23: Mendung yang mengabu

94 28 23
                                    

Tidak ada kata yang lebih indah dari kejujuran, aku ingin mengatakan yang sejujurnya. Namun, bisakah kau menerima kebenarannya? — Kirana Asmaraloka

Awal bulan Juni. Sering kita lihat sebagai bulan yang senantiasa hujan, mungkin tidak juga. Tapi mayoritas, di bulan juni langit sering sekali mengabu. Menyatukan mendung yang membawa air, lantas menjatuhkannya pada tanah dengan petrichor yang menguar.

Dalam detik dan menit Aksara termenung di ruang kelasnya. Pria itu menatap pada jendela, yang memaparkan luasnya langit yang mengabu pada pagi hari ini. Dia terdiam dalam renungan batinnya, menyuarakan segala isi pikirannya agar berdiskusi bersama sang hati.

Semalam dia dapat kabar dari Danur, ternyata saudara kembar tak se- identiknya itu sudah tahu perasaan cintanya. Ternyata Jina beruntung, karena cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Mereka seakan-akan, menjadi pasangan yang sangat di restu-i oleh dewi cinta. Walau sekeras apapun rasa cinta mereka, akan tetap terpisah dengan takdir tuhan yang tak berpihak.

Lantas bagaiman dengan dirinya?

Untuk saat ini keadaan hatinya masih sama, dia tidak juga menyerukan isi hatinya pada sang pujaan hati. Terjatuh dalam lembah asmara yang maha luas, dia justru tersesat di jalannya sendiri.

Jangan pernah percaya dengan kata-kata Aksara yang selalu memotivasi, jangan juga percaya pada Aksara yang selalu tersenyum dan membuat tertawa siapa saja yang melihatnya. Tapi percayalah pada satu hal, bahwa sekeras apapun mereka nampak bahagia dan baik-baik saja. Disana juga, mereka menyimpan banyak rahasia dalam hidupnya.

Lagu Why don't we terputar dengan jelas di ruang kelas itu. Bersamaan dengan itu Kirana masuk kedalam kelas musik, gadis itu melangkah mendekat pada Aksara.

"Tentang seorang yang sebenarnya menyimpan rasa untuk orang yang ia sayang. Keduanya sebenarnya saling mencintai, tapi salah satu dari mereka sulit untuk mengungkapkan perasaannya dan malah memilih untuk menjauh. Makna lagu, why don't we. Koreksi bila salah."

Aksara tersenyum menanggapinya, pria itu menepuk kursi di sebelahnya. Memberi isyarat pada Kirana, agar gadis itu duduk di sebelahnya.

"Dan lo tau?" Kirana menggeleng.

"Sebenarnya, salah satu dari mereka menjauh untuk kebaikan dan kebahagiaan bersama." Aksara mengucapkannya bersamaan dengan lagu yang masih terputar.

"Bodoh jika salah satu dari mereka memilih menjauh, bukankah itu menyakitkan? Lantas mengapa harus kata perpisahan yang menjadi akhir dari semuanya?" Aksara kembali tersenyum, pria itu membenarkan sedikit tatanan rambut Kirana yang agak berantakan.

"Karena semuanya memang akan berpisah Kir... ingat kan kata-kata ini, 'ada pertemuan ada perpisahan' itu selalu terjadi di dunia ini."

"Sekarang aku tanya sama kamu, kalo misal di antara kita saling mencintai. Tapi di antara kita tidak ada yang mengungkapkan isi hati masing-masing, bukannya itu lebih baik? Ketimbang saat sudah bersama, tapi salah satu dari mereka akan pergi untuk selamanya. Begitu juga dengan makna lagu itu, salah satu dari mereka memutuskan untuk pergi. Bukan karena dia tidak ingin cintanya di ungkapkan, justru dia ingin. Tapi sesuatu menahannya agar tidak menjadi duka nantinya. Paham?"

Kirana menggeleng, gadis itu menatap penuh tanda tanya pada Aksara. Bersamaan dengan rintikan hujan yang menemani pagi mereka saat ini.

"Lo bakalan tahu nanti, apa yang gue maksud dari kata-kata gue barusan."

•••

Jina menatap sendu pada kertas putih yang di bawa olehnya. Tumor jantung primer, satu kalimat itu meruntuhkan segala hidupnya dari detik itu. Gadis itu menatap kepada sang ibu yang masih setia memejamkan matanya.

"Aku tega banget yah bu, bisa-bisanya aku nggak tahu kondisi ibu selama ini. Aku emang anak nggak berguna!"

Aksara yang baru saja datang segera menenangkan Jina yang nampak frustasi, tadi pria itu datang bersama dengan Kirana. Tapi gadis itu ijin dulu ke- toilet.

"Hust, udah Jin jangan gini please..."

"Ya terus gue harus gimana Aksa?! Ibu gue kena kanker jantung! Dan gue nggak tahu mau cari pendonor jantung dimana." Akhirnya pecah juga tangisan Jina. Gadis itu tak memikirkan matanya yang sudah bengkak karena terus menangis semalam.

"Lo harus tegar Jin, percaya sama tuhan pasti ada keajaiban yang datang setelahnya."

"Tapi gue juga capek Aksa.. gue pengin istirahat dengan tenang, gue pengin hilang dari dunia ini!"

"Hust.. hust.. Jina, look at me! Lo tega liat ibu lo sedih gara-gara lihat penampilan lo yang kaya gini?! Lo pengin ibu lo kepikiran terus sama lo, yang nggak bisa rawat diri! Sadar woi!! Lo harus semangat buat ibu lo, jangan pesimis gini lah Jin. Ini tuh bukan lo banget."

"Mana Jina yang ambis nari?! Mana Jina yang selalu semangat kalo di suruh bikin choreography dance, mana? Jadi please, senyum dong Jin. Biar saat bangun nanti, ibu lo merasa lega lihat lo yang baik-baik aja."

Perlahan Jina mulai tersenyum. Aksara benar, dia harus terlihat kuat di hadapan ibunya nanti. Dia harus bisa membuktikan, jika dirinya sudah dewasa dan bisa menjaga serta merawat diri sendiri.

"Nah gini dong, baru keliatan cantiknya kan." Goda Aksara. Jina tersenyum, gadis itu mengusap air mata terakhirnya yang masih sempat menetes di wajah ayunya.

"Thanks, udah mau semangatin gue lagi." Aksara mengangguk, "sama-sama cantiknya Danur... aciee yang cintanya di bales."

"Hahaha, udahlah nggak usah ledekin gue terus. Bisa-bisa gue salting lagi."

"Biarin, cie cie.. calon adik ipar gue malu-malu kucing."

"Aksara ih, jangan begitu dong!"

"Cie yang malu-malu."

"Aksa ih jangan gitu deh, nggak suka gue!"

"Biarin, toh ngeledekin calon adik ipar sendiri. Nggak ada yang larang yah.."

"Nye nye nye, terserah!"

Di luar ruang rawat Kirana mengintip sedikit dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dia menatap sendu pada lantai rumah sakit yang nampak dingin.

Gadis itu jujur saja merasa iri dengan Jina, yang bisa sedekat itu dengan Aksara. Dia juga ingin merasakan kehangatan Aksara yang menganggap dirinya selayaknya sahabat lama, tapi jelas saja tidak bisa.

Walau semakin kesini dia makin dekat dengan Aksara, tetap saja. Hati kecilnya selalu mengatakan cemburu dan cemburu saat Aksara dengan gadis lain, walau hanya sekedar menyapa pun hatinya terasa panas. Dia benar-benar tidak bisa membiarkan Aksara dekat dengan gadis manapun, begitu juga dengan temannya sendiri.

Namun di sisi itu juga dia harus sadar. Jangan sampai dirinya terlahap dengan hal yang berbau obsesi. Karena dia ingin mencintai Aksara dengan tulus, bukan hanya karena obsesi ingin memiliki semata. Maka dari itu, dirinya benar-benar bertekad dengan keras untuk mencintai Aksara semampunya saja. Jangan sampai, cintanya berubah menjadi obsesi.

•••

Happy reading:)

Bumantara Aksara || Haechan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang