28

6K 768 17
                                    

Tik

Tik

Tik

Aku dimana?

Tempat apa ini?

Tubuhku seperti mengambang, ada apa dengan ruang putih tak terbatas ini..

Kenapa aku disini?

Tik

Tik

Tik

Lagi...

Suara itu lagi?

Ugh... Kepalaku pusing, kapan ini berakhir? Ini seperti tidak ada akhirnya...

.
.
Tiba-tiba ruangan putih menjadi gelap tanpa cahaya setelah itu tergantikan sebuah tempat dengan latar halaman rumah yang luas.

"Hahaha~"

"Tidak kena, wle~"

"Awas ya kamu, Az."

"Ayo kejar aku kak...!"

Meiza berkedip menatap adegan didepannya, dia merasa tidak asing dengan kedua anak beda gender itu.

Ah, dia mengingatnya.. Ini adalah kenangannya dimasa lalu. Tepatnya dirinya sebagai Kintan. Anak perempuan kecil itu adalah dia sendiri. Sedangkan anak laki-laki yang tengah dikejarnya adalah adiknya, Azkio Juan Lavranta.

Tatapannya berangsur-angsur menjadi datar kala adegan didepannya berganti.

Anak laki-laki yang tengah berbaring lemas dengan bersimbah darah, sedangkan dirinya yang masih kecil menangis histeris.

Uhuk

"Ka-kak.. Az, sa-yang ka-kak."

"Az, buka matamu, jangan tinggalkan aku!"

Adegan kembali berganti, Meiza menatap sekelilingnya. Ternyata dia berada di ruang kerja ayahnya.

"Buang semua emosimu, Kin. Jangan berikan hatimu pada orang lain! Tidak ada orang tulus tanpa alasan, tidak ada yang bisa dipercaya! sebagai penerus keluarga, mulai sekarang jangan pernah tunjukan emosimu lagi! Yang bisa memahamimu hanya ayahmu ini saja. Apa kau mengerti, Kin?" Pria paruh baya itu menatap gadis kecil didepannya dengan tajam.

"Baik, Ayah." Gadis kecil itu hanya menatap datar ayahnya tanpa emosi, kalau sampai dia memperlihatkan emosinya, dia akan dihukum ayahnya.

Meiza masih menatap datar pemandangan didepannya, ah, dia masih ingat dengan jelas, setelah kejadian pembunuhan berencana yang merenggut ibu dan adiknya itu, sikap ayahnya berubah total. Tidak ada kehangatan dan kelembutan lagi. Hidupnya diisi dengan tekanan dan tekanan.

Kalau dipiki-pikir lagi, hidupnya sebagai Kintania Sergav -ah bukan, tepatnya hidupnya sebagai Kintania Reivi Lavranta. Sangatlah campur aduk.

Dulunya dia berpikir, kebahagiaannya akan bertahan lama, bersama canda tawa keluarganya. Tapi itu hancur dalam hitungan detik.

Tak ada ibunya yang selalu tersenyum hangat, tak ada Az adiknya yang ceria dan penuh energi, dan tak ada ayah yang selalu menyupportnya dengan kehangatan.

Lamunannya terhenti kala adegan didepannya berganti lagi.

Rahangnya mengeras saat tahu adegan apa yang akan ditampilkan didepannya.

"Ini, ambil Kin.. Ini adalah identitas barumu. Mulai sekarang, tidak ada Kintania Reivi Lavranta. Yang ada hanya Kintania Sergav. Hiduplah bebas sesuai keinginanmu. Ayah tidak tahu, apakah keluarga kita masih bisa bertahan.. "

          

Sekian lama, Kintan akhirnya melihat sosok hangat ayahnya lagi, tapi kenapa.. Kenapa rasanya dadanya sesak sekali?! Sejak kapan.. Hidupnya jadi tidak terkendali lagi?! Sejak kapan, hidupnya mulai hancur?! Perasaan sesak semakin menggerogoti dirinya, tapi wajahnya hanya menampilkan ekspresi datar tanpa ekspresi.

Hari itu juga, Kintania melihat tubuh kaku satu-satunya keluarganya yaitu ayahnya sendiri dengan perasaan hancur, tangannya meraba dada ayahnya yang berlumuran darah tepat dibagian jantung.

Dibawah derasnya hujan, Kintan menitikkan air mata yang sudah lama tak pernah dia keluarkan. Emosinya bercampur aduk menjadi satu. Sedih, lelah, marah..

"A-yah.. Ayah ninggalin Kin sendiri?"

"Ayah jahat banget sama Kin! Ayah, tolong jawab Kin!"

Kenapa lagi-lagi dia harus kehilangan keluarganya? Kenapa mereka tega menghabisi keluarganya? Dia hanya ingin kedamaian, dia hanya ingin hidup bahagia dengan keluarganya.. tapi kenapa susah sekali untuk menggapainya?! Apakah itu hanya sebuah keinginan naif saja?!

AAARRGGGHHH!!

Cairan bening mengalir deras dari pipi Meiza, wajahnya hanya bengong menatap adegan didepannya. Kenapa ia diperlihatkan hal ini, sungguh Meiza tidak suka dengan rasa sesak ini.. Ini sungguh membuatnya tersiksa. Kapan ini selesai?! Kapan mimpi buruk ini selesai?!

"Kumohon hen-tikan.." Ujarnya lirih.

"Kakak, Az bahagia punya kak Kin.."

"Kin sangat baik ya.. Ibu bangga sama Kin."

"Kin, kalau ada yang mengganggumu, katakan pada ayah, ok?"

.
.
.
"Kak, kenapa Kakak masih hidup?"

"Kin tidak mau ikut ibu?"

"Kenapa hanya kamu yang masih hidup?!"

Meiza memegangi kepalanya kala ingatan dan halusinasi bercampur satu di kepalanya.

"Ti-dak,, tidak.. Kumohon hentikan.. "

Racauan tidak jelas memenuhi ruangan putih tanpa batas itu.

"Kumohon.. "

Kepalanya semakin sakit kala suara keluarganya memenuhi pikirannya, "BERHENTI!!"

Meiza membuka matanya segera dan mendapati ruang bercat putih dengan bau obat.

Kelopak matanya bergetar dan berkedip perlahan, ternyata dia berada di ruang UKS.

Genggaman di tangannya membuatnya menoleh dan mendapati Evan yang tengah tertidur dengan posisi duduk. Sebelah tangan menyangga rahangnya.

Meiza teringat, saat jam pelajaran tadi dia sempat merasakan nyeri di bagian bawah perutnya karena menstruasi. jadi dia ijin ke ruang UKS yang akhirnya ditemani Evan. Lelaki itu sungguh menempel pada Meiza dimanapun Meiza berada.

Meiza menatap tangan besar Evan yang tengah menggenggam tangannya. Entah kenapa Meiza merasa aman. Di genggamnya balik tangan besar dan berurat itu.

Senyuman tipis terukir di bibir Meiza. Merasakan genggaman di tangannya, Evan terbangun dan melihat wajah Meiza yang sedikit pucat.

Diletakkannya telapak tangan besarnya pada perut rata Meiza, dielusnya perlahan. "apa masih sakit, hm?"

Meiza menatap wajah tampan Evan dengan pandangan sulit diartikan.

Meiza menggeleng pelan, "tidak terlalu, makasih sudah mengkhawatirkanku, Evan."

Tangan yang tadinya mengelus perut Meiza terhenti, manik darah Evan menatap lurus Meiza yang tengah menatap lembut ke arahnya.

Karena merasa tenggorokannya kering, Meiza mencoba duduk dan mengambil gelas berisikan air yang berada di sampingnya.

Gluk

Gluk

Gluk

Evan masih menatap lurus ke arah Meiza yang tengah asik meminum air.

Setelah selesai menghilangkan dahaganya, Meiza menyander santai pada kepala brankar.

Tiba-tiba Evan meraih pinggangnya dan memeluknya erat menyembunyikan wajahnya pada perut Meiza, membuat Meiza kebingungan.

Kenapa tiba-tiba?!

"Eza.." Panggil Evan dengan nada lirih.

Meiza menyahut dengan deheman. Tangannya mulai mengelus rambut hitam tebal dan halus milik Evan dengan perlahan.

"Apa pendapatmu dengan pernikahan?"

"..."

Seketika tubuh Meiza menegang, elusannya terhenti. Membuat Evan mendongak menatap wajah Eza-nya.

"Eza?"

Aura suram dan dingin seketika memenuhi ruangan membuat Meiza tersadar dan menunduk menatap Evan.

"H-hah?!" Meiza menatap tepat pada manik darah Evan yang tengah menatapnya tajam.

"Jawab, Eza."

"I-itu... Butuh keberanian besar?" Raut konyol Meiza sungguh sangat ketara.

Sungguh, jawaban payah macam apa itu?! Entahlah.. Meiza sendiri bingung mau menjawab apa. Seumur hidupnya baru sekali ini dia ditanya seperti ini oleh seseorang, apalagi itu tunanganmu sendiri.

Evan tersenyum tipis sangat tipis hingga tidak ada yang menyadarinya. Di peluknya kembali Meiza dengan erat.

"Kalau begitu ayo kita menikah!" Ujar Evan dengan nada riang.

Meiza cemberut kesal, "nanti, kalau aku udah berani dan siap!" Jawabnya asal.

Evan terkekeh mendengar jawaban Meiza. Meiza adalah sumber kebahagiaannya dulu maupun sekarang dan bahkan di masa depan.

Maka dari itu, dia akan melakukan apapun agar bisa memiliki Meiza. Entah itu cara baik atau buruk. Dia juga harus memusnahkan orang-orang yang ingin memisahkannya dengan Eza-nya.

Tanpa Meiza sadari, seringai mengerikan tercipta di bibir Evan.















.
.
To be continued.

Sorry, baru punya waktu luang, jadi baru bisa up sekarang.

See you, bro

Trapped by The Psycho ProtagonistWhere stories live. Discover now