"Enggak!!! Gak boleh!!!"
"Enggaaaaaaakkkkk!!"
----
"Shani? Shan?"
Tepukan pelan mendarat di pipi Shani. Membuat Shani terlonjak dari tidurnya, ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum membuka kelopaknya. Matanya menatap sekeliling. Ia ingat betul, keberadaannya terakhir kali kala ia masih terjaga, adalah di kamar ini, kamar milik Gracia.
"Ini... aku, di kamar kamu?" Tanya Shani yang membuat Gracia menatap heran sekaligus bingung.
"Ya iya kamu di kamar aku. Kan kamu nginep, sayang."
Kesadaran Shani perlahan mulai mengumpul. Otaknya dipaksa untuk berproses cukup keras di hari yang apalagi belum ia mulai. Kedua mata Shani masih sangat basah, bahkan saat dirinya membuka netra. Nafasnya terengah, bulir keringat pun sudah banjir di kening dan lehernya.
Tepat didepan matanya, nampak wajah Gracia yang masih menatapnya penuh kekhawatiran. Ibu jari wanita itu senantiasa mengusap pipi Shani. Namun kedua sudut bibirnya masih menekuk ke bawah, dengan alis yang terangkat naik di masing masing sudutnya.
Tak lama, ia menggenggam tangan yang kini masih menangkup pipinya itu. Memindahkannya ke mana pun, asal tak menyentuh bagian tubuhnya. Rasanya Shani sedang tak ingin disentuh sama sekali. Shani membisu. Manik matanya memutus pandangan yang sejak dua menit lalu saling beradu. Ia diam bahkan mengabaikan pandangan hangat favoritnya yang kini seolah meminta untuk ditatap kembali. Shani memilih membalikkan badan, memunggungi Gracia.
"Shan? Kamu baik baik aja?" Tanya Gracia khawatir. Tak biasanya Shani tidur sampai se begitunya. Dapat mimpi buruk kah gadisnya itu? Sepertinya iya. Lantas, mimpi buruk apa yang hinggap di tidur malamnya itu? Gracia mau tau.
"Shan?" tanya Gracia sekali lagi. Shani masih tak merespon. Beberapa kali Gracia mencoba membalikkan badan Shani untuk beralih menghadap kearahnya, beberapa kali pula hal itu di tolak si empu badan. Gracia memilih mengalah. Mendekatkan tubuhnya pada tubuh kurus Shani. Merapatkan tubuh untuk sekedar bertanya.
“Are you ok, babe? Kamu mimpi buruk, ya? Mimpi apa sih? Kok sampe ketakutan gitu?". cerca Gracia. Dibalik tubuh Shani yang masih membelakangi Gracia, ia menyeka air mata yang sesekali masih menetes.
Gracia dibelakangnya masih menanti jawaban. Tangan halusnya terasa hangat membelai lengannya. Ia sebenarnya sangat suka skin touch yang selalu diberikan kekasihnya itu, tapi tidak untuk saat ini. Kembali Shani memejamkan mata. Mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia beserta badai nya.
Tapi, apakah Shani boleh merasa ragu? Bolehkah Shani merasa takut?
Ragu pada dirinya sendiri, apakah ia cukup kuat dan tangguh?
Takut jika nantinya ia justru melemah lalu kalah?
Dunia dan badai nya tak pernah bisa ia prediksi. Ia tak punya rencana satupun untuk menghadapi terpaan cobaan yang bahkan tak pernah ia duga sebelumnya.Semuanya masih terbayang jelas. Seperti potongan film yang kembali terputar dalam rongga kepalanya. Sadar jika semua yang dialami tadi untungnya hanya bunga tidur.
Shani membalik badan. Matanya langsung berhadapan dengan mata kekasihnya, cepat cepat ia memutus pandangannya pada mata Gracia. Diraihnya kedua tangan Gracia yang sekarang berada di kedua pipinya. Membawanya turun sedikit menolak keberadaan telapak lembut itu untuk singgah di pipinya.
"Shani? Ada apa, sayang?" tanya Gracia sekali lagi. Menuntut untuk dijawab, tapi tak ingin memaksa.
"A~aku ga apa apa kok." jawabnya. Namun suara itu terdengar bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEDICAL LOVE 💉 (final)
Teen FictionGxG 18+ (beberapa part) Medis Romance Fiksi Shani Indira natio Shania Gracia