"Kamu tidak sendiri, aku ada di sini. Shayna, aku sudah menunggu masa di mana kita dapat bermain lagi. Kala itu kamu selalu menghiburku, terlebih saat aku menangis sebab larangan dan kecaman dari ibunda. Dan sekarang, izinkan aku tuk berada di sampingmu. Aku sudah kuat, aku akan melindungimu sampai kapan pun itu"
"Terima kasih, dan maaf, aku akan tetap menolak. Lagi pula, aku tidak mengingat apa pun"
"Aku mengerti, itu pasti karena kepalamu terbentur. Aku merasa bersalah, maafkan aku. Sebagai gantinya, aku akan membuatmu mengingatnya lagi"
Shayna terdiam, dia berpikir sejenak, "Dengan cara apa gua bisa ingat lagi hal yang enggak pernah gua alami" bisiknya dalam hati. Ia bingung harus menjawab apa terhadap pangeran yang tak mau menyerah.
"Aku tidak mendesakmu tuk menjawab pertanyaan, bahkan membalas perasaan yang kupendam, jadi jangan merasa canggung atau keberatan. Namun untuk kali ini kamu harus ikut denganku, kondisi tubuhmu sedang tidak baik. Kamu harus kembali diperiksa oleh tabib"
"Tidak mau,"
"Kalau begitu, apa yang kamu mau?"
"Aku ingin tidur di bawah hamparan bintang, dan sendirian."
"Baiklah, jika itu maumu, aku menjagamu dari jarak yang tidak terlalu dekat."
"Bukankah kamu akan memperjuangkan hak rakyat, agar tak lagi terikat oleh keluarga Ajeng?"
"Soal itu ... aku bisa melanjutkan perjalanan besok"
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu lagi, sedangkan kewajiban saja dengan mudahnya kamu telantarkan?"
"Ya, menjagamu juga kewajibanku ..."
"Aku tidak lebih penting dari rakyat yang selama ini menerima penindasan"
"Maka dari itu, akan kupastikan kamu selamat. Shayna, kumohon, izinkan aku menjagamu sebelum berangkat di pagi hari nanti"
"Kamu pikir, aku tidak bisa menjaga diriku sendiri?"
"Tentu bisa,"
"Lalu mengapa kamu tak pergi?"
"Aku rindu menghabiskan waktu denganmu."
"Hm, kamu tidak lelah terus membujukku?"
"Aku bicara apa adanya, tiada maksud untuk membujuk"
"Benarkah?"
"Ya, Shayna."
Perlahan, hati Shayna yang semula terluka, kini kembali terbuka karena tersentuh atas usaha pangeran. Ia tak mengeluarkan sepatah kata pun setelah pangeran berucap, ya. Yang dilakukannya hanya berjalan mengikuti bintang paling terang. Cahaya dilangit itu seolah menariknya tuk menemukan harapan baru. Pangeran sempat heran, sebab Shayna tak lagi membalas perkataannya. Namun ia paham dan turut menyertainya dari belakang.
"Shayna?" pangeran khawatir bila saat ini Shayna tidak sadar sebab terus berjalan tanpa adanya perbincangan.
"Hm?" jawabnya berdehem. Walau menoleh, pandangannya tetap kosong.
"Sebelumnya, kamu menginginkan air tuk menghilangkan rasa pahit 'kan?"
"Ya, terus kenapa?"
"Tunggu sebentar ..." Pangeran menatap ke atas, kebetulan saja di sana terdapat beberapa pohon kelapa yang sudah berbuah banyak. Ia memanfaatkan segala momen yang dilalui agar dapat meyakinkan hati Shayna, bahwa perasaan ini apa adanya.
"Pangeran benar-benar jadi dirinya sendiri, atau memang sengaja bersikap percis kaya Raka?" Wajar bila pertanyaan itu timbul, lantaran ia teringat waktu ketika Raka memanjat pohon apel di taman. Cuma saja saat ini pangeran sedang tidak memakai kain tuk menutupi mulutnya. Cahaya rembulan turut menyorot wajahnya yang tampan, sehingga di antara banyaknya keindahan malam, pangeranlah yang menjadi satu-satunya fokus pandang Shayna.
"Shayna!" pangeran memanggilnya dari atas sana.
"Iya?"
"Rupanya dia memperhatikanku," ucap pangeran dalam hatinya. Lantas ia tersenyum ke arah Shayna. Ia sungguh piawai, bahkan saat menuruninya pun ia tidak mengalami kesulitan, padahal dirinya tengah memegang karung goni yang berisi dua buah kelapa.
"Dia sebenarnya kenapa, sih?" tanya Shayna dengan senyuman di bibirnya, ia tampak heran dengan perilaku pangeran. Bagaimana tidak? Sikapnya betul-betul membuat Shayna merasa spesial, akan tetapi hal tersebut bisa saja sia-sia, karena ia hampir dalam raga dan waktu yang berbeda. Jadi, kemungkinan besar, ia tak mungkin membalas cinta dari pangeran. Apalagi tujuan utamanya memasuki keraton Kanoman hanya sebatas ia hendak pulang ke rumah, melalui pencarian Kebun Raya Bogor, tempat terakhir sebelum berada dilingkungan ini.
"Kemari, minumlah air kelapa segar ini!" Ajak pangeran yang sibuk membelah kelapa agar dapat menghilangkan dahaga.
Shayna menuruti apa kata pangeran dan ia pun mendekatinya seraya bergumam, "Kapan lagi coba, ada pangeran yang mau kupas-in kelapa buat gua, haha. Gua bahagia, tapi gua enggak tahu habis ini harus gimana ... gua mau kejelasan dan jawaban"
"Jangan melamun, nih minum..." pangeran menyadarkan Shayna yang sedang bergumam.
Dengan cepat, Shayna menerimanya. Meski tidak ada sedotan, ia tidak ragu untuk menenggak langsung dari buahnya. "Makasih, ya" ujar Shayna.
"Kalau minum pelan-pelan saja, nanti tersedak. Dan satu lagi, minumnya sambil duduk" balas pangeran memperingatinya.
"Eh, iya." Shayna tersenyum ke arahnya, hal tersebut sungguh membuat perasaan pangeran lebih membaik dibanding sebelumnya yang berpikir jikalau Shayna kecewa padanya. Padahal sama sekali tidak, Shayna kacau oleh karena pikirannya sendiri. Ia berdebat selalu dengan hati.
"Kamu ini, ada-ada saja" pangeran tertawa menengok kelakuan Shayna yang natural tanpa dibuat-buat.
"Aku ingin bertanya," lirih Shayna setelah menghabiskan air kelapanya.
"Silakan, kamu boleh bertanya sepuasnya" sambut pangeran dengan wajah antusias.
"Sebenarnya, aku kurang percaya bahwa selama ini kamu merindukan sosok Shayna. Ya, maksudku, kamu pangeran, tentu tidak hanya Ajeng yang mendekatimu 'kan?"
"Kamu mencemaskan perasaanku?"
"Tidak-tidak, aku cuma bertanya" bantah Shayna dengan menggerakkan kedua telapak tangannya.
Pipi pangeran terlihat memerah, sepertinya ia terlalu percaya diri, "Aku tidak pernah tergoda dengan para gadis yang mencoba menggodaku. Mereka mencintaiku karena aku seorang pangeran pewaris takhta keraton. Sedangkan kamu, dulu bahkan kamu tidak tahu aku siapa. Dan kamu telah memenangkan hatiku, sejak saat itu"
"Tapi, siapa tahu saja, salah satu dari mereka memang tulus padamu"
"Tidak pernah ada, Shayna. Ajeng buktinya,"
"Hm. Lantas, apakah kamu yakin, aku lebih baik daripada mereka?" tanya Shayna yang sengaja ingin menggoyahkan pertahanan pangeran.
"Sangat yakin. Namun mengapa kamu bersikap seolah ragu padaku"
"Aku tidak ragu, hanya memastikan perasaan itu"
"Aku akan segera memastikannya,"
"Maksudmu?"
"Sejak perpisahan kala itu, aku selalu mendambakan dirimu berada disisiku. Terlebih nanti saat aku diangkat menjadi pemimpin selanjutnya, aku membutuhkanmu. Aku mau meminta restu kedua orang tuamu untuk menjadi permaisuriku"
"Hah? Kamu bercanda?" tanya Shayna. Mereka berdua duduk di atas rerumputan hijau sambil bersandar pada sebuah pohon besar.
"Lagi-lagi, Shayna tidak percaya, ya"
"Habisnya, itu terlalu cepat" keluh Shayna, ia tidak menyangka kalau pangeran begitu serius pada gadis yang ia hinggapi raganya.
"Tidak. Aku tidak mau terlambat lagi, atau mungkin parahnya nanti aku bisa kehilanganmu jika tidak buru-buru"
"Aku tidak mau"
"Mengapa? Aku akan melakukan apa pun hingga kamu mau."
"Beri aku waktu untuk memikirkan hal ini, dan sembari aku berpikir... aku ingin menantangmu" tampaknya dia ingin memanfaatkan keadaan untuk bisa kembali pulang.
"Apa sebutkan tantangan itu, Shayna!"
"Ada tiga tantangan, pertama... kamu harus menyelesaikan masalah rakyat, agar tidak ada lagi yang melarat. Kedua, aku mau fasilitas untuk mengenyam pendidikan disediakan secara gratis untuk seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang kasta" meski ia hendak memakai ketulusan pangeran sebagai batu loncatan agar dapat kembali ke jamannya. Ia tidak egois dan memikirkan dirinya sendiri, ia tetap memikirkan nasib rakyat.
"Aku mampu, aku bisa melakukan itu. Lalu, apa tantangan yang ketiga?" pangeran bertekad melakukan tantangan yang diberikan.
"Bawa aku pergi ke kerajaan Sunda" tegasnya sambil menatap dalam mata pangeran.
"Kerajaan Sunda? Apa yang kamu inginkan dari sana?"
"Hm, aku... aku mendengar cerita dari paman, katanya; ada sebuah taman buatan milik Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi. Tempat indah, dia bekerja di sana" jelas Shayna, ia berbohong. "Huh, untung aja, gua sempat belajar sejarah disekolah dan ke Kebun Raya juga, jadi gua bisa tahu asal-usulnya. Kalau enggak, mungkin gua bakal kesusahan buat pulang." Lanjutnya bergumam.
"Baik. aku akan membawamu ke sana, sekarang juga!"
"Tidak, kamu harus melakukannya secara berurutan. Karena aku mau kamu mementingkan kewajibanmu sebagai pemimpin, yang tidak lain akan menentukan kualitasmu pangeran" Shayna bicara sangat lugas, dan jelas.
"Baik. Aku akan membuktikannya, dan Shayna, itulah yang membuatmu berbeda. Kebanyakan dari mereka, meminta harta juga kedudukan pada ibunda tuk membalas perasaannya. Sementara dirimu, sungguh bijaksana" jawab pangeran. Ia gemar sekali memandang Shayna, yang aura kecantikannya semakin terpancar selepas pikirannya sudah terbuka lebar.
"Pikiran pun bagian dari kecantikan. Dan Shayna memang layak untuk mendapatkan pembuktian dari seorang pangeran."