~ Bagian 27: Kesempatan ~

19.9K 3.3K 328
                                    

Part ini adalah part tersulit yang aku tulis selama nulis cerita Opportunity. Kenapa? Karena aku mulai tergoda dengan ide-ide buat cerita baru. Sumpah yah, memang benar kalau buat setia sama satu cerita itu cukup susah. Tapi....aku coba menahan diriku sendiri buat tetap konsisten di satu cerita. Pokoknya aku baru boleh tulis cerita baru kalau Opportunity tamat. 🙂

Jadi mungkin feel di part ini kurang. Semoga nggak buat kalian kecewa yahhhh 🤣

Tadinya aku mau update ini kalau di part sebelumnya udah 200 komen. Tapi kayaknya masih luaaammaaaaaa yah. Dan aku jadi ngerasa bersalah sama kalian yang selalu setia kasih vote dan komen. Kalian yang setia nunggu, aku mikir masa kalian harus nunggu makin lama karena komen nggak nyampe target. So aku upload aja deh. 😁

Happy reading. Selamat malam jum'at 🥰

_____

"Jika kau memiliki kemampuan sihir. Apa yang ingin kau lakukan?"

Untuk sesaat Alesha tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak bisa membahas tentang apa yang dia rencanakan secara sembarangan dengan orang lain. Tapi mungkin dia bisa mengatakan garis besarnya pada Chaiden. "Melindungi keluargaku."

"Melindungi keluargamu?"

Alesha bisa mendengar nada heran dalam suara Chaiden. Laki-laki itu jelas menganggap jawaban darinya hal yang aneh. Karena dengan gelar dan kekuasaan yang dimiliki keluarga Devonte tidak akan mudah bagi orang lain untuk mengganggu ketenangan keluarganya. Sayangnya, tanpa Alesha duga bahaya itu datang karena dirinya sendiri. Kehancuran keluarganya adalah bayaran atas rasa cintanya yang berlebihan pada Lazarus. Dan sudah menjadi tugasnya untuk melindungi keluarganya dari kehancuran itu.

"Iya." Alesha menjawab dengan yakin. Dia kemudian mulai berpikir untuk memberikan penjelasan pada Chaiden yang masih terlihat bingung. "Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi hal-hal buruk yang tidak kita duga mungkin saja terjadi. Aku hanya berharap bisa melindungi keluargaku jika aku memiliki sihir."

Dengan sihir, meskipun sihirnya tidak sekuat Chaiden ataupun Lazarus. Tapi jika sihir miliknya bukanlah sihir healing seperti yang dimiliki keluarganya, dia jelas bisa melawan Lazarus. Itu lebih baik daripada dia hanya diam tanpa bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan keluarganya. Saat itu, jika saja sihir miliknya yang kata Mervyn tersegel dalam kalung yang dia pakai sudah kembali menyatu dengannya. Mungkin dia bisa melawan Lazarus dan mencoba menyelamatkan keluarganya.

"Kau benar!" ucap Chaiden tiba-tiba setelah beberapa menit keheningan menyelimuti mereka berdua. "Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di masa depan."

Alesha mengangguk. Dia merasa lega karena Chaiden memahami apa yang dia katakan dan tidak terlihat curiga.

"Aku juga berharap bisa melindungi orang yang berarti untukku," kata Chaiden pelan.

Alesha merasa bingung saat melihat berbagai emosi berkecamuk dalam mata Chaiden. Entah apa maksud perkataan laki-laki itu barusan. Dia hanya diam dan menunggunya kembali berbicara.

"Peristiwa itu terjadi saat aku masih kecil dan belum bisa melakukan apapun."

Alesha langsung sadar bahwa Chaiden sedang membahas ibunya. Karena nada lirih dalam suaranya sama dengan nada saat mereka bicara berdua di taman waktu itu.

"Waktu itu, aku tidak memiliki kekuatan apapun untuk melindungi ibuku," ucap Chaiden dengan nada pahit. "Kadang aku bertanya-tanya. Kenapa hal itu harus terjadi disaat aku masih kecil dan belum bisa melakukan apapun untuk menyelamatkannya?"

Genggaman tangan Chaiden pada buku yang sedang dibacanya mengerat. Alesha yang melihat hal itu ikut merasakan kesakitannya. Dia sangat tahu apa yang laki-laki itu rasakan. Perasaan gagal yang sangat menyiksa. Gagal karena tidak bisa melakukan apapun untuk melindungi orang yang berharga dalam hidupnya. Bedanya, dia sekarang diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Kesempatan untuk bisa menyelamatkan keluarganya dari tragedi mengerikan karena perbuatannya. Sedangkan Chaiden...laki-laki itu tidak memiliki kesempatan untuk menyelamatkan ibunya.

          

"Jika saja hal itu terjadi saat aku sudah besar atau setidaknya saat aku sudah lebih kuat. Aku mungkin bisa melindungi ibuku, kan?"

Alesha menggeleng cepat dan meraih telapak tangan Chaiden yang semakin kuat mencengkram buku dalam genggamannya. Meremasnya lembut seolah memberi kekuatan. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya memberi kata penghiburan agar Chaiden melupakan rasa sakitnya. Karena dia tahu pasti bahwa kata-kata seperti itu tidak akan membantu sama sekali. Jadi dia hanya akan menjadi pendengar yang baik untuk sekarang.

"Tapi saat itu..." Chaiden mendesis dengan kekesalan dalam suaranya. "Aku bukan hanya tidak bisa menyelamatkan ibu, aku bahkan tidak bisa memberi keadilan atas kematiannya."

Keadilan atas kematian selir utama? Alesha tidak mengerti maksud Chaiden. Karena setahunya, para bandit yang menyerang ibu Chaiden dulu sudah ditangkap dan dihukum mati. Jika Chaiden sampai merasa seperti ini, jelas ada yang tidak beres dengan kematian ibunya.

"Apa yang salah?" tanya Alesha hati-hati.

Chaiden tersenyum sedih, matanya langsung menunjukkan sorot penuh kemarahan. "Kematian ibuku tidak sesederhana berita yang beredar selama ini."

Alesha memusatkan perhatiannya pada Chaiden. Berbagai kemungkinan tentang kematian selir utama berkeliaran dalam pikirannya.

"Jika aku bilang kematian ibuku memang sudah direncanakan, apa kau percaya?"

Alesha tercekat. Dia tidak siap dengan pertanyaan semacam itu. Secara tidak langsung Chaiden mengatakan bahwa selir utama mati karena ada seseorang yang merencanakan kejadian itu.

Chaiden sendiri hanya tersenyum pahit melihat respon Alesha yang begitu terkejut mendengar pertanyaannya. "Aku tidak berharap kau akan percaya, mengingat berita yang disebarkan pihak istana sendiri tentang penyebab kematian ibuku. Apalagi tidak ada bukti bahwa itu adalah rencana pembunuhan. Kau tidak perlu merasa terbebani dengan pertanyaanku tadi."

"Aku percaya!" Alesha akhirnya menjawab tanpa ragu. Kesedihan dan kesakitan dalam mata Chaiden sudah cukup membuat Alesha percaya bahwa apapun yang menjadi penyebabnya itu bukanlah hal yang sederhana. Chaiden pasti memiliki alasan kuat yang membuatnya sampai berpikir seperti itu.

Chaiden menatapnya. Seolah ragu dengan jawaban Alesha. Menyadari hal itu, Alesha memberikan senyum tipis. "Aku tahu kau tidak akan berani bertanya seperti itu padaku jika kau tidak yakin dengan dugaanmu. Jadi bisa disimpulkan bahwa kau punya alasan kuat sampai bisa berpikir begitu, kan?"

Chaiden menaruh buku yang dia pegang di meja. Dia kemudian meraih tangan Alesha yang tadi meremas tangannya. Menggenggamnya erat. Chaiden masih menatapnya. Tapi kali ini tatapannya sulit diartikan. "Sihir hitam," bisik Chaiden tiba-tiba.

"Apa?"

"Di tubuh ibuku ada luka bekas sihir hitam."

Mata Alesha terbelalak. Dia merasa begitu terkejut dengan apa yang Chaiden katakan. Ternyata kematian selir utama berhubungan dengan sesuatu yang sangat mengerikan. Sihir hitam, itu harusnya menjadi masalah serius.

"Bagaimana mungkin?" Alesha bertanya dengan suara bergetar. "Jika ada luka bekas sihir hitam di tubuh mendiang selir utama, bagaimana mungkin tidak ada berita apapun tentang hal itu? Bagaimana mungkin hal itu terlewatkan dari pemeriksaan oleh pihak kesehatan di istana?"

"Lebih tepatnya mereka sengaja menutupinya," jawab Chaiden dengan suara tanpa emosi. Meski begitu Alesha bisa merasakan ketegangan dari tangan Chaiden yang menggenggam telapak tangannya. "Saat itu aku dengan jelas melihat ditangan ibuku ada luka bakar hitam yang merusak bagian dalam pergelangan tangannya. Tepat di bagian nadi. Aku tahu bahwa itu adalah luka karena sihir hitam. Tapi dari laporan tabib istana tidak ada keterangan tentang luka itu."

OPPORTUNITYDonde viven las historias. Descúbrelo ahora