Abrasi

631 110 65
                                    

Bogor, Agustus 2013.

LUKA itu sudah sembuh. Hanya saja, hatinya masih enggan. Bukan ia tidak rindu. Hanya saja, lidahnya terlalu kelu untuk memulai konversasi. Meski ia sudah memaklumi, tetapi rasanya jika ingat semua pesan singkatnya tidak berbalas, ia kembali merasa sebal.

Dengarlah sekarang. Pintu kamar sebelah berdecit. Itu tandanya, penghuninya telah kembali dari acara Masa Perkenalan Departemen. Handaru melihat jam yang ada di meja belajarnya. Pukul sembilan, batinnya.

Ia mengambil napas dalam-dalam. Lalu, mengembuskannya perlahan. Setelah dirasa degup jantungnya mulai tenang. Ia buru-buru membuka pintu kamarnya. Tepat saat sekat kayu itu terbuka. Sepasang netranya berseborok dengan sepasang bola mata yang dirindukannya.

Benar. Halilintar ternyata berdiri mematung di depan kamarnya. Waktu masih berjalan. Namun, tubuh keduanya membeku. Degup yang tadinya sudah reda, kini kembali kencang.

"Tar ...," Handaru kembali menghela napasnya. Berat kembali menguasai rongga dadanya. Entahlah. Rasanya seperti nyeri, tetapi ia tak jua mengerti apa yang jadi penyebabnya.

Kata itu mengambang bebas di udara. Sementara Halilintar telah kehilangan kegarangannya. Koridor Pencakar Langit itu menjadi saksi bahwa lelaki itu masih membatu.

"Lintar, Langit mana?" Pertanyaan itu terasa seperti basa-basi bagi Handaru. Sebab ia tahu, Langit sudah berkirim pesan, yang mengabarkan bahwa Grahana telah menjemputnya tadi sore. Dan Guntur juga ikut bersama Putra Airin itu. Jadi, hanya tersisa dua penghuni di rumah kontrakan itu.

Halilintar mencoba berdamai dengan gemuruh dalam dadanya. Ia menghela napas. Kemudian mencoba berujar. "Tadi dijemput Bang Grahana."

Handaru pura-pura mengangguk. Sementara Lintar mati-matian menahan rasa gemasnya.

"Ya sudah kalau gitu," pungkas Handaru. Sebenarnya, ia masih ingin berbicara. Namun, putra bungsu Notosuman itu tidak tahu apa yang harus diucapkan lagi.

Handaru hendak menutup pintu kamarnya. Namun, Lintar buru-buru menahan dengan kelakarnya. "Gitu doang? Kamu keluar kamar, cuma buat nanyain Langit?" sengitnya.

"Kamu aja ndak pernah balas chat-ku!" Handaru membela dirinya. Meski ia sendiri sadar, ucapannya sungguh teramat konyol. Memangnya dia siapanya Lintar? Kok bisa-bisanya dia merajuk hanya karena Lintar tidak membalas pesan singkatnya.

Tak pelak, Lintar segera membungkam bibir Daru dengan bibirnya. Kepalang tanggung pikirnya. Lintar lantas mendorong tubuh Daru masuk ke dalam kamar. Lalu menutup pintu yang ada di belakangnya. Dan sang Raden hanya menurutinya dengan patuh. Keduanya seperti tersihir. Saling memangkas jarak.

Lintar melepas pagutannya, lantas menatap kedua netra milik Daru. Sepasang bola bulat itu tergenang air. Lintar panik, tapi ia sendiri bingung harus berbuat apa?

Handaru masih menatapnya. Pemuda itu masih enggan membuang pandangannya.

"Ru, kamu marah?"

Tak ingin menjawab, sang Raden justru menggamit tengkuk Halilintar. Sedetik kemudian, ia tarik tubuh Lintar dan kembali mengecup bibirnya.

Setelah beberapa lama, Handaru melepas gamitannya. Lantas, kini Lintar menatapnya lekat-lekat. Seolah menuntut penjelasan.

Handaru menghela napas. "Aku cuma butuh waktu untuk mencerna apa yang terjadi di antara kita."

"Jadi, kita ini sekarang apa?" tanya Lintar penuh harap. Ia tidak mau sakit hati, tetapi juga sudah siap dengan kemungkinan jawaban dari Handaru.

"Menurutmu?"

Lintar gemas bukan main. Diangkat kedua tangannya, lalu mencubit gemas pipi Handaru. "PACAR!!!" jawabnya mantap. "DAN ... aku nggak mau dibantah!"

"Ya ndak bisa gitu dong! Kan aku belum setuju, Tar."

"Bodo amat!"

"Aku ndak mau!"

"Ya nggak bisa gitu. Kamu barusan nyium bibirku, Raden Mas Handaru Purnama!" cerca Lintar berapi-api. Sebelum Handaru memotong ucapannya, Lintar kembali berujar, "kamu tau ..., itu tadi ciuman pertamaku."

"Yang waktu di Solo kemarin apa?"

"Itu nggak masuk hitungan."

Tak pelak, Handaru langsung menepuk jidat Lintar. Pemuda itu hendak membalas, tapi saat Handaru menutup wajahnya, Lintar hanya tersenyum, lalu memeluk erat tubuh Sang Raden. Kemudian dihirupnya aroma tubuh yang ia rindukan itu sebanyak-banyaknya.

"Ih, Lintar, kamu bau keringat. Mandi dulu sana!" berontak Handaru.

Lintar tergelak. "Pemanasan, Ru."

"Pemanasan apanya?"

"Setelah ini, kamu bakal bersahabat sama bau keringatku. Kamu bakal kecanduan."

"Jangan halu. Aku belum setuju buat pacaran sama kamu kok!"

"Pokoknya kamu sekarang PACARKU. TITIK!"

"Emoh!"

"HARUS MAU!"

"Bukan pacar. Titik."

"Terus apa dong?"

"Abdi dalem. Kan aku Raden."

"Deal!" pungkas Lintar tanpa banyak protes.

Handaru melongo. Jawaban Lintar sungguh di luar dugaannya. Biasanya, Lintar akan protes, tetapi kali ini pemuda itu justru memilih setuju tanpa banyak kata.

Lintar keluar kamar Handaru tanpa mengucapkan apa-apa. Handaru mematung. Namun, sedetik kemudian ia bertanya, "kamu mau ke mana?"

Lintar balik badan. Menatap Handaru sejenak. "Mandi."

Handaru mengangguk.

"Bentar ya, nanti aku balik lagi ke sini."

"Mau apa?"

"Ya malam pertama lah, Radenku."

Satu tepukan kembali mendarat di jidat Lintar. "Emoh!"

Lintar mengaduh, tetapi juga tergelak karena baru kali ini ia melihat wajah Handaru yang memerah menahan malu.

ABRASI. Ternyata, benar dugaan Lintar. Kerasnya batu karang akan terkikis juga oleh sapuan ombak yang tenang. Keputusannya untuk tidak membalas semua pesan Daru adalah hal yang tepat. Lihatlah sekarang, hasil kesabarannya telah berbuah. Memberi jarak pada Handaru akan memberi ruang bagi Sang Raden untuk berpikir kembali. Dan ya, Handaru akan selalu memikirkannya.

*****

halo halo!!!
apa kabar semuanya? semoga baik-baik ya.
saya coba update lagi ya.
maaf, kalau pendek. saya masih berusaha mengingat kembali draft dari Langit Timur dan Pengamat Badai, karena laptop saya mati total dan belum bisa dibenahi sekarang. semoga teman-teman bisa bersabar ya.
insyaAllah, saya akan lanjutkan cerita ini hingga tuntas.

happy weekend ya ;)

Langit Timur dan Pengamat BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang