Reeya Humeera duduk tenang dengan kaki menyilang, menyesap teh ungu di sofa sembari mendengarkan ocehan suaminya yang tak kunjung habis. "Kadang aku lupa, Humeera. Kau ini anak kecil, anak kecil! Aku sudah duduk di kelas tiga SD saat kau baru lahir. Tentu aku harus sabar dengan kelakuanmu," keluh laki-laki itu sekali lagi. Ocehan itu sudah terdengar sejak Arav keluar dari kamar mandi. Gadis itu menatap lekat pada suaminya yang sedang memilih baju, tubuhnya hanya dibalut handuk kimono putih. Dia membelakangi perempuan yang sedang diceramahinya itu. Arav hampir menabrak istrinya saat menoleh dan menemukan Reeya Humeera sudah berdiri di belakangnya. Dia mundur beberapa langkah. Gadis itu mendelik dengan mata kelincinya sebelum berjinjit dan menjitak kepala suaminya pelan. Dia berdecak kesal dan berkacak pinggang kemudian saat Arav balas melotot kepadanya. "Wajah tampanmu itu masih utuh aku lihat, Arav. Sampai kapan kau akan mengoceh padaku?" keluh gadis itu balik.
Reeya Humeera tak menunggu jawaban laki-laki itu sebelum berbalik, kembali ke sofa. Arav mendengus pelan. Dia mengakhiri ocehan dan berganti baju. Arav ikut duduk di sofa setelah berpakaian rapi dan menyerahkan hadiah yang kemarin dipilihnya untuk sang istri.
"Apa ini, Arav?" tanya sang gadis.
"Hadiah ulang tahun," balas laki-laki itu.
"Untukku?" tanya sang gadis lagi.
Arav Pasya menoleh dan menatap istrinya. "Tentu saja, kau pikir aku membelinya untuk beruang putih itu karena dia menemani tidurku selama 23 hari ini? Malam ini papa mengundang kita makan malam," balas Arav cepat. Reeya Humeera mengangguk setuju, membuka kotak perhiasan itu dan menatap lekat pada gelang dari Arav, suaminya.
"Kau tak suka?" tanya Arav tiba-tiba.
Laki-laki itu tak melihat istrinya senang dengan hadiahnya. Humeera menoleh dan menggeleng cepat. "Tidak, Arav.. ini sangat indah. Terima kasih," balasnya tak ingin suaminya salah paham.
Arav menatap lekat mata kelincinya sebelum melayangkan protes. "Kau tak terlihat senang dengan hadiah dariku, Humeera."
'"Tidak, suamiku.. sungguh ini sangat indah. Hanya saja, aku berpikir.. lebih baik kau gunakan uangmu untuk hal yang lebih bermanfaat dari pada membelikan perhiasan untukku. Aku sudah punya banyak perhiasan dan benda-benda lain, Arav."
"Apa salahnya membelikan istri sendiri hadiah, itu pun cuma sesekali. Aku tidak ingin bertengkar cuma karena masalah membeli hadiah, Humeera. Kalau pun tak suka, berpura-pura lah.. aku akan melakukannya setiap tahun untukmu."
Reeya Humeera terperangah, setiap tahun? Gadis itu meraih lengan suaminya. "Arav.. jangan salah paham dengan ucapanku. Aku tidak menolak hadiah darimu, tapi bolehkan kau menawariku dulu sebelum memberi hadiah. Lakukan mulai tahun depan, bagaimana?" pinta gadis itu memohon.
"Apa yang ingin kau miliki? Aku akan membelinya sekarang.. tak perlu menunggu tahun depan kalau kau menginginkannya."
Reeya Humeera tersenyum manis, roman mukanya tersanjung dengan ucapan sang suami. "Ada baiknya hadiah ulang tahun bagiku bila berupa donasi dan santunan, atau bisa pula posisi tetap untuk beberapa pegawai kontrak di perusahaan, Arav."
Arav mendengkus nyaring, mendengar jawaban istrinya.
"Bagaimana itu bisa menjadi hadiah untukmu, Humeera?" keluh laki-laki itu.
"Ck, kau sangat ketinggalan zaman. Dasar laki-laki tua. Kau tak tahu, selebriti di dunia mendapat hadiah ulang tahun seperti itu dari para penggemar mereka."
"Memangnya aku sedang memberi hadiah ultah untuk selebriti?" Arav tak mau mengalah.
Rasa-rasanya, Arav menyukai percek-cokan pagi ini.
"Kenapa tidak, aku tak kalah cantik dari selebriti kelas dunia?" balas cucu bungsu house of Kamal itu.
Kali ini Arav yang ternganga. Ditatapnya lekat wajah ayu perempuan Jawa bergaris muka Timur Tengah di hadapannya. Dia memang sangat cantik, di mata siapa pun Reeya Humeera Kamal pasti terlihat cantik. Laki-laki itu menarik ujung hidung istrinya, agak keras sebelum berdiri keluar. "Kau jelek," ujarnya berbohong.
Reeya Humeera ikut berdiri, mengejar langkah Arav menuju ruang makan sembari bersungu kesal. "Kau pasti bercanda, Arav. Tak sekalipun aku pernah mendengar orang mengatakan aku jelek. Aku sudah secantik ini sejak dilahirkan ke dunia."
Arav menggeleng pelan, lebih baik dia tak menanggapi kembali perdebatan mereka. Kecuali dia ingin terlambat berangkat ke kantor hari ini. Mereka makan dengan tenang dan Arav hampir keluar dari pintu rumah saat istrinya kembali memanggil.
"Ada apa lagi?" tanya laki-laki itu.
Reeya Humeera tersenyum tulus sebelum menjawab. "Terima kasih hadiahnya, Arav. Aku akan memakainya sampai nenek-nenek." Perempuan itu tak menunggu respon suaminya. Dia berbalik pergi. Arav berdiri terpaku selama beberapa waktu di tempat yang sama sebelum beranjak pergi. Menunggu sosok istrinya menghilang ke lantai dua rumah mereka. Laki-laki itu berangkat ke kantor hari ini dengan suasana hati yang jauh lebih baik dari pada kemarin. Mau tak mau dia terpikir akan permintaan dari istrinya. Arav tak habis pikir, dia tak pernah menemui seseorang dengan karakter seperti cucu bungsu house of kamal. Perempuan itu penuh kepedulian. Arav Pasya kemudian mau tak mau ingin memenuhi permintaan istrinya itu.
Laki-laki itu meminta data pegawai kontrak di perusahaan mereka pada Glen serta evaluasi mengenai kinerja mereka. Direktur itu memutuskan lima orang dengan kinerja terbaik yang akan diangkat sebagai pegawai tetap sebagai hadiah ultah sang istri.
Malamnya mereka berkendara dengan tenang menuju kediaman Saif Pasya. Semua anggota keluarga sudah menunggu mereka berdua. Untuk makan malam ulang tahun menantu kesayangannya, sang otoriter menjamu dengan hidangan terbaik yang dipesan dari layanan buffet hotel bintang lima. Mereka bahkan menyedia kue dua tingkat untuk Reeya Humeera.
"Arav, papa dengar kau tiba-tiba mengangkat lima orang menjadi pegawai tetap? Ini terlalu awal untuk menilai kinerja mereka." Arav terkesiap karena pertanyaan papanya yang tiba-tiba. Dia sedikit salah tingkah karena belum memberitahu istrinya. Reeya Humeera menoleh, menatap pada suaminya.
"Hadiah ultah istriku, papa."
"Nak, kamu menginginkan hadiah ulang tahun seperti itu rupanya. Papa malu karena tidak memahami sikap dermawanmu itu."
Reeya Humeera hanya menanggapi dengan senyuman tersanjung. Dia masih menatap lekat pada Arav Pasya karena terkejut suaminya menuruti permintaannya hari ini juga.
"Papa, Humeera tidak suka hadiah mahal. Berikan santunan atau donasi untuk hadiah baginya. Lagipula istriku punya banyak uang untuk mendapatkan apa pun yang dia mau sendiri." Arav menyusuri ketiga adik iparnya dengan mata tajamnya saat mengambil alih menjawab papanya. Laki-laki itu masih dongkol pada ketiganya karena mereka pernah menggunjingkan istrinya.
Kanaya, Serena, dan Aneisha menjadi salah tingkah, mereka tiba-tiba memucat.
"Kau benar, Arav. Papa malu nak. Orang tua ini masih perlu banyak belajar darimu," balas sang otoriter lagi.
"Saya juga harus belajar kerendahan hati dari baba," ucapan Reeya Humeera disambut gelak tawa Saif Pasya. Masing-masing sudah menyiapkan hadiah bagi cucu bungsu house of Kamal itu, mereka berlomba-lomba mencari hadiah yang akan memenangkan hati menantu kesayangan Saif. Tentu saja karena ingin memenangkan hati sang otoriter. Sekarang usaha mereka sia-sia. Para menantu dan nyonya rumah itu menggerutu dalam hati. Kekesalan mereka pada Reeya Humeera semakin memuncak malam itu.
Makan malam hampir berakhir sebelum diinterupsi oleh seorang pembantu rumah yang mengabarkan kedatangan tamu. Sayangnya wajah pekerja itu memucat karena tamu mereka bukan orang biasa tapi dari kepolisian. Belum sempat si pembantu menyelesaikan ucapannya, dua orang polisi itu sudah masuk ke ruang makan. Mereka menjelaskan singkat kalau Chad harus datang malam itu juga ke kantor polisi karena namanya disebut sebagai salah satu tersangka sebuah kasus. Saif Pasya meradang. Setiap orang dalam ruang makan dipenuhi keterkejutan. Chad hanya bisa diam membeku di tempat, dia menoleh pada papanya meminta penguasa keluarga itu membantunya. Sayangnya, mereka tak bisa melakukan apapun. Chad hampir dibawa sebelum suara Reeya Humeera menghentikan dua polisi itu.
"Tunggu, pak! Biarkan kami bicara dulu dengan saudara kami."
Semua mata tertuju pada gadis yang duduk dengan tenang, bergeming di kursinya saat semua orang sedang panik.
"Maaf nyonya, kami tidak bisa melakukan itu."
"Bapak yakin?" gadis itu Justru bertanya balik. "Apa untungnya bagi kepolisian buru-buru membawa saudara kami. Akhirnya kejaksaan yang akan dipuji dalam kasus ini. Sejak kapan kepolisian sangat patuh pada kejaksaan?" cercah Reeya Humeera tajam. Perempuan itu masih duduk dengan tenang, sembari menyesap teh yang hampir tak hangat lagi.
"Nyonya.." polisi itu hampir kembali mendebat.
"Ini kasus besar, pak. Pihak Interpol juga terlibat. Kalau kalian memperlakukan saudara kami sebagai tersangka tanpa bukti dan terlanjur merusak reputasi keluarga kami. Kami tidak segan-segan mempermasalahkan kerugian dengan kepolisian jika akhirnya saudara kami terbukti tidak bersalah." Namun, Reeya Humeera memukul telak kedua polisi yang sedang bertugas itu dengan ancaman. Dan, bagaimana perempuan muda ini bisa tahu konflik antara kejaksaan dan kepolisian yang selama ini terjadi? Bisa tahu kasus yang bahkan media sekali pun belum mendapatkan keterangan. Gadis itu yang paling muda dalam seisi ruang. Tapi dia tampak paling berkuasa. Setiap mata menatap lekat padanya dan dua polisi itu mulai ragu-ragu.
"Kalian berani menanggung akibatnya? Kejaksaan yang akan dielu-elukan apapun yang terjadi, sedangkan kepolisian sebaliknya harus berurusan dengan kami karena penangkapan ini sebenarnya menyalahi aturan. Saudara kami tidak berada di TKP saat kepolisian melakukan penggerebekan. Kalau tak percaya, silahkan hubungi lantai 3 kantor bapak."
Dua orang polisi itu terperangah, bertukar tatap dan mengirim sinyal. Lantai 3 yang dimaksud sang gadis adalah istilah yang tidak umum dan secara literal tidak mengacu pada lantai 3 yang sebenarnya. Itu mengacu pada sang komisaris jendral. Hanya elit kepolisian pusat yang tahu istilah itu. Nyali mereka menciut seketika saat menyadari sang gadis bukan orang biasa, kalau mereka tak menurut bisa jadi gadis itu menghubungi sendiri lantai 3 yang dimaksud. Perempuan muda ini nampak punya koneksi untuk itu.
"Baiklah nyonya. Tolong sebentar saja."
"Terima kasih pak. Berikan keluarga kami privacy." Kedua polisi itu keluar dari ruang makan tanpa perlawanan.
Seluruh anggota keluarga Pasya dalam ruang makan itu bergantian mencercah Chad dengan pertanyaan-pertanyaan sedangkan bungsu house of Kamal itu meraih telpon genggamnya dan dengan cepat menghubungi seseorang. Semua mata kembali terpaku pada gadis itu saat dia membuka mulut. Mereka sedari tadi menghujani Chad dengan kemarahan. "Baba, kita tak punya waktu untuk memarahi Chad sekarang."
"Nak, sebenarnya ada apa ini?" tanya Saif Pasya yang sedang duduk menenangkan diri setelah meradang.
"Katakan Chad, kamu mengonsumsi narkoba kan? Atau jangan-jangan, lebih buruk lagi kamu berbisnis barang haram itu?" cercah Arav pada adiknya begitu tak ada suara.
"Bukan suamiku! Human trafficking. Ini kasus yang sangat besar, Arav." Jawaban Reeya Humeera seolah menghentikan jalan pernafasan setiap orang dalam ruang. Mereka membatu di tempat, tak mampu lagi bicara. Reeya Humeera sebaliknya dengan tenang menghampiri Chad, berhenti tepat di depan iparnya itu. "Dengar, Chad. Satu-satunya cara agar kau bisa selamat hanya dengan memberikan jawaban yang diinginkan kejaksaan selatan." Setiap mata kembali terpaku lurus pada Reeya Humeera.
Empat perempuan dalam ruang makan yang beberapa menit lalu menaruh kekesalan pada sang gadis mulai menciut, mereka berurusan dengan orang yang salah.