27. Kebenaran Yang Terkuak

25 4 8
                                    

Tidak perlu mencari jauh aku tahu dimana gadis itu menghabiskan waktu istirahat. Melihatnya duduk manis menikmati semangkuk bakso sembari berkelakar dengan teman-temannya membuatku sangat muak. Kuhampiri Sindy dan langsung memukul meja di hadapannya membuat semua orang tersentak. Gadis itu menatapku tajam seolah ia bisa membunuhku saat itu juga.

Tapi aku tidak takut sama sekali. Setelah memastikan hatiku untuk Milan aku merasa kuat untuk membela seseorang yang kusukai itu.

"Jaga mulut busukmu itu. Bicara yang benar, jangan suka menyebar berita bohong."

"Oh, kamu mainan baru Milan," ucap Sindy sok tegar. Tapi aku tahu ia gugup terlihat jelas dari nada bicara yang bergetar.

Entah kenapa aku yang biasanya diam kali ini berani menampar mulut Sindy. Gadis itu terbelalak tidak percaya dengan apa yang baru saja kulakukan. Bibirnya yang sudah merah karena tipstik semakin merah membuatku berpikir bahwa itu benar-benar sakit. Sindy naik pitam, ia menarik rambutku yang teriakat kuat.

Gadis itu sudah gila. Ia membawaku ke kamar kecil dengan cara menarik rambutku. Semua orang saat itu tidak bisa mengabaikan kami semuanya menaruh perhatian dan mengikuti ke mana kami pergi.

Aku bisa mendengar Sofia menggendor pintu kamar kecil seraya berteriak agar kami keluar. Namun, aku maupun Sindy mengabaikan hal tersebut. Kami sama-sama sudah kesetanan membela apa yang menurut kami benar.

Sindy mulai duluan dengan menampar pipiku. Aku tidak mau kalah segera membalasnya dengan menyiramkan air kesekujur tubuhnya. Apa yang baru saja aku lakukan sepertinya sudah sangat melukai harga dirinya. Ia mendorongku hingga terjatuh ke lantai lalu tanpa memberiku kesempatan bernapas ia mengguyurku dengan beberapa ember air.

Sindy berteriak memekakan telinga lalu membuka pintu kemudian membanting pintu tersebut. Sesaat kemudian setelah berhasil menyadarkan diri dari kejadian yang baru saja kualami aku segera beranjak. Melihat Sindy tengah menggerutu sembari berjalan diantara orang-orang yang berkuerumun aku segera mengejarnya. Tentu saja aku sudah memiliki rencana.

Sebelum menghampiri gadis itu aku menbawa mangkuk berisikan sambal di atas meja kantin. Setelah dekat dengan gadis itu aku menjambak rambut Sindy hingga ia tersungkur. Begitulah akhirnya aku bisa menumpahkan semangkuk sambal di atas kepalanya.

***

Kabar cepat sekali menyebar bahkan perkelahian antara aku dan Sindy hanya terjadi sekitar 10 menit tapi Milan sudah mendengarnya. Pemuda itu berdiri di hadapanku dengan tatapan sulit kuartikan. Aku tidak tahu ekspresi itu takut, marah atau sedih. Yang kutahu mata Milan berkaca-kaca.

Milan segera menyelimuti tubuhku yang basah dengan jaket di tangannya. Ia menangkup kedua pipiku seraya menatap dalam seolah bertanya bagaimana keadaanku. Pemuda itu lantas memapahku menjauh dari kantin. Namun, baru saja kami melangkah Sindy berteriak.

"Kenapa selalu orang lain yang mendapatkan perhatianmu. Aku harus melakukan apa lagi agar kamu melihatku?" ujar Sindy dengan tangan menggepal tetapi bergetar.

Gadis itu menggigit bibirnya menahan air mata yang sudah tak mampu ia bendung.

"Aku menyukaimu aku sangat menyukaimu dari dulu. Aku yang seharusnya mendapatkan perhatianmu. Dulu gadis sialan itu dan sekarang dia," ucap Sindy sembari mengangkat telunjuk ke arahku.

Ia tampak menitihkan air mata dan mulai terisak.

"Kalau kamu benar-benar menyukainya kamu tidak akan menyebarkan berita bohong," balasku.

"Dengar semuanya, sudah jelaskan sekarang Milan bukan orang jahat selama ini memang dia yang mengada-ngada," sambungku.

Sedikit lagi aku akan berbicara lebih banyak, tetapi Milan menarik lenganku. Ia memaksaku menjauh dari sana. Mendorong tubuhku yang masih ingin menoleh membuat Milan sedikit kuwalahan.

Angin kecil sepoi-sepoi menerpa dedaunan kering yang jatuh. Aku dan Milan berhenti di bawah pohon kelengkeng di samping halaman, saling menatap dalam diam. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing tak berani saling mengutarakan. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang baru saja kulakukan, aku menunduk malu.

"Lain kali jangan seperti ini ya, aku tidak mau kamu terluka." Milan meraih kedua telapak tanganku sehingga aku pun tanpa sadar menatapnya.

"Tapi coba kamu lihat aku baik-baik saja kan?"

"Baik katamu, ini basah kuyup, dingin kan?"

Aku menggeleng pura-pura kuat meskipun sebenarnya sangat kedinginan. Milan ikut menggeleng kemudian mendorong keningku dengan telunjuk sehingga aku sedikit terdorong ke belakang.

"Kalau mau berbohong dipikir dulu."

***

Untuk pertama kalinya setelah satu tahun tujuh bulan mengampu pendidikan di SMA aku di hukum. Matahari menyengat membakar tubuhku dan Sindy. Seragam basah gadis itu, rambut panjang yang tadi ketumpahan sambal sudah ia kramasi kini mulai kering. Aku tersenyum padanya saat kami tidak sengaja bertemu tatap. Akan tetapi, ia membalasku dengan mencebikkan bibir. Mungkin marah karena Milan lagi-lagi lebih memperdulikanku.

Sungguh kali ini aku merasa benar-benar berharga. Milan memperlakukan aku selakyaknya ratu yang harus ia lindungi. Pemuda itu sampai meminjamkan seragam judo dan handuk Netra yang seharusnya di pakai latihan sepulang sekolah.

Tatapan kesal Sindy berubah sendu tatkala mengalihkan pandangan pada Milan yang tengah duduk di bawah pohon kelengkeng. Air matanya jatuh lagi dan buru-buru gadis itu menyekanya.

"Kenapa kamu jahat pada Milan, padahal kamu menyukainya?"

"Karena aku kesal. Sejak kelas satu SMP aku menyukainya tapi aku tidak pernah terlihat di matanya. Setelah tahu teman sekelasku ada yang mendapat perhatian Milan aku sangat kecewa, aku marah dan sedih. Tapi tidak selang lama temanku meninggal jadi aku mengarang cerita. Aku berharap dengan begitu Milan akan menegurku. Ternyata tidak pernah, dia membiarkan semua itu mengalir."

Sindy menunduk seraya menghela napas berat.

"Aku tidak akan menganggunya lagi, aku benar-benar malu."

TREAT ME LIKE A QUEEN [ COMPLETED ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang