45. Keputusan Besar

1K 159 19
                                    

Aku benar benar menepati janjiku dengan mbak Wid untuk bermain Badminton bersama. Untungnya ci Susy mengizinkan.

Dan akhirnya kami memutuskan untuk bermain tunggal, mbak Naf nggak mau, sisanya cuma ada atlet, nggak mungkin kita ganggu cuma buat main abal abal ini.

Mbak Wid tertawa karena pukulannya tidak mengenai bola, "Raket gue bolong kayaknya, Ki!"

"Raket gue juga, Mbak!" Seruku. Lah aku benar, kan? Semua raket di dunia ini pasti bolong!

Mbak Wid mendudukkan dirinya, menatapku dengan keringat yang bercucuran. Aku menghampirinya, ikut duduk ditengah lapangannya.

"Lo beneran atlet, Ki!"

Aku tertawa pelan, "Gue dokter, Mbak."

"Gausah pamer punya dua gelar lo!"

Aku sekali lagi tertawa, kali ini lebih kencang. "Sorry ya tadi smash gue kekencengan." Seruku menatapnya khawatir.

Tadi memang smash ku sempat mengenai lengan kiri mbak Wid, kencang pula, aku jadi nggak enak.

"Nggak apa apa. Kenang kenangan nih memarnya!"

Aku melotot, menatap mbak Wid. "Serius memar? Duh, ayok ke ruang medis. Gue obatin!"

"Nggak usah. Kan gue bilang, kenang kenangan. Gue gak tahu kapan ketemu lo lagi, tapi gue beneran udah nganggep lo adek gue sendiri, Ki. Apapun keputusan lo gue dukung. Tapi gue gak bisa bohong, gue sedih banget denger lo mau resign. But that's okay, it's your decision!"

Aku menatap mbak Wid dengan mata yang berkaca kaca, hampir menumpahkan semuanya. Tatapan mbak Wid tulus sekali.

"Maaf, Mbak. Gue ngambil keputusan terburu buru begini."

"Gapapa. Anggap itu healing buat lo. Kalo sewaktu waktu takdir mempertemukan lo lagi sama Jombang atau gue, atau siapapun orang yang ada di pelatnas ini. Ingat aja, kita semua akan selalu jadi orang yang lo kenal. Dan lo nggak boleh canggung atau gaenakan!"

Kali ini aku gak bisa menahannya lagi, aku memasukkan diri dalam pelukan mbak Wid. Menumpahkan kembali kesedihan yang selama ini tertahan.

Walaupun aku punya Syifa, Al, dan Ken. Aku gak bisa cerita semuanya dengan bebas, karena aku tahu respon mereka semua nantinya. Aku hanya butuh seseorang yang mendengarkanku, bukan bertindak tanpa persetujuan ku.

Tapi dengan adanya mbak Wid, aku merasa cukup, sangat cukup. Dengan dia mendengarkanku saja aku sangat terbantu. Kadang hal hal sepele seperti ini yang bisa mengubah hidup seseorang.

"Heh, udahan dong peluk pelukannya, ah! Gue jadi ikutan mellow nih!"

Aku melepas pelukan mbak Wid, buru buru menghapus bercak air mata yang terlihat. Langsung menatap Meli yang sudah berkacak pinggang.

"Ngapain sih, lo? Ucok nungguin latihan tuh!" Sarkasku.

Meli berdecak, "Males ah sama Jordan terus."

Aku tertawa pelan, "Sok sok an marah lo, nanti juga makan siang bareng."

"Diem lo, Ki!"

"Ki, Rivalan sama gue yok!"

Kali ini aku menoleh ke belakang Meli. Menatap Kevin aneh, kenapa tiba tiba dia ngajak rival?

"Capek gue, Vin. Abis main sama mbak Wid. Di smash mulu gue!" Elakku. Aku beneran capek sih!

"Nih orang merendah untuk ditampol." Seru mbak Wid.

Aku tertawa lagi, berdiri dari duduk dan beranjak. Aku mengambil botol air di tas dan meminumnya. Kali ini semua benar benar punyaku, dari raket, Jersey, tas, bahkan air putih. Bukan Rian. Ah, Rian lagi.

Moonlight | Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang