Bab8. Anjani Dan Sakitnya

174 13 0
                                    

Ditulis:Ming, 3 April 2022. 06:11 WIB
Dibuat:Sen, 18 Oktober 2021. 15:01 WIB

Hai! Call me, Viiy!

Semoga kalian sehat-sehat ya!

Ayo senyumnya mana? Pokoknya harus tetep happy kiyowo ya!

Ayo absen nama kalian di sini👉

Mau cerita? Ayo sini!

Selamat berpuasa bagi yang menjalankan. Ga nyangka, puasa pertama bareng sama kalian di cerita ini. Tetap semangat ya!!

Follow akun WP ini ya! Follow juga Instagram @_viiy2020 dan tiktok @wattpad_viiy2020 & @viiy2020 untuk liat spoilernya.

Bantu promosi ya kalau kalian suka. Pakai #viiy2020 & #kbtksbyviiy2020

Seneng banget bisa nulis cerita ini. Semoga kalian suka ya! Dan jangan lupa menghargai sebuah karya dengan memberikan apresiasi kalian, yaitu dengan cara vote dan komen😉

•HAPPY READING•

Gue lebih suka memendam amarah dari pada harus meluapkannya. Meski gue tau itu sangat sesak di dada, tapi itu akan terasa lebih baik dari pada gue harus membiarkan kata-kata jahat gue menusuk ke dalam hatinya.

•••

"Papi, cukup, Pi. Sakit." Anjani terisak dengan memejamkan matanya, ketika tubuhnya terasa seperti sudah tidak memiliki tulang. Dia sudah pasrah merasakan setiap pukulan dan tendangan dari Papinya.

"Dasar anak nggak berguna, nggak tau diuntung kamu!" Rakka, papinya itu membangunkan Anjani dengan paksa. "Kenapa kamu nggak bisa sekali aja nurutin keinginan Papi?!" Rakka mendorong kasar Anjani sampai jatuh hingga pipinya bergesekan dengan ujung meja yang tajam.

Anjani memejamkan matanya merasakan sakit yang luar biasa di sekitar pipinya yang mengeluarkan darah hingga membuat matanya berkedut karena sakit. Tapi, itu tidak sebanding dengan sakit di hatinya.

"Apa yang membuat Papi berpikiran bahwa selama ini Anjani nggak pernah nurutin keinginan Papi? Apa?!" sentak Anjani dengan air matanya kembali turun bercampur dengan darah yang keluar dari pipinya yang terluka dan jatuh mengotori lantai.

"Selama ini Anjani udah berusaha buat nurutin semua keinginan Papi. Anjani udah ngikutin semua maunya Papi. Apa itu kurang untuk Papi?" tanya Anjani dengan suara parau. Dia menatap Rakka dengan sorot penuh luka.

"Diam kamu!"

"Tampar aku, Pi! Di sini, di pipi sebelah sini belum ada luka." Anjani menepuk pipi sebelah kirinya saat Rakka melayangkan tangannya hendak menampar Anjani.

Rakka menggeram kesal. Dia mengepalkan tangannya yang sudah melayang di udara. "Berani melawan kamu sama Papi?!"

Tidak segan-segan, Rakka meninju pipi Anjani. Membuat Anjani menolehkan kepalanya saat mendapat tinjuan keras dari Rakka.

"Rakka cukup! Berhenti nyakitin anak kamu sendiri kayak gini. Kamu nggak pantes memperlakukan anak kamu seperti itu!" Wanita seumuran dengan Rakka masuk ke dalam kamar Anjani untuk melerai keduanya. Dia Sarrah, mami Anjani.

"Terus siapa yang pantes? Kamu?" Rakka terkekeh sinis. "Seharusnya kamu di rumah mendidik dia menjadi anak yang penurut, nggak membangkang seperti ini!"

          

"Kamu nyalahin aku?" Sarrah tidak terima.

"Jelas! Karena kamu setiap hari keluyuran nggak jelas," tukasnya.

"Aku nggak keluyuran, Mas! Aku juga setiap hari kerja cari uang. Lagian di rumah, Anjani bisa diurus sama Mbok Minah. Kamu jangan seenaknya nyalahin aku," ketus Sarrah tak kalah menggunakan nada tingginya.

Anjani hanya diam menahan sesak di dadanya saat melihat kedua orang tuanya bertengkar di depan matanya sendiri. Ini memang bukan pertama kalinya, tapi entah mengapa rasanya selalu sakit bila melihat kedua orang yang disayanginya bertengkar hanya karena dirinya.

"Halah, lebih baik kamu keluar dari pekerjaan kamu itu. Biar aku sendiri yang kerja. Aku yang akan menafkahi keluarga ini." Rakka memalingkan tubuhnya dengan tangan yang berkacak pinggang, tidak mau mendengar alasan apapun dari Sarrah.

"Nggak bisa gitu dong, Mas! Aku juga mau jadi wanita karir. Masih mau ngejar karir aku. Aku nggak mau bergantung sama orang," ujar Sarrah membela diri.

"Karir, karir, karir! Kamu nggak pernah ngurusin anak-anak dan aku. Nggak pernah ngasih kami perhatian! Kamu terlalu sibuk sama dunia kamu!" sarkasnya.

"Perlu aku kasih kamu kaca? Hah?" Sarrah tidak kalah beraninya menatap Rakka dengan tajam.

"MAMI, PAPI, CUKUP!" Anjani berdiri dengan sisa tenaganya.

"Sayang..." Sarrah mendekat ke arah Anjani, lalu mengusap lembut pipi Anjani.

Anjani menepis kasar tangan Sarrah. "Nggak, Mi. Mami nggak usah sok baik sama Anjani, Mami nggak usah sok perhatian sama Anjani. Mami sama Papi itu sama aja. Mami nggak ada bedanya sama Papi," ketus Anjani. Dia menatap kedua orang tuanya secara bergantian dengan sorot penuh luka. Air matanya kembali jatuh membasahi pipinya. Rasa sesak memenuhi dadanya sejak tadi.

"Mami sama Papi selalu mementingkan urusan kalian masing-masing. Mami sama papi selalu berlomba-lomba mencari kekayaan, dan meningkatkan jabatan kalian dalam bekerja. Mami sama Papi terlalu sibuk ngurusin dunia yang seakan nggak ada habisnya." Anjani menjeda ucapannya saat sesak dalam dadanya datang menghantam begitu sakit. Anjani menghapus air matanya sembari mengontrol emosinya.

"Apa harta kekayaan kalian selama ini belum cukup? Mami sama Papi belum puas sama semua kemewahan ini?" Anjani menatap kedua orang tuanya dengan sendu. "Mi, Pi, Anjani cuma mau diperhatiin sama Mami dan Papi, udah nggak lebih. Tapi kenapa setiap kalian pulang kerja selalu aja berantem. Entah itu karena Anjani atau urusan kalian masing-masing."

Anjani menundukkan kepalanya. "Anjani capek..." Anjani menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, kemudian kembali menatap kedua orang tuanya. "Dari pada setiap kalian pulang ribut terus, lebih baik kalian nggak usah pulang sekalian. Mami sama Papi sama-sama keras kepala dan egois," pungkas Anjani meluapkan semua emosinya.

Anjani mendorong kedua orang tuanya untuk keluar dari kamarnya. Dia berharap orang tuanya tidak ribut lagi karena dirinya. Tapi ternyata sama saja. Kedua orang tuanya masih ribut di luar kamar Anjani.

"Ini semua karena kamu, Mas!"

"Kok jadi aku yang salah?!"

"Iyalah. Kan, laki-laki selalu salah."

"Kamu pikir, kamu udah bener?"

Kalimat itu yang dapat Anjani dengar dari balik pintu kamarnya. Dia menyandarkan kepalanya pada pintu kamarnya dengan merosotkan tubuhnya.

"Anjani capek. Pengen pergi jauh."

*****

Sakti tersenyum ketika matanya melihat Anjani yang baru saja turun dari mobil dan mulai memasuki gerbang sekolah dengan diantar oleh sopirnya.

Kita Berbeda Tapi Kita SamaWhere stories live. Discover now