0.4 Si Bodoh dan Si Paling Bodoh

4 5 0
                                    

"Kalau kamu ngerasa kamu sakit karena aku milih cewek se-nggak berguna kayak kamu, aku bakalan lebih sakit kalau harus ninggalin kamu"

Eza hanya terkekeh menanggapi ucapan laki-laki ini, ia menduselkan kepalanya di ceruk leher Sagara. Wangi. Sejak tiga tahun lalu, parfumnya tetap tidak berubah.

Masih sama, seperti orangnya.

"Aku ngerasa tenang setelah muntahin semua yang ada di kepala aku selama ini. Aku pikir, kamu enggak nyadarin, Ga" ia kembali terkekeh geli sembari melingkarkan tanganya di pinggang Saga.

Sagara ikut terkekeh kecil, ia mengusap-usap surai Eza "Selama bertahun-tahun nemuin kamu, aku tahu kalau kamu cuma cewek bodoh bahkan pertama kali aku liat kamu."

Eza terbahak-bahak. Bahkan suaranya hampir memenuhi tiap sudut lantai dua ini.

Sagara memandangi itu dengan raut datar.

Eza meredakan tawanya, sambil menahan geli di perutnya, ia berusaha mengucapkan sesuatu, "Tapi kamu beratus-ratus kali lipat lebih bodoh, kenapa mau sama gadis bodoh kayak aku."

Tidak ada yang lucu, tetapi Eza melanjutkan tawanya lebih nyaring dari sebelumnya.

Sagara menghembuskan napas panjang. Ia kesal, lalu menarik lengan gadis itu turun yang masih sibuk dengan sisa-sisa tawanya.

***

Tepat pada pukul dua sore, setelah hampir 4 jam laki-laki itu menghabiskan waktu di rumah Eza, Sagara pamit dari rumahnya untuk kembali ke kantor. Sebenarnya ia ingin ikut, tetapi ia ingat bahwa hari ini ia berniat pergi ke rumah tetangga sebelah atau rumah teman sedari oroknya.

Eza berjalan santai sambil mengamati pekarangan rumah besar yang hanya berjarak 3 rumah dari rumahnya sendiri. Tidak banyak berubah, hanya terdapat gerbang hitam menjulang tinggi yang terbuka setengah sehingga ia dengan mudah nyelonong masuk. Tata kramanya sudah dihempas ke kerak bumi. Biasalah!

Kolam ikan koi, halaman hijau yang dipenuhi oleh rumput manila yang teramat rapi nan terawat, bangku kayu bercat putih seperti yang sering ditemuinya di taman-taman, jemuran lipat dengan ukuran minimalis yang sudah tergantung-gantung dengan berbagai warna celana dalam dan 4 helai baju.

Sisanya, ia melihat sang tuan rumah sedang memandikan motor matic  warna kuningnya dengan menggunakan celana kolor bola selutut dan kaos oblong.

Alfeandra Putra, Eza biasanya memanggilnya Andra, Al, atau Putra. Teman laki-laki sedari kecilnya. Tubuhnya putih bersih tanpa campuran darah bule, jangkung seperti Saga, rambut lurus (yang sekarang blonde) dan tampan. Eza mengakui, kok jika temanya itu memang tampan.

"Orang kaya tujuh turunan tujuh tanjakan, kok motornya butut si. Nggak dapet warisan eyang ya?" Eza dengan ringan melangkah mendekati sembari terkikik geli dengan ucapanya.

Andra menoleh cepat, mendapati teman perempuanya itu berjalan riang. Ia melotot sempurna, bahkan Eza khawatir, takut bola matanya mencuat dari rongganya, selang air yang masih menyala ia lempar begitu saja. Berlari mendekati Eza.

"HEH DUGONG! KAPAN LO BALIK WOY! NGGAK BILANG-BILANG!" ucap laki-laki itu tak mengindahkan hinaan atas motor kesayanganya.

Eza menatap Andra jengah. Lebay.

Teman laki-lakinya itu sudah mendekap gemas Eza, ia mengacak-acak surai pendeknya, "Aishhh, kangen banget gue, kapan pulang?"

Eza hanya tersenyum di pelukan temanya itu, ia balas memeluk Andra dan menepuk pelan punggungnya, sama sekali tidak risih "Dah hampir seminggu, kangen ya lo sama gue?" ia terkekeh, "Maaf baru kesini, gue sempet agak drop pas pulang dari Belanda. Cape. Mager juga si."

Andra melepas pelukan kangen-kangenanya, kemudian menoyor gadis itu. Kesal. "Halah, lambemu, bilang aja males ketemu gue kan? Atau males ngasi oleh-oleh buat gue?" Andra mencebik.

Yang digerutui hanya mengembuskan napas kesal. Perasaanya tiga tahun itu lama, kenapa tidak ada yang berubah sedikitpun sih, tidak Saga, tidak Andra! Bahkan semua orang!

"Gue pulang, karena apa ya?" Eza mengedikan bahunya. Ia saja bingung.

"Lo pulang karena Saga. Halah." Andra mencebik lagi.

Apakah sangat kentara jika ia pulang dengan alasan satu-satunya, yaitu Sagara? Padahal walaupun bucin, ia tetap tidak selebay orang lain. Atau memang Andra jelas tahu jika ia sebegitu dalamnya kepada Sagara Pandu?

"Malah ngelamun!, kesambet penunggu kolam mampus lo." Andra menyenggol bahunya.

Eza hanya mencibir, kemudian nyelonong masuk ke dalam ruang utama di rumah itu. Andra hanya mengekor saja.

"Lo masih sendirian aja? Nyokap masih tetep di Jakarta?" Eza menduduki salah satu sofa panjang.

Andra yang sedang berjalan ke dapur untuk membawakan minum 'tamu' nya itu, hanya berdehem.

Eza jelas tahu bagaimana kehidupan keluarga Andra ini. Ayahnya sudah meninggal, ibunya menikah lagi dan kini menetap di Jakarta dengan keluarga barunya, seolah-olah Andra adalah anak sebatang kara. Pilihan ia hidup di Jogja juga karena keluarga mendiang Ayahnya yang masih gamblang menerima ia dengan senang hati. Rumah yang ia tempati ini pun milik mendiang ayahnya, salah satu alasan ia tidak pindah kemana-mana, kemudian ada teman sedari kecilnya yang sudah mengetahui garis besar kehidupanya yang sekaligus menjadi tetangga, ya setidaknya ada tempat untuk ia bicara.

"Lo mana tahu orang miskin kayak gue, sayang banget tabungan buat beli-beli motor mahal apalagi mobil, mending beli motor second itu aja udah bagus banget." Andra kembali ke ruang utama dengan mengungkit celetukan Eza di depan tadi, ia membawa minuman soda dingin dan setoples keripik melinjo pedas manis.

"Miskin miskin matamu, gue sumpahin miskin beneran mampus lo biji jagung" Eza berkata sambil mengumpati Andra.

Rumah yang ia tempati mungkin masih dua kali lipat di bawah dari harga rumah milik Andra. Almarhum Ayahnya dulu bukan orang sembarangan, ia mempunyai pabrik kain batik berkualitas tinggi yang hampir ada di penjuru tanah air, barang-barangnya jelas untuk diekspor ke berbagai negara, sahamnya pun bukan sedikit, untuk memberi makan orang-orang setanah air tujuh hari tujuh malam pun tidak akan habis. APALAGI SEMISAL UNTUK MEMBELI MOBIL KELUARAN TERBARU SETIAP MINGGUNYA, JELAS MAMPU. ANDRA SIALAN!

"Kan itu duit bokap, gue cuma dititipin" katanya tak berminat.

Dasar.

"Titipin ke gue aja sini, gue pengen minggat ke Belanda lagi, hidup bahagia di sana selamanya" ucapnya sambil mengemili keripik melinjo.

"Hidup bahagia pala lo peyang, sok sok an minggat tiga taun, nyatanya balik nyariin Sagara lagi. Cuih!."

Menyedihkan. Andra sama sekali tidak salah. Sudah dibilang, bahwa Sagara mampu membuat Nindya Eza, si gadis bodoh menjadi bertambah bodoh.

"Iyasi, Saga emang cinta mati gue selama-lamanya." Ucap Eza tenang sambil menatap kosong kedepan.

"Telek Kucing! Cuih, cuih, cuih!"

Andra merasa tersakiti hanya dengan melihat sang sahabat bucin setengah mati. Sungguh tidak berperikejombloan.

Bersambung....


Si bodoh Eza dan si paling bodoh Sagara.

Kita | Sagara PanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang