Hai-hai, maaf baru update. Kalo lupa alur, baca ulang aja haha :)
Jangan lupa follow akunku hehe
BANTU VOTE ⭐, KOMEN 💬, TERUS SHARE 📢 KE TEMEN , TIKTOK, TWITTER, IG, ATAU KE SOSMED LAIN YUK 🙏🏻
MAKASIH ❤️
HAPPY READING
***
"Bunda, apa kabar?" Arkala meremas jemarinya gugup. Ini pertemuan pertamanya setelah keluar dari penjara. Cowok itu bahkan tak berhenti berkeringat dingin sejak kakinya menginjak lantai restoran bernuansa cokelat itu. "Maafin Arkala baru sempet ngajak Bunda ketemu. Arkala sebenarnya---"
"Arkala bisa nggak ya kamu kalo mau ketemu bilang dulu sehari sebelumnya atau beberapa hari sebelum janjian gitu, jadwal Bunda jadi berantakan gini." Wanita bersurai pendek itu menghela napas panjang. "Kamu udah besar, Ka. Jangan kaya anak kecil gitu dong, ya. Bunda juga punya kesibukan sendiri. Haikal juga mau masuk sekolah TK, dia udah mau kenalan sama angka gitu loh. Dia hebat banget deh. Ngga perlu Bunda ajarin tapi dia udah punya niatan buat belajar. Bunda seneng banget! Haikal anaknya bla, bla, bla ...."
Sedetik berikutnya, hanya Haikal yang Lilian bicarakan. Anak berusia empat tahun itu mengambil alih penuh kehidupan ibunya. Arkala tersenyum, sesekali mengepalkan tangan dengan kesal karena Lilian tidak sedikit pun bertanya tentangnya. Bagaimana kabarnya? Bagaimana hidupnya? Bagaimana dia bertahan? Tidak, dia bahkan tidak meliriknya sedikit pun dan sibuk menunjukkan potret Haikal padanya.
Mood Arkala memburuk. Rasa senangnya menguap. Dia bahkan sudah menyiapkan banyak cerita untuk dilewati bersama Ibunya itu, tetapi, Lilian tidak berminat. Dia sepertinya terbawa euphoria kehidupan barunya dan melupakannya. Hahahaha... Hidupnya sangat menyedihkan.
"Aduh, Ar. Haikal udah mau pulang nih. Abis ini dia juga ada les matematika. Udah dulu, ya. Kalo ada apa-apa kamu bisa telfon sekretaris Bunda, Fina. Tahu dia 'kan? dia pasti bantu kamu." Lilian menepuk pundak Arkala. "Sampai jumpa lagi, ya Ar!"
Lilian melengos pergi tanpa menunggu jawaban dari Arkala.
Sesaat kemudian, Arkala tertawa terbahak-bahak. Dia mengusap sudut matanya yang berair dan menghubungi Daniel. "Niel, keberadaan gue lagi-lagi ditolak."
Daniel, cowok itu menggeliat dari balik selimutnya dan bersin. Aylin lagi? Kok bisa sih? Lo apain dia?
"Lo sakit? Mau mati, ya?"
Daniel bersin-bersin kemudian kembali mengusap ujung hidungnya. "Ka, kaki gue masih sanggup buat nendang pantat lo, ya. Jangan macem-macem."
Arkala tertawa. Dia meminum jus mangga yang tadi dia pesan dengan segera.
Abang! Jangan mainan hape, ih! Kamu masih sakit lo!
Arkala menjauhkan ponselnya ketika sebuah teriakan terdengar dari arah seberang.
Bu, ini Arkala. Temen Abang.
Ya udah pamit dulu. Kamu masih sakit. Salah siapa hujan-hujanan kemaren huh? Bikin susah aja!
Ih ibu, abang sakit kok dimarahin sih.
Arkala yang tak kuasa mendengar percakapan ibu-anak itu segera memutuskan sambungan teleponnya. Dia tertawa geli dan mengusap wajah lelahnya. Rasa iri melingkupinya. Daniel begitu akrab dengan ibunya, berbanding terbalik dengan dirinya. Sebuah nama kembali terlintas dan dia memutuskan untuk menghubunginya. Rasanya dia sangat kesepian malam ini.
Aylin.
"Apa? Ganggu aja malem-malem. Emang ngga ada orang lain yang bisa lo ganggu apa?"
Arkala tersenyum. Aylin dan wajah marahnya sudah tergambar jelas dibenaknya. Gadis berusia tujuh belas tahun itu, entah sejak kapan sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Ay, gue capek.
Aylin yang tadinya bersiap untuk tidur berhenti menarik selimutnya.
Apa gue mati aja, ya? Ngga ada yang peduli sama gue. Gue tau apa yang gue lakuin salah. Gue tau gue mantan kriminal. Tapi, apa gue ngga bisa dapat kesempatan sekali lagi? Gue juga pengen bahagia.
Aylin menghela napas berat. Lihat? Saat dia ingin jahat, orang-orang disekelilingnya ini justru selalu menarik perhatiannya untuk berbuat baik. Dia pikir Arkala hanya bocah songong yang minta digeplak, tetapi sekarang dia justru memperlihatkan sisi lemahnya pada dia. Oh, ini menyebalkan. Dia tidak mau peduli tapi dia peduli. Dewa kelahiran bilang ini takdirnya tetapi bagaimana, ya? Rasanya dia masih sulit percaya jika hidupnya akan lancar jaya seperti biasa.
"Ka, bawain makanan dong. Gue laper. Kalo bisa ayam pedes kaya biasa, ya!"
Arkala mengedipkan matanya. "Ay, gue lagi sedih loh. Lagi sedih. Bisa-bisanya lo minta bawain ayam di saat kaya gini?"
"Katanya lo suka gue kan? Sisa dua hari lagi nih buat ngerayu gue sebelum gue tendang jauh-jauh. Gue laper banget, ngga boong."
Arkala mendengus pelan. "Oke," sahutnya pelan. Dia menatap ponselnya yang kini menampilkan layar menu dan menghela napas panjang. "Ngeselin, tapi gue suka. Sial, bisa-bisanya gue suka sama cewek jahat kaya dia."
Setengah jam kemudian Arkala tiba di rumah Aylin. Pemuda itu menekan bel rumah dan selang beberapa detik Aylin keluar. Gadis yang mengenakan pakaian tidur berlengan pendek dan celana pendek bermotif beruang itu menyembulkan kepalanya. Tangannya terulur dan Arkala yang peka segera memberikan bingkisan ayam pesanan Aylin padanya.
"Ay, gue---"
Baru sedetik mereka bersitatap, Aylin sudah lebih dulu menutup pintu rumah dan menghilang dari pandangan Arkala.
"Hahaha... Sial. Dasar cewek jahat!" maki Arkala pelan. Arkala berbalik hendak pergi namun dia terkesiap kaget ketika tiba-tiba saja seseorang menahan tangannya dari belakang.
"Aylin?" ucapnya heran.
"Besok jemput!" Aylin bertitah tegas. Seperti tidak ingin dibantah. "Ngga boleh telat apalagi ngilang ngga jelas. Besok ada ulangan matematika."
Arkala tersenyum. Dia meraih puncak kepala Aylin dan mengangguk. "Oke," ia menyahut lembut.
Aylin mengedipkan matanya, sesaat kemudian melepaskan tangan Arkala. Dia menyerahkan sebuah gantungan kunci dengan motif beruang kaca bening yang memeluk tanda love. Imut. Sama sekali bukan gaya Arkala. Cowok itu menerimanya dengan geli. "Lin, ini jelek banget. Bukan gaya gue!" ejeknya sambil terkekeh lucu.
"Terima kasih kek. Berisik banget. Udah, sana balik. Besok jangan lupa jemput gue terus anterin ke sekolah!" usir Aylin sambil berbalik pergi dan kali ini benar-benar mengunci pintu rumahnya.
Arkala mengangkat gantungan itu ke udara dan tersenyum. Dia tahu, Aylin sedang memberinya alasan untuk tetap hidup dan melewati hari ini karena dia bilang dia ingin menyerah. Aylin mencoba untuk bersikap jahat, tetapi sebenarnya tidak. Hatinya sangat lembut. Dia tahu itu. Dia mungkin mengenal Aylin dalam waktu singkat, tapi kemampuan analisisnya tidak pernah salah. Gadis itu sedang bermain peran, seakan ia sedang di atas panggung. Entah apa yang terjadi padanya. Namun, dia menyukainya. Dia suka sikap jahatnya yang terselubung dengan manis.
***
15-12-2021
Jangan lupa jejak ya ❤️Berhari-hari cuma gini doang, aduh maaf hahahaha 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm An Antagonist Girl
Teen FictionFOLLOW AKUN SAYA SEBELUM BACA ❤️ Dibanding mencoba untuk memperbaiki alur cerita yang bisa membuatnya selamat dengan cara baik-baik, Rani lebih suka disalah pahami dan dijauhi. Dia memilih endingnya dengan caranya sendiri. Dia membiarkan Aylin Oksan...