Langkah kaki Rafanza terlihat sangat tergesa, memasuki rumah sakit yang tadi di infokan oleh seseorang melalui telepon sang Adik. Pada pesan itu dikatakan bahwa adiknya-Revanza-baru saja mendapati bullying atau bahasa lainnya di kroyok oleh beberapa perempuan.
Revanza merupakan tanggung jawabnya, juga orang paling berharga dalam hidupnya. Dan jika saja ada yang menyakiti adiknya seujung jaripun lihat saja, Rafanza akan membalas. Tidak akan diam, juga tidak akan pandang bulu.
Ketika sampai pada ruangan yang diberitahukan padanya, Rafanza mendapati sang adik tengah mengobrol dengan seorang lelaki. Yang dapat dipastikan adalah lelaki yang selama ini diceritakan oleh Revanza juga yang menolong adiknya itu kala mendapati rundungan. Rafanza melangkah masuk dengan wajah khawatir lalu menghampiri sang adik yang masih saja bisa tersenyum kearahnya disaat kondisi tubuh sangat buruk.
"Kamu gapapa? Mana yang sakit? Siapa dek, siapa yang lakuin ini?" Rafanza bertanya seraya tangan tangan menggengam telapak tangan sang adik dan tangan kirinya mengelus lembut kening yang nampak beberapa memar disana.
"Kak, aku gapapa, liat nih aku masih bisa senyum liat kakak." Dengan cengiran itu sang Adik mencoba menenangkan sang Kakak.
"Gimana yang gapapa coba, kamu liat keadaan kamu sekarang. Kasih tau kakak siapa yang ngelakuin ini ke kamu." Rafanza sama sekali tidak perduli dengan keberadaan manusia lain diantara mereka. Satu prioritasnya kali ini, Revanza.
Revanza kembali tersenyum, merasakan kasih sayang tak berujung dari sang Kakak membuatnya begitu bersyukur mendapati kehadiran seseorang seperti Rafanza sebagai kakaknya. "Reva gapapa, Reva tadi sempet lawan tapi kalah jumlah."
Rafanza yang mendengar itu dengan kontan menjitak kecil kepala Revanza, "Seharusnya telpon kakak, biar kakak bisa langsung dateng."
"I'm okay kak, beneran. Untung aja ada Kak Rai tadi yang gak sengaja lewat." Revanza menjelaskan, kembali meyakinkan sang kakak bahwa ia baik-baik saja.
Akhirnya, atensi Rafanza berbalik kearah satu nama yang tadi disebutkan oleh sang adik. Menolehkan kepala kearah lelaki yang sedari tadi hanya diam menyaksikan hubungan adik kakak yang diluar dugaan ternyata sangat hangat.
Sedikit terkejut, kembali mengingat kejadian beberapa minggu lalu ternyata benar ia orang nya.
"Iya bener, gue yang lo temuin sama Crystal di cafe harmonize." Bak dapat menebak isi kepala Rafanza lelaki itu bicara lebih dulu.
"Rai Setiadji.." ujar lelaki bernama Rai itu debgan menjulurkan tangan, memperkenalkan diri.
****
Revanza terbangun, mendapati sang Kakak yang masih berada tepat disampingnya. Ia tidak tahu mengapa, namun kala Rai memperkenalkan diri pada Rafanza, suasana berubah menjadi dingin. Seperti ada yang disembunyikan. Tatapan tajam Rafanza pada Rai malah berdampak pada dirinya, apa ada masalah antara dua lelaki sebaya itu.
Hiruk pikuk pemikiran gadis itu terhenti kala merasa elusan pada punggung tangannya. "Tidur Reva... istirahat."
Revanza menatap kearah sang kakak yang ternyata terbangun dan terfokus kearah dirinya. "Kakak gak ada masalah sama Kak Rai kan?"
"Engga ada, sekarang tidur masih malem. Besok kakak beresin semuanya."
Revanza menggeleng, "Gak usah kak, biarin Reva yang selesain."
Rafanza menegakan duduknya kala mendengar perkataan sang Adik, "Kamu tau kan, kamu tanggung jawab kakak, dan, kakak gak bisa biarin kamu kaya gini."
"Aku tau, aku paham juga seberapa sayang kakak ke aku tapi ini masalah aku kak-"
"Reva, kakak gak bakal buat masalah ini makin runyam, kamu tenang aja. Biarin kakak yang urus." Perkataan yang memiliki arti perintah itu tidak akan busa Revanza tolak. Jika kakaknya telah meutuskan maka itu yang akan terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Teen Fiction"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...