(R E V I S I)
Jeon Jungyeon memangku dagu dengan alis menyatu, sudah hampir satu jam lamanya ia mendengarkan Jimin mengoceh mengenai liburannya ke Wina bersama keluarganya. Jika bukan karena lelaki itu adalah sahabatnya, mungkin Jungyeon sudah melemparnya keluar jendela. Mereka sedang berada di lantai sepuluh sebuah gedung Agensi yang menaungi Klub mereka. Keduanya sedang menghadiri panggilan para petinggi untuk merundingkan sebuah acara yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Sayangnya para petinggi itu rupanya tengah melaksanakan rapat lain yang membuat keduanya harus menunggu, sang pelatih yang tadi sempat menemani keduanya kini sudah pergi entah kemana. Seingat Jungyeon, pelatihnya berkata akan pergi ke lantai dasar untuk mengurus beberapa keperluan. Entahlah, Jungyeon tidak terlalu mendengarnya, ia sibuk mendengarkan Jimin yang belum menemukan kalimat terakhir dalam ceritanya.
"Hey, setidaknya berikan reaksi yang menyenangkan Jung!" Jimin merengek karena sedari tadi Jungyeon hanya memandangnya dengan raut wajah yang sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan atas cerita yang Jimin dongengkan padanya. Bukannya melakukan hal seperti yang Jimin minta, Jungyeon malah menarik tubuhnya menjauh lalu membuang muka dengan nafas berat yang keluar dari mulutnya. Ia kemudian menatap Jimin dengan pandangan datar, sama sekali tak memperlihatkan perubahan.
"Telingaku sakit Jim, kau mengoceh hampir satu jam. Lagi pula apa yang kau harapkan dariku? Aku bahkan tidak bisa membayangkan hal menakjubkan apa yang kau lihat disana." Jungyeon berkata dengan sedikit gusar, ya, benar. Jungyeon merasa iri, karena pergi ke Wina merupakan impiannya yang kesekian setelah ingin pergi ke New Zealand. Dan Park Jimin dengan tidak berperasaan bercerita mengenai liburannya ke Wina tanpa memikirkan Jungyeon yang sudah setengah mati iri padanya. Jungyeon kembali menghela nafas saat Jimin mematung tidak mengerti. Ia harusnya pergi bersama Jungkook ke Netherland bulan lalu agar memiliki bahan cerita seperti Jimin.
"Kau ingin melihatnya Jung?"
"Kau tidak perlu mengirim foto liburanmu." Jawab Jungyeon sengit dengan lirikan yang cukup membuat Jimin terkekeh karena mulai mengerti kecemburuan Jungyeon padanya. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri dimana terdapat banyak sekali foto yang ia abadikan disana.
"Wina adalah tempat terbaik untuk menyegarkan pikiran Jung, disana kau bisa belajar dan melupakan masalahmu sejenak. Kau bisa memanjakan matamu dengan arsitektur yang luar biasa indahnya. Ada banyak museum, istana bahkan gedung opera, tapi kau tau apa bagian terbaiknya?" Jimin menjeda kalimatnya ketika Jungyeon kembali membuang muka tak ingin menatapnya, Jimin terkekeh dan memanggil Jungyeon untuk kembali mendapatkan perhatiannya.
"Kau ingin tahu bagian terbaiknya?" Jungyeon tidak menjawab namun Jimin dapat dengan mudah mengartikan tatapan penuh rasa penasaran yang Jungyeon labuhkan padanya, berbeda dengan tatapannya beberapa detik lalu.
"Apa Jim?"
"Aku bisa membawamu kesana..."
Jimin tersenyum tipis, menyadari keduanya terdiam hanya dengan satu kalimat yang terdengar biasa saja namun membawa arti yang berbeda bagi keduanya. Jungyeon berusaha menguasai dirinya untuk tidak bereaksi terlalu berlebihan atas bualan seorang Park Jimin yang entah mengapa akhir-akhir ini sangat berbahaya baginya, terutama bagi jantung dan pipinya yang selalu memerah saat mendengarnya. Namun bukan Park Jimin namanya jika tidak menyadari adanya perubahan kecil pada Jeon Jungyeon yang sudah menguasai fokusnya, bahkan Jimin mengetahui bagaimana pupil Jungyeon yang melebar saat bulu mata lentiknya berusaha untuk menyembunyikannya. Jimin menyukainya.
"Rupanya kalian masih disini, syukurlah. Ada sedikit hal yang perlu diselesaikan maaf untuk membuat kalian menunggu." Ujar seorang pria berusia empat puluh tahunan itu dengan suara beratnya, seorang pria dewasa lain yang berada di belakangnya ialah sang pelatih mereka. Keduanya kemudian duduk di kursi kosong yang berada di hadapan Jimin dan Jungyeon untuk memulai rapat yang tertunda cukup lama. Jimin dan Jungyeon yang tadinya berada di ambang pikiran mereka seketika tertarik kembali ke dunia mereka yang sebenarnya. Keduanya bersikap seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka bahkan setelah Jimin mengeluarkan bualannya dan Jungyeon terpaku karenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is Not Over✅️ || BTS fanfiction
FanfictionKetika denting piano membuat hatinya bergetar dan membuat dirinya mulai mengerti apa itu cinta. Walau nyatanya setelah cinta itu benar datang padanya, itu membuat ia ragu akan segalanya. Cinta. Yang seharusnya bersamanya. BTS FANFICTION♥ TAEHYUNG...