5. Panggilan yang Nyaman

124 17 13
                                    

"Halo, Sayang?"

Seungheon melirik rekannya yang sedang mengangkat telepon, sepertinya dari istrinya. Ia kembali menyantap makan siangnya sambil melirik ponselnya.

"Oke. Boo akan pulang cepat hari ini."

Seungheon melirik teman kantornya yang lain yang juga saling lirik satu sama lain.

"Boo?" ucap salah satu temannya pada pria yang baru saja menutup telepon.

"Itu panggilan sayangnya padaku."

Teman-teman Seungheon rata-rata terkikik. "Ah, menggelikan," kata temannya yang lain.

"Bukannya kamu memanggil pacarmu seperti itu juga?" respons Seungheon. Yang ditanya menjawab dengan muka malas.

"Panggilan yang menurut kalian aneh dan menggelikan itu, lebih masuk akal dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah dari pada yang baru pacaran," ucap atasan Seungheon yang dari tadi cuma terkekeh.

"Kalau Song Gwajangnim panggil istrinya apa?"

"Hah?" Seungheon hampir tersedak. Tiba-tiba sekali.

"Panggilan sayang untuk istri."

Seungheon mengunyah makanannya dengan pelan. Sampai saat ini, mereka masih memanggil satu sama lain dengan nama diikuti akhiran -ssi.

"Panggil nama saja."

"Yang benar? Istri direktur kan jauh lebih muda."

Seungheon mengangguk pelan. "Hana paling suka dipanggil Hana."

Dan Seungheon hanya bisa melongo bingung ketika teman-temannya berseru menggodanya. Padahal, kan, dia cuma bilang kenyataannya?

"Memang panggilan terbaik itu yang disukai oleh pasangan."

Lagi-lagi, Seungheon termenung. Selain namanya, Hana sebenarnya suka dipanggil apa lagi, ya?


*****


"Kalau timjangnim, panggil suami dengan sebutan apa?"

Hana berkedip menatap anak HRD-nya. Selama ini Hana memanggil Seungheon dengan nama dan sebutan yang formal, karena memang sejak pertama kenal, hubungan mereka tidak pernah melewati tahap yang membuat mereka bisa melepas formalitas. Tapi sekarang mereka sudah menikah.

"Memang kenapa?" Hana tersenyum balik bertanya.

"Enggak apa-apa. Penasaran saja karena jarang lihat timjangnim memanggil orang tanpa gelar hormat."

Hana hanya tersenyum merespons anak HRD-nya.


*****


"Enak. Mungkin besok-besok bisa tambah sedikit gula," komentar Seungheon saat mencicip pancake buatan Hana.

Wajah Hana berubah kecewa. "Hambar, ya?" dia menyendok satu potong pancake dan mencobanya. Keningnya berkerut. "Hmm? Pas, kok."

"Ini enak. Cuma kalau aku, sukanya yang manis," jawab Seungheon.

Hana mengangguk dan bergumam, "Ah, iya. Seungheon-ssi suka yang sangat manis."

Mendengar Hana menyebut dirinya dengan embel-embel -ssi membuat Seungheon teringat percakapan di kantin tadi siang. Ia menatap Hana yang sedang mengunyah makanan.

"Hana..."

"Hmm?"

"Kalau aku panggil Hana saja, boleh tidak? Atau kamu mau dipanggil dengan sebutan lain?"

Hana berkedip, lalu mengangguk pelan. Panggil Hana tidak apa-apa.

"Bagaimana kalau kita mulai lepas sedikit-sedikit sebutan formal?" lanjut Seungheon.

Lagi-lagi Hana mengangguk.

"Tapi kalau kamu lebih nyaman memanggilku seperti biasa, tidak apa-apa," Seungheon kembali memakan pancake-nya.

Hana menatap Seungheon selama beberapa saat, memerhatikan pria itu makan dengan tenang juga lahap.

"Oppa..."

"Uhuk uhuk!" Seungheon tersedak lalu melihat Hana. Ia mengambil gelas air di atas meja.

"Seungheon Oppa, bagaimana?" tanya Hana, tidak terganggu sama sekali dengan reaksinya.

Seungheon meneguk segelas air sekaligus, lalu mengangguk cepat. "Boleh."

Hana mengangguk. "Seungheon Oppa..." gumamnya lalu tersenyum sendiri sambil mengambil sendok dan mulai makan kembali.

Oppa, menurut Hana, sebutan yang sangat cocok untuk pria di hadapannya. Selama mereka kenal sebelum menikah, image Seungheon di mata orang adalah lelaki gentle yang sangat menghormati wanita. Sedangkan, kata oppa sejak dulu selalu ia asosiasikan dengan laki-laki yang kalau bersamanya selalu membuat Hana merasa nyaman. Menyebut Seungheon dan oppa bersama-sama entah kenapa membuat Hana senang.

"Sayang."

Hana terbatuk sampai hampir mengeluarkan pancake dari hidungnya. Ia terbelalak menutup mulutnya sambil menatap Seungheon.

"Ah, sepertinya enggak dulu, ya?" lanjut Seungheon sambil memberikan tisu pada Hana.

Hana mengangguk. Tidak dulu. Bukan pertama kali seseorang memanggilnya 'sayang' (walaupun tadi Seungheon lebih ke mengeluarkan pendapat). Tapi ini Seungheon, bukan sembarang orang. Seungheon, orang yang sudah lama terasa sangat dekat namun berjarak, lalu melamarnya saat hubungan mereka masih di area formal. Seungheon, yang kini jadi suaminya.

"Sedikit-sedikit, kan?" Ucap Hana setelah mengelap mulutnya, menatap Seungheon agak tidak enak hati.

Seungheon tersenyum menenangkan Hana. "Iya, Hana."

"Terima kasih... Oppa," dan mereka makan kembali dalam diam.

Di saat-saat begini, Hana bersyukur sekali punya seseorang seperti Seungheon di sisinya. Ia pelan-pelan mengajak Hana keluar dari zona nyaman, dengan cara yang sangat nyaman.

"Tapi kalau sesekali panggil begitu, boleh kan, Sayang?"

"UHUK UHUK!!!"


-|-|-|-|-|-


Menggeliat hnggg. Wkwkwk.

Kira-kira next step apa lagi yang harus diungkap dari hubungan mereka?


Oh ya, inspirasi adopsi pohon bersama di part 3 itu ada sejak aku ngeadopsi pohon di Hutan Adat Riau. Proses adopsinya full online, order-nya lewat sistem gitu dan masa adopsinya 1 tahun, bisa diperpanjang kalau udah habis.

Tadinya cerita adopsi ini mau aku jadiin main plot book ini, tapi karena field report-nya jarang jadi susah research, akhirnya ku bikin yang ringan-ringan begini hohoho. Aku masukin sedikit di pertemuan pertama mereka hahaha. Mungkin di part-part selanjutnya Seungheon bakal ngajak Hana buat adopsi-adopsi lainnya? hohoho

Kalau teman-teman ada yang mau adopsi pohon juga, bisa baca thread twitterku:

https://twitter.com/_kikiyay/status/1428326468220645378?s=20


Have a peaceful weekend!

Comfortable With You | Seungheon × HanaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora