🕌♡

41 4 0
                                    

“Akh, Antum nge-band 'kan waktu di Dumai?” tanya Bang Hamzah, semua mata mengarah padaku. Wajahku kaku, otot-otot wajah bergetar.

“Nama saya Bilal, bukan Antum,” jelasku dengan nada semakin rendah diujung kalimat. Sontak semua yang ada di Mushollah tersenyum menampakan gigi. Yang besar tertawa Rifki, ia memegang pundakku. Aku hanya melirik kiri dan kanan. Bingung, kok mereka tersenyum dan ada yang tertawa. Emang aku lagi stand up comedy.

“Maaf, Antum itu artinya kamu, itu bahasa Arab,” jelas Bang Hamzah dengan tulus.

Sekarang gantian aku yang tersenyum malu. Tangan kananku menggaruk-garuk kepala. Entalah, perasaan tidak gatal, tapi mungkin itu cara yang terbaik untuk bertingkah. Ternyata aku yang tidak tahu.

“Iya, waktu di Dumai nge-band, Vokalis,” jawabku seadaanya.

“Wah cocok sekali,” celetuk Rifki.

Ternyata mereka menginginkan aku nyanyi waktu acara peringatan Isra Mi'raj. Tapi lagu yang diberikan kepadaku lagu yang tidak pernah terbayangkan sekali. Lagu apaan. Biasanya suaraku menyanyikan lagu-lagu yang bernada keras, Metalika dan sejenisnya. Ini lagu Nasyid.

“Kenapa harus lagu Sepohon Kayu?”

“Biar sesuai dengan suasananya. Dan biar apa kita nyanyikan itu bermanfaat, dan tidak yang mengandung unsur-unsur yang Allah benci.”

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Jujur saja, aku sangat ingin sekali seperti dulu berdekatan dengan musik. Mungkin ini salah satu jalan untuk berteman lagi dengan musik. Walaupun alirannya beda. Tapi lumayanlah bisa membangunkan suara ini yang lama tidur.

••••

Setelah penugasan itu aku mulai kenal dan rapat dengan Bang Hamzah, Danil, Farel, Arbi, dan Rifki. Setiap hari kami bertemu. Kalau Bang Hamzah hanya sekali-kali saat dia memantau kami latihan bernyanyi di rumah Rifki.

Selama dua minggu kami full latihan untuk persiapan peringatan Isra Mi'raj. Aku ditunjuk sebagai pemimpin tim Nasyid oleh teman-teman yang lain. Karena diantara mereka aku yang lebih ngerti sama musik dan segala macamnya. Mereka sangat enak diajak bicara dan diajak berbagi ilmu. Semua ilmu yang aku berikan mereka serap dengan baik.

Mereka berempat memiliki keunikan karakter masing-masing yang membuat aku terkesan. Danil si Penulis yang setiap bicara dia sering mamasukan unsur sastra dan sangat suka membaca. Kemana-mana di didalam tasnya pasti ada buku, baik itu novel atau buku motivasi. Makannya kami selalu menyebutnya perpustakaan berjalan. Setiap bicara selalu diawali dengan “Yang saya baca dalam buku ini bahwa....” Dan kami selalu mengikuti apa yang ia katakan sambil tertawa.

Farel si ganteng yang selalu menjadi idola para perempuan. Hobinya main Basket sudah pernah dibawa ke Provinsi untuk bertanding. Dan aku selalu tertawa jika teringat dengan ceritanya saat bermain basket. Dia pernah tidak dibolehkan ikut foto bersama pemain basket lainnya, karena dia beda sendiri, yang lain meggunakan seragam dengan baju tidak ada lengan dan celana di atas lutut, tapi dia menggunakan baju ada lengannya dan celananya panjang melewati lutut. Setiap kali bermain dia selalu menggunakan seragam seperti itu. Karena dia malu kalau kelihatan ketiak dan tidak mau membuka auratnya menggunakan celana di atas lutut.

“Biarkan orang bicara apa tentang saya, selagi menjalankan perintahNya, memperjuangkan saya snyariatNya oke-oke saja,” katanya.

Arbi laki-laki dengan kesolehan full, wajahnya sangat lembut bercahaya kemana-mana menggunakan kopiah. Sebelum latihan nasyid sambil menunggu teman yang lain datang dia pasti membaca Al-Qur'an, setiap azan berbunyi dia yang paling peka. Dan dia yang sering menasehati kami. Kata-katanya yang paling sering keluar itu.

          

“Sudah-sudah, ingat Allah.” setelah kata itu keluar kami hanya diam memandang satu sama lain.

Rifki ini laki-laki yang enerjik, banyak bicaranya. Yang sering membuat suasana hangat dengan candaannya. Dan yang paling sering bahas tentang nikah muda. Setiap kali bertemu selalu membahas hadist tentang anjuran menikah. Terkadang kami juga jadi terbawa dan berimajinasi.

Tapi yang paling utama dari mereka adalah kedekatannya dengan Allah. Walaupun ada yang suka bercanda, suka main-main, suka ngumpul-ngumpul, tapi mereka tidak akan pernah melepas baju agamanya ISLAM.

Hari-hari yang aku lewati sangat hangat sekali. Tanpa ada beban, karena beban sama-sama kami tanggung. Mereka juga sering membawakan makanan dari rumahnya ke masjid. Makan bersama tertawa bersama, tidur bersama. Ini adalah keluarga kedua bagiku. Bahkan lebih dari keluarga.

••••

Tibalah saatnya kami untuk menyajikan suara suara kami. Aku dengan percaya diri berada di tengah antara mereka. Kami menggunakan baju koko seragam berwarna biru dengan kopiah tertengger di kepala.

Tepukan tangan memecahkan ruangan dengan sorotan cahaya agak kekuningan itu.

Kami mulai beraksi.

Walaupun hidup seribu... tahun kalau tak sembahyang apa gunanya...

Walaupun hidup seribu... tahun kalau tak sembahyang apa gunanya....

Mataku berkaca-kaca saat lantunan bait itu keluar dari mulut merasuk ke hati. Aku terpikir, betapa ruginya aku selama ini tidak pernah mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan Allah selalu memberikan aku kenikmatan. Betapa jahatnya aku berpaling dari Allah, padahal Allah tidak pernah memalingkan wajahnya dari hambanya.

Ketika selesai bernyanyi, bulir bening itu pun jatuh seketika mata berkedip. Senyumku tertahan, dadaku sesak dengan cinta kepada Allah. Mungkin ini yang selama ini ku cari. Perjalanan menjemput cahaya yang panjang.

Tepukan tangan dari penonton sangat semarak. Apa lagi yang Akhwatnya sebutan untuk perempuan kalau laki-laki Ikhwan itu kalau di organisasi UKMI yang menjadi rumah keduaku. Aku hanya teringat pesan dari Bang Hamzah.

“Satu yang harus kalian ingat. Selalu lah perbarui niat kalian. Jauhi hati kalian dari riya', ikhlas karena Allah, untuk mensyiarkan Agama Allah.” Kata-kata itu membekas di dalam hatiku.

••••

Hari beranjak dari peraduannya, bulan pun ikut dan tahun pun mulai melupakan episode demi episode. Tak terasa sudah empat tahun aku di Bengkalis kota yang nyaman dan aman. Tak terasa sudah empat tahun aku hidup tanpa Ayah dan Ibu, yang ada hanya saudara seiman yang selalu memberikan semangat dan suntikan kehidupan.

Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidup. Hari ini pembuktian bahwah aku berhasil belajar di kampus selama empat tahun. Hari wisuda. Namun senyumku tak pernah sempurna beberapa bulan ini. Aku berhasil menyelesaikan study dengan nilai bagus predikat cumlaude. Namun, aku belum bisa mendapat nilai tinggi di hati Ayah dan Ibu. Selama empat tahun mereka tidak pernah mengunjungiku. Mungkin mereka memang sangat benci, atau mereka tidak tahu aku ada di Bengkalis? Karena selama ini tidak pernah memberikan kabar kepada mereka.

Aku tidak bisa membayangkan betapa pedihnya hatiku saat edisi berfoto. Semua orang pasti berfoto bersama dengan orang tuanya. Berpelukan dengan Ayah, Ibu dan keluarga besar. Namun, aku hanya termenung dengan air mata jatuh tanpa arti. Ah mungkin setelah selesai acara wisudahnya aku langsung pulang ke saja menghibur hati. masjid

Aku berdiri dengan senyum tertahan saat namaku di panggil. Aku diberikan kesempatan untuk memberikan kata sambutan sebagai perwakilan dari Mahasiswa yang lain karena nilai akhirku yang tertinggi sekampus.

Langkah sedikit goyah aku menuju podium di atas panggung di gedung Cik Puan Bengkalis yang megah itu. Mataku menunduk tanpa menatap orang orang yang berpendidikan di depan. Aku tahu deretan mata di depan itu melihat dengan tegang. Aku memegang mix sambil membuka catatan:

Kumulai dengan salam, dan bait-bait kata yang indah aku ucapkan dengan fasih, di sambut dengan sorak gembira dari wali mahasiswa dan teman seperjuanganku. Setelah aku selesai membacakan teks yang telah disiapkan oleh panitia. Aku perkataanku sendiri. tambahkan dengan

“Saya sangat bersyukur bisa dilahirkan dari rahim seorang Ibu yang tangguh, saya bersyukur bisa merasakan nasi hasil dari peluh seorang Ayah yang tak pernah lelah mencari. Tubuh ini ada deretan nama Ayahku, hati ini ada deretan nama Ibuku. Aku bangga menjadi anak kalian. Maafkan aku yang selama ini sudah menyakitkan hati kalian. Maafkan aku yang selama ini tidak pernah membuat bangga kalian, bahkan memalukan kalian. Tapi ini aku sekarang. Prestasi ini untuk kalian Ayah dan Ibu.”

Kata-kata itu mengalir dengan lembut yang disisipi dengan isak, dan dibarengi dengan air mata yang berjatuhan. Hati yang pecah merintih. Hanya wajah Ayah dan Ibu yang bermain di kepalaku.

Setelah itu pun berangsur menuju kursi tempat duduk dengan langkah yang gontai dan tangan yang mengusap mata. Aku duduk dengan menundukan kepala. Rifki mengusap-usap punggungku.

“Sabar ya, Ayah dan Ibumu pasti bangga melihat kamu yang sekarang, do'akan mereka agar selalu diberikan keselamatan.” aku hanya diam saja. Mulutku kaku sulit untuk berkata-kata.

••••

Suara itu...

Suara itu yang sering sekali aku dengar. Suara yang selalu membuat telingaku mau pecah, suara yang membuat aku tak tahu lagi siapa aku di mata mereka.

Ayah.

Mataku membesar menatap seorang laki-laki dengan rambut ikal, kumis melenting dan kaca mata hitam, laki-laki itu mengucel matanya dengan sapu tangan berwarna biru. Ternyata Ayah yang memberikan orasi ilmiah saat aku wisuda. Memang Ayah Dosen yang selalu mendapat undangan untuk memaparkan

penemuan-penemuan ilmiahnya.

Mataku tak berkedip, mata Ayah menatapku dengan sorotan iba. Mata kami bertumbukan lalu tampak senyuman yang selama ini tidak pernah aku lihat. Dia membuka dengan salam.

“Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada pihak Politeknik Negeri Bengkalis yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk memberikan Orasi Ilmiah. Saya sangat bersyukur. Pak, Buk. Yang tadi memberikan sambutan mewakili Mahasiswa itu anak saya, yang sangat saya cintai, sangat saya rindukan.” semua mata tertuju padaku, aku tersenyum dengan air mata berjatuhan. Sedangkan Ayah terhenti tak tertahan menahan tangis tersedu-sedu

“Ayah bangga dengan kamu, nak. Ayah tidak akan pernah membecimu lagi, Ayah dan Ibu selalu rindu padamu,” lanjut Ayah. Aku tak mampu menahan tangis. Dalam sedih hatiku tenang. Beban selama empat tahun aku tanggung, hilang dibawah angin. Aku menghembuskan napas menenangkan hati.

Tiada yang lebih tinggi nilainya selain ridho dari Ayah dan Ibu. Tiada guna prestasi yang banyak jika kita tidak pernah memperhatikan Ayah dan Ibu, dan tidak ada gunanya gelar yang tinggi jika kita menyakiti hati Ayah dan Ibu. Seberapa besar salah mereka, tetap kita yang harus hormat kepada.

Perjalanan ini membuat aku belajar banyak hal. Tidak akan ada yang bisa mengantikan posisi Ayah dan Ibu, teman yang baik itu teman yang mengingatkan kita dengan Allah, dan dalam hidup ini terkadang kita sering menjumpai kegagalan dan keterpurukan, jangan menyerah. Karena itu semua adalah asahan untuk kita menjadi lebih baik lagi.

Dua senyuman itu kembali, tidak akan aku sia siakan waktu yang Allah berikan kepadaku.

—SELESAI—
27 Desember 2021
22:23

LELAKI DI TERAS MASJIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang