Terkadang apa yang kita harapkan itu berbeda dengan kenyataan,
Mencintai seseorang, tetapi tidak dicintai.....
Lalu luka- luka itu bermunculan...memberat dan terus membayang
Semakin sesak hingga harus menahan perihnya, entah kapan sembuhnya...
Mengapa tak bisa sebahagia dia?
Mengapa tak bisa memikat hatinya seperti yang dia bisa?
Mengapa tak memiliki bakat yang memesona mata dan hatinya?
Mengapa bukan diri ini yang dikucuri oleh kasih dan sayangnya?
Mengapa bukan diri ini yang ingin dimiliki dan berhak atas cintanya?
Mengapa diri ini yang tidak mempunyai apa- apa dan dia mempunyai segalanya?
Bagaimana ia bisa dicintai dengan begitu besar dan ia pun mencintainya dengan sama besar, dan mengapa aku tidak?
Bagaimana agar aku bisa tulus melihatnya bahagia,---- sementara hatiku begitu sakit melihat tawanya mengembang dan itu bukan karena aku.....
Mengapa aku tak berhak atas sentuhan jemari dan pelukan hangatnya,--- sementara aku yang begitu mendamba dan membutuhkan itu untuk setiap tarikan nafas yang ku punya,....
Jika aku tidak berhak atas cintanya,---- maka tak ada lagi alasan yang menahanku untuk tetap hidup.
🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤
"Bagaimana kondisinya?" Suaranya tercekat, kering, kasar, gusar.
Mereka berdua duduk bersisian di sofa empuk berdudukan tiga. Sofa itu sangat nyaman, Sofa Eropa yang dipesan khusus oleh desain interior untuk apartement Maya Kitajima.
"Tidak baik,----Dokter bilang,....dia,---- ehm ,...kritis..." Suara pria disebelahnya pun tak kalah serak. Maya berpikir mungkin Masumi bahkan tak sempat membasahi tenggorokannya setelah dua hari terus menerus berada di Rumah Sakit.
Maya terlalu lelah menanggapi berita itu, dan ia hanya memilih mengangguk, hingga kuncir kudanya ikut bergoyang, lantas ia menatap ujung kaus kaki yang membungkus jemarinya.
Terdengar helaan napas panjang, ----- dari Masumi.
"Ia melukai dirinya terlalu dalam,...lebih parah dari dulu, perdarahannya terlalu masif, ditambah kondisinya memang tidak sekuat dulu,----" Suara Masumi terdengar begitu datar, terbata, sulit dicerna oleh Maya, bahkan untuk takaran kesedihan pun tak bisa diukur.
Maya mengangkat wajahnya, melihat garis rahang pria yang duduk disebelahnya, dua malam ia tak bisa tidur, wajah itu terlalu banyak menggurat luka, mata kelam itu semakin gelap, Masumi kabarnya bahkan tak bisa makan.
Maya ingin sekali menghambur kedalam pelukan Masumi, namun,---- sorot mata pria itu sangat rapuh seolah angin pun bisa meruntuhkan semua keping sel di tubuhnya.--- niat itu urung ia lakukan. Ia khawatir dengan sedikit sentuhan saja, maka apa yang pernah ada di hadapan mereka hancur tak bersisa.
"Apakah,--- apakah uhm,...dia bisa kembali seperti dulu lagi?" Suaranya hanya berupa bisikan, antara separuh bisu dan separuh bernyawa. Ya, sejak kejadian malam itu, rasanya nyawanya kembali lepas dari genggamannya. Semua engsel tubuhnya terasa longgar, otaknya terus bekerja dan berfikir hal- hal yang kebanyakan ia tak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUE LOVE
Teen FictionSetting diambil setelah Masumi mengetahui Maya juga menaruh rasa padanya, meski lewat dialog Akoya yang diucapkan di atas Kapal Astoria, tapi mampu membuat rasa cinta yang dipendam menjadi semakin berkembang dan bertambah dalam, hingga Masumi sangat...