungku dengan saputangan putih. Baunya sangat menyengat, hingga kepalaku mendadak pusing dan berkunang-kunang.
Tak lama, pandanganku mulai kabur. Pria-pria dalam mobil nampak membesar lalu mengecil dan buram. Lalu gelap.