"Dit?" Panggil Bella. "Kamu pesen apa? Apa yang enak ya.." Lanjutnya.
Gue meletakkan menu, kemudian terdiam dan menatap Bella.
"Bella, we need to talk." Ujar gue.
Kami sedang berada di cafe sekitar Jimbaran untuk makan malam. Ini tahun kedua kami menikah, tapi rasanya seperti berabad-abad. Tidak ada rasa, tidak ada jiwa di hubungan kami. Tapi gue tetap bertahan, hingga saat ini. Setiap saat, aku mengutuk keputusan bodohku untuk menikah dengannya.
Bella menghela nafasnya dalam. Kemudian ikut meletakkan menu dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Waiter juga tampak mengerti clue yang gue kasih dan langsung pergi meninggalkan kami berdua.
"Why?" Tanya gue.
Bella menggelangkan kepalanya, "To be honest? Nggak tau.." Ujarnya sembari menyugar rambut coklatnya. "Mungkin karena aku nggak suka lihat kamu bahagia, sementara aku selalu sendirian."
Kali ini gue yang menggelengkan kepalanya, "And then you choose to hurt me? To hurt Sabi?"
"I'm sorry."
"Aku mau marah tapi kita udah jalan tahun kedua. Almost two fucking years." Desis gue. "Kamu masuk ke agamaku, kamu masuk ke keluargaku, kamu berusaha menangin hati mama aku. Aren't you tired already.."
"Pernah nggak sih kamu nanya ke diri kamu sendiri, kenapa Aditya nggak pernah nunjukin affection-nya or make love with me or try to have a baby with me? Atau setidaknya, tanya aku kenapa aku lebih milih tidur dikamar sebelah?" Kali ini nada gue agak sedikit meninggi. "All of that, karena kamu hanya nggak suka lihat aku bahagia gitu? Funny."
Gue menggeleng heran dan langsung berdiri, "Pack your things from my house, I'm done with you." Langsung gue cabut dan pergi meninggalkannya.
Masa bodoh orang-orang berpikiran apa tentang kami. Tentang gue yang meninggalkan seorang perempuan ditengah acara makan malam kami. Terserah. I'm done.
**
"Gitu aja?" Tanyaku.
Aditya mengangguk. "I never touched her, sama sekali. Aku tidur di kamar tamu kalau pulang, tapi lebih sering nggak pulang. She used me to feed her ego, so.."
"Terus sekarang kamu kembali untuk feed you ego?" Tanyaku.
"Sabi.."
"Dit, aku harus belajar dari kesalahan aku sebelum-sebelumnya. Kalau aku mau kembali seperti dulu saat kita masih sama-sama, apa iya aku akan lebih baik? Lebih bahagia?"
Makanan kami datang, aku makan dalam diam, begitu juga Aditya. Tidak sepatah katapun keluar sampai Aditya memanggil waiter meminta bill.
"Aku nggak akan ganggu kamu lagi kalau itu yang kamu minta, Sab. I'm not gonna promise you anything."
"You just did, again." Celetukku. "Setelah hari ini berakhir, besok pukul 6 pagi, kita resmi bukan orang yang saling kenal. Kamu nggak boleh buntutin aku, kamu unfollow all my social media, delete kontak aku. Aku juga akan lakuin hal yang sama."
"Why?" Tanya Aditya.
"Karena kalau kita memang di takdirkan ketemu lagi, ya kita akan ketemu lagi." Jawabku. "Aku tau kamu nggak akan permanen di Bali, jadwalku pun sudah mulai sibuk untuk menghadiri acara fashion lagi. So, it should be easy." Lanjutku.
Aditya terdiam sembari memejamkan matanya. Membenamkan wajah indahnya di kedua telapak tangannya. "Are you seeing someone?" Tanya Aditya tiba-tiba, sedikit membuatku terkejut dengan pertanyaanya.
Jawabanku tentu adalah gelengan. Aku sedang tidak dekat dengan siapapun, statusku masih sama sejak dulu. Tidak sedang berhubungan dengan pria manapun.
"Kalau kita ketemu dan ternyata kamu udah punya pacar, gimana?" Tanya Aditya lagi.
"Then so be it. Berarti itu takdirku." Jawabku mantap.
"Are you moved on already, Sab? Because I haven't." Ujarnya penuh dengan kelirihan.
**
"Coba ulang?" Ujar Marvi sembari menutup laptopnya. Kami sedang berada di dapur. Aku sedang sibuk membuat mie instan sementara Marvi duduk di depanku sembari mengedit beberapa videonya. "Di hipnotis lo ya?" Ledeknya.
"Sembarangan. Tapi bisa jadi nggak sih? Soalnya gue nggak berasa gitu nyetir sampe sana. Aneh banget nggak sih?" Ujarku sembari menuang mie ku ke dalam mangkuk. "Apa gue sempet di tepuk ya? Enggak tuh rasanya.
Marvi menghela nafasnya, "Gue sarkas aja nanya lo di hipnotis, Sab. Please deh."
Aku tertawa pelan kemudian dengan pelan meniup mie yang sudah ku gulung dengan garpu. Makanan tadi tidak terlalu enak dan porsinya juga kurang untuk-ku. Jadilah aku kembali makan dirumah.
"Then you got yourself a deal with him, huh?" Tanya Marvi. Aku mengangguk.
"Untuk nggak saling kenal? Pura-pura nggak saling kenal?" Tanya Marvi, lagi. Aku mengangguk, lagi.
"Kalau misalnya ada yang tanya, 'Eh, kamu kenal Aditya kan? Yang waktu itu sempat jadi photographer di majalah kamu, dulu itu lho.' Gimana? Lo jawabnya 'Sorry, udah nggak kenal' gitu?" Cerocos Marvi.
Aku meletakkan mangkuk mie ku dan duduk di sebelahnya, "Ya kalau pertanyaannya tentang kerjaan sih masih bisa gue jawab, Marv."
"Terus kalau pertanyaanya, 'Mbok Sabi, kok Bli Adit nggak pernah keliatan lagi?' Lo jawabnya, 'Adit siapa? Nggak kenal.' Gitu?"
Aku mendorong pelan bahu Marvi, "Apaan sih lo." Gerutuku. "Ilang mood gue makan tau nggak."
"Sengaja." Balas Marvi kemudian mengambil mangkuk mie ku.
"Mereka nggak bakalan tanya hal-hal sensitif gitu, Marv. Lo kan tau orang-orang sini, mana pernah mau ikut campur perkara orang lain. Urusan gue ya urusan gue, urusan mereka ya terserah mereka."
Marvi yang sedang menyeruput mie-ku langsung menoleh, "Betul. Lo memang nggak usah peduliin urusan mereka. Tapi apa dengan lo pura-pura nggak kenal Adit akan bikin lo merasa lebih lega?" Tanya Marvi, kali ini cukup serius. "Terus, kalau misalnya kalian nggak sengaja ketemu di mall, entah lo atau Adit bawa pasangan, apa kalian akan jalan melengos gitu aja tanpa tegur sapa?"
Aku menggeleng, "I don't know.." Jawabku. "Tadi gue cuma bilang, ya udah itu takdir kita.." Lanjutku.
Pertanyaan Aditya adalah kalau kami bertemu dan ternyata aku yang sudah memiliki gandengan, bukan kalau kami bertemu dan ternyata Aditya yang memiliki gandengan.
How can I handle?
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Mereka
General FictionSabi Rumaya Putri, seorang art director majalah Lush Magazine memilih resign dan kembali pulang ke Bali. Banyak yang menyayangkan keputusan Sabi. Semua memandang Sabi dengan kehidupan sempurnanya selama di Jakarta. Banyak yang mendambakan kehidupan...