Chapter 12

28.6K 2.7K 60
                                    

—Lanjutan dari chapter 11

Happy reading 🤧

🌼🌼🌼

Setelah menunaikan ibadah shalat isya, aku bingung harus berbuat apa karena aku masih saja diacuhkan oleh suamiku sendiri. Yang biasanya aku berbagi cerita atau ia yang menegurku karena memandang layar ponsel terlalu dekat, hal itu tidak berlaku untuk malam ini. Aku bisa mati kebosanan jika terus-terusan seperti ini. Jika kalian bertanya, kenapa aku tidak menghalu seperti biasanya saja? Aku seperti ini karena aku sedang tidak mood dan hal itu tidak bisa dipaksakan.

Ya sudahlah, aku pergi ke kamar mandi saja untuk mencuci tangan serta wajahku sebelum tidur, tidak lupa juga mengganti pakaianku dengan piama panjang karena cuacanya dingin.

Kemudian, Aku naik ke atas ranjang dan mendekat ke arah lelaki yang sedari tadi duduk di tepi ranjang dengan menghadap ke arah jendela balkon yang sudah tertutup rapat itu. Ia masih asyik membaca buku yang ada di tangannya itu.

Aku menatap punggungnya yang hanya mengenakan kaos tipis itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menatap punggungnya yang hanya mengenakan kaos tipis itu. "Mas Ibra, mau pakai piama nggak?"

"Nggak," jawabnya singkat.

"Oh, ya udah kalau gitu."

Suasana kembali hening, dan sedari tadi aku tak kunjung merebahkan tubuhku yang butuh istirahat ini, aku masih menikmati pemandangan punggung tegap yang berada di hadapanku ini.

Tiba-tiba sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari mulutku demi membunuh kesenyapan yang bereuforia di sekitar kami ini. "Mas Ibra, besok mau makan apa? Biar aku buatin."

"Terserah."

"Oh, oke. Hmmm, besok mau sarapan di rumah atau dibawain bekal lagi kayak tadi pagi?"

"Terserah."

"Mas, besok aku izin keluar, ya?"

"Terserah."

Loh, eh? Aku memukul punggungnya. "Mas Ibra!"

Seketika Mas Ibra langsung menutup bukunya dan memutar posisi duduknya jadi mengahadap ke arahku. Ia menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak karena berwajah datar adalah kesehariannya.

"Kenapa sih dari tadi kamu selalu bilang terserah, terserah, dan terserah? Kamu udah nggak peduli sama aku?" Padahal aku berkata bahwa aku izin keluar itu hanya alibiku saja agar ia memberi respon lebih, ternyata tetap sama saja.

"Biasanya kamu selalu tanya-tanya dulu kalau aku izin keluar, tapi sekarang enggak kayak gitu, kamu ini kenapa sih?" kesalku.

"Lisanku tajam, Sa," peringatnya. Tampaknya ia berusaha untuk tetap sabar dalam menghadapiku.

"Biarin, terserah kamu mau ngom—"

"Kamu nggak butuh pendapatku, nggak butuh keputusanku, nggak perlu diskusi sama aku! Selama ini kamu bisa kan nge-handle semuanya sendiri dan bikin keputusan sendiri tanpa sepengetahuan aku? Sebenarnya aku sendiri bingung, kepala rumah tangganya itu aku atau kamu?" Mas Ibra menatapku dengan mata yang memerah, sangat terlihat jelas bahwa ia kecewa kepadaku.

Unplanned Wedding [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang