6. Confession

Mulai dari awal
                                    

"Hmm, aku tak tau pasti Unnie. Mungkin hampir dua tahun." Jennie mendongakkan kepalanya, mencoba mengingat ingat kapan tepatnya ia menjadi seperti ini, tetapi ia tak bisa mengingat dengan jelas. Menatap mata Irene lalu mengelengkan kepala.

"Apakah kau sudah mencoba konsultasi ke psikiater?"

"Aku terlalu takut untuk pergi kesana. Aku takut dianggap aneh. Orang akan berpikiran yang tidak- tidak jika ada seseorang melihatku masuk ketempat itu. Apa kata orang jika dokter bedah yang handal sekaligus pemilik rumah sakit ternama memasuki ketempat itu. Aku tak mau jika orang tau dengan kelemahan besarku Unnie. Kau tau kan musuhku terlalu banyak." Jennie meringis membayangkan jika musuhnya mengetahui kelemahan terbesarnya.

Jennie yakin akan banyak skandal dan masalah yang ditimbulkan oleh musuh musuhnya untuk menjatuhkan nama baik rumah sakitnya.

Irene menghela napasnya ketika mendengar perkataan Jennie.

Bisa bisanya Jennie masih memikirkan pandangan orang lain dan membuat dirinya sendiri menderita.

"Apakah kau tak pernah bepikir untuk kesana? Maksudku untuk mengurangi rasa sakitmu. Aku tak pernah berpikir kau aneh." Irene cepat - cepat menjelaskan apa yang ia maksud ketika melihat Jennie berpikir kalo Jennie adalah seseorang yang begitu aneh.

Irene tak mau adiknya itu akan berpikir yang tidak - tidak.

"Jennie ya, perlu aku ingatkan kau itu adalah seseorang manusia. Mau kau itu dokter bedah, pemilik rumah sakit atau presiden sekalipun. Kau masih dan akan tetap menjadi manusia seperti biasanya Jennie ya. Kau tak harus menjadi manusia sempurna. Tak ada semuanya harus sempurna tanpa celah."

Jennie tersenyum masam mendengar pernyataan dari Irene. Jennie ingin menyanggah perkataan dari Unnienya. Tetapi urung ia lakukan karna melihat wajah serius dari Irene.

"Aku pernah berniat untuk pergi ketempat itu. Ketika aku berpikir orang orang akan menjauh dariku karna apa yang terjadi. Atau sebaliknya, aku yang akan menjauh dari orang - orang. Tetapi, aku tak jadi melakukannya. Karna kupikir aku masih kuat dan masih bisa mengendalikan diriku sendiri."

Irene mendelikkan bola matanya mendengar perkataan Jennie. Masih bisa mengendalikan apa. Buktinya Jennie selalu berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

"Menurutku, kau harus segera pergi kesana. Jangan sampai menunggu keadaan memburuk baru kau pergi kesana. Ingat, aku tak berpikir kau aneh. Aku hanya takut terjadi hal yang buruk kepadamu. Sekarang saja kau sudah sering berpikir untuk menyayat pergelangan dirimu sendiri."

Irene menghembus nafasnya dengan gusar. Kemudian Irene memeluk lagi tubuh Jennie dan mengelus punggung adiknya itu.

Irene baru menyadari bahwa tubuh adiknya itu sedikit lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Wajah adiknya juga sedikit pucat.

Apakah adiknya itu tak bersemangat untuk hidup?

Irene memegang wajah Jennie yang sedikit agak panas. Tangan Irene beralih ke dahi adiknya itu guna memeriksa suhu tubuhnya.

"Kau demam, sudah minum obat?"

"Hmm sedikit, belum. Nanti saja Unnie."

"Ya! kenapa kau tak bilang kau demam. Cepat minum obatmu."

"Sudahlah Unnie, ini bukan hal yang besar."

Irene tau Jennie tak pernah suka diperhatikan dengan berlebihan kalo sedang sakit.

"Apakah jika Unnie menemanimu, kau akan mau pergi?" Tanya Irene sedikit ragu jika adiknya menerima tawaran darinya.

"Hmm.. berikan sedikit waktu untukku berpikir Unnie, apakah tidak apa-apa?"

𝗙𝗿𝗮𝘁𝗲𝗿𝗻𝗶𝘁𝗲 𝗩𝗲𝗹𝗼𝘂𝗿𝘀 𝗡𝗼𝗶𝗿 | END Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang