PERKARA 16

140 20 0
                                    

Sekembalinya Susie ke rumah, ia melemparkan ransel berisikan perlengkapan Tira ke atas ranjang. Kasurnya masih menunggu untuk dibereskan, begitu juga dengan pekerjaan-pekerjaan kuliah yang masih tercecer di lantai.

Susiemenaiki tangga menuju kamar orang tuanya. Pintu kamar masih terbuka. Ia mendapati ayahnya terbaring sambil memegang telepon genggam. Namun, tak ada tanda-tanda keberadaan ibunya.

Gadis itu mengamati raut wajah ayahnya yang tampak semakin kusut, termakan fitnah dan emosi yang ia alami. Pria tersebut tampak terjebak di dalam pikirannya sendiri sampai-sampai ia tidak menyadari Susie tengah berdiri di ambang pintu.

Susie menggenggam erat-erat telepon genggam di tangan. Sebersit keraguan melintas di dalam benak, membuatnya bertanya-tanya haruskah ia memberitahu ayahnya atau hal itu malahan hanya akan menambah pikiran beliau. Meski begitu, Susie akhirnya membulatkan tekad dan mengambil satu langkah memasuki kamar orang tuanya.

"Ayah," sapa Susie.

"Hai, Nak," ayahnya membalas setelah menoleh ke arah ambang pintu. Beliau tampak terkejut. "Kamu nggak kuliah?"

Susie menggeleng. Ia duduk di tepi ranjang ayahnya. "Nggak, Yah. Hari ini Susie absen kelas dulu," jawabnya sembari setengah mati berharap ia tidak akan diceramahi.

"Lho, kenapa, Sus?"

Sebuah helaan napas panjang keluar dari mulut Susie. "Ada sesuatu yang aku mau tunjukkan ke Ayah," kata gadis itu setelah jeda yang cukup lama. Ia berbicara perlahan, berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk menyampaikan informasi yang ia tahu pada ayahnya. "Tapi, sebelum aku menunjukkannya, aku minta Ayah jangan marah dan jangan panik, oke?"

Kening sang pria paruh baya tampak berkerut. Raut wajahnya memancarkan rasa ingin tahu yang bercampur dengan kecemasan. "Ada apa, Sus?"

Susie membuka galeri telepon genggamnya dan memperlihatkan foto yang ia potret di gudang kepada ayahnya. Foto tersebut berkualitas rendah karena penerangan di dalam gudang senjata yang buruk. Namun, wajah sang bos bersetelan kantoran masih terlihat jelas; mimik di wajahnya yang terpotret menyiratkan ia sedang terkejut. Mata Ayah Susie membelalak ketika ditunjukkan foto tersebut. Beliau spontan mengambil telepon genggam anaknya dari tangan gadis itu, lalu memosisikan diri sehingga ia duduk bersandar pada dinding.

"Apa ini?" tanya ayahnya dengan suara yang lebih keras. "Dari mana kamu dapat foto ini?"

"Maaf, Yah. Hari ini aku nggak kuliah karena aku pergi ke pabrik Thetatech." Suara Susie mengecil saat ia menjelaskan. Ia melihat ayahnya hendak menyela, maka ia buru-buru menambahkan. "Aku menemukan sebuah ruangan di balik gudang yang isinya semacam tempat perakitan dan gudang senjata, Yah."

"Thetatech tidak memproduksi senjata, Susie," sentak ayahnya. "Jangan sampai kamu termakan bualan media juga."

"Aku tahu, Yah," ujar Susie. "Makanya aku juga kaget saat aku menemukan ada ruangan tersebut di dalam pabrik Thetatech. Apalagi senjata yang mereka simpan punya logo Thetatech dan tracking number yang mirip dengan milik produk-produk asli."

Suara Ayah Susie bergetar. "Ini semacam operasi bawah tanah yang ilegal, Sus," ujar pria itu. Sedetik kemudian, sesuatu tampak terlintas di pikirannya, membuatnya menoleh ke arah Susie cepat-cepat. "Sus, kamu punya foto tracking number senjata-senjatanya, nggak?"

Gadis itu mengangguk. Ia memperbesar foto yang terpampang di layar telepon genggamnya. Di ujung kanan potret tersebut, tampak sebuah senapan besar yang diletakkan menyamping di atas rak. Cahaya lampu di gudang senjata tersebut persis mengenai senapan di bagian samping tempat tracking number-nya terukir sehingga Susie dapat membaca kode itu dengan jelas. "Itu, Yah, salah satunya," gumamnya.

TIRA: Perkara PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang