L : Jeda Sedalam Diam.

5 0 0
                                    

Happy Reading.

15. Jeda Sedalam Diam.

***

Rintik air bervolume sedang diiringi semilir angin menguarkan aroma tanah basah yang tertimpa hujan. Suasana makin terasa damai nan sejuk. Enaknya jika begini, bergelung di dalam selimut atau menikmati mie rebus sambil menonton film atau sekedar berhalusinasi. Afeksi dari aromatik ruangan beradu dengan aroma hujan yang khas lebih candu dari segalanya. Bahkan Libra tak akan segan menikmatinya dengan secangkir matcha hangat berpadu dengan caramelnya.

Haha, sungguh kaum rebahan nolep.

Namun, semua itu hanyalah omong kosong dari halunya. Libra kini masih berada di sekolah, sayang sekali. Pandangannya tertuju mengamati pintu yang terbuka menampilkan koridor dan gemricik air.

Dan saat itu Libra tidak sengaja melihat sosok itu.

Lingga dan Alara yang melewati koridor depan kelasnya.

Buru-buru Libra mengedarkan pandangan ke penjuru kelas yang hanya di huni beberapa anak kelas sebab istirahat tiba sedari tadi.

Libra tidak memungkiri bahwa cepat atau lambat Lingga pastinya akan mengetahui perasaannya. Meski tidak ia duga secepat ini.

Bagi Libra itu tidaklah penting, kecuali tetap masih bisa dekat saja itu sudah cukup baginya.

Tapi sepertinya itu tidaklah mungkin. Bahkan hubungan yang belum sempat ia namai itu, sudah jauh lebih dulu kandas daripada harus repot-repot ada kata perpisahan.

"Hey, mau minum?" Candra menyodorkan satu gelas teh hangat yang dibeli dari kantin tadi.

"Thanks," sahut Libra mengambil alih gelas kaca berukuran besar tersebut. Meminum isinya yang menghangatkan tenggorokannya.

Libra bisa melihat kini Candra duduk di kursi kosong sampingnya dengan tatapan penuh antensi dan senyum senang sambil terus memandanginya.

"Gue seneng deh, Ra," ungkap Candra lalu ia menatap lurus ke papan tulis.

"Maksud lo? Seneng udah hancurin hubungan orang?" sindir Libra sebab masih tidak terima dengan Candra yang mencampuri urusannya dengan Dior kala itu.

"Tentu gue seneng lo sama dia putus waktu itu. Tapi, yang lebih buat gue seneng, karena kita kayak gini lagi," ujar Candra dengan ekspresi senang. Terselip harapan besar di binar matanya. "Gue bodoh banget ya nyia-nyiain lo dulu."

"Ah, kan kita masih jaman-jamannya SMP, ya? Lo baru kelas tujuh, gue kelas delapan," ujar Candra sembari terkekeh. Pemuda itu seperti menerawang kembali ke masa itu.

"Pas pertama kali gue ketemu lo di acara kepramukaan. Gue liat lo lagi dimarahin sama temen gue si Pembina judes itu. Mata lo waktu itu udah merah nahan nangis. Yah, gue tau itu. Cengeng." Candra meledek di akhir kata.

Libra hanya terdiam mendengarnya. Ia tidak menampik hal tersebut karena memang fakta yang ada.

"Gue juga inget pas itu lo minjem korek ke gue buat acara api unggun. Terus malah gue sama temen-temen isengin suruh nyanyi Hmyne Pramuka, tapi dengan vokalnya diganti huruf a semua," ungkap Candra.

"Dan itulah ketololan gue, kenapa gue mau nurutin lo sama temen-temen bajingan lo itu," sesal Libra malas membuat Candra tertawa.

"Lo beda banget, Ra. Dulu lo cewek paling cengeng yang gue temuin. Tapi, gue lebih suka itu," ujar Candra. "Dan cuma karena gue ngelakuin kesalahan itu, kita putus."

"Lo yang mutusin," ujar Libra menekankan. Meluruskan fakta yang ada.

"Iya, gue malah mutusin lo cuma karena hal sepele. Bodoh banget ya gue? Kita yang sekarang masih sering berantem gini aja lo masih mau dengerin omongan gue," ujar Candra, "sebaik itu lo."

L o v a n t a r aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang