"Bulan 6 : Musik, Sena, dan mama.
Kandunganku sudah memasuki trimester kedua. Hari ini aku, putraku, dan bayiku pergi bersama ke dokter, sayang sekali 'dia' menolak untuk ikut bersama kami. Kalau saja 'dia' mau mengantarkan ke Rumah Sakit, kami tidak perlu terkena hujan deras tadi. Untungnya dokter bilang Sena sangat sehat, kesedihanku terangkat seketika. Dokter menyarankanku mendengarkan musik-musik mozart klasik untuk tumbuh kembang bayiku. Semakin besar perutku, semakin aktif pula tendangannya. Sena, kalau kamu baca ini nanti ... mama cuma mau kamu tau, kalau ini lagu kesukaan mama dan Sena. Sena tau nggak, dulu tendangan kamu kuat sekali sampai mama kira mungkin kelak kamu pasti jadi pemain bola ^^ hihi. Bersama buku ini mama simpan kaset musik kesukaan kita dan 4 surat yang mama tulis setiap minggunya untuk kamu baca. Mama mencintaimu."
Sena menutup buku itu. Tangannya mengusap kaset lusuh yang sedang berputar.
"Berapa banyak sakit yang mama tanggung karena pria itu? Harusnya papa Sena bukan dia. Harusnya mama menolak dijodohkan sama dia. Harusnya ... hahh semua juga udah terjadi. Seandainya mama tau, Sena bukan jadi pemain bola. Kaki ini Sena pakai untuk injak pedal gas, mah. Sena jadi pembalap, malah bulan lalu sena kecelakaan dan kaki kebanggan mama ini bergeser. Hahaha." Sena berbicara sambil menatap buku itu seolah dia sedang mencurahkan isi hati pada ibunya.
Sena yang tersadar akan tindakannya tersenyum pahit lalu mematikan musik itu. Dia memasukkan kaset itu kembali ke dalam buku Jilid 6 milik ibunya.
Semalam ia sudah dinyatakan sembuh oleh Dokter dan kini sudah bisa berjalan tanpa alat bantu. Sena keluar dari kamarnya dan turun ke lantai 2. Disana ayah Sena tengah duduk di meja makan, menunggu Sena sembari sarapan.
"Kamu datang? Duduklah. Sarapan." Titah sang ayah.
Sena duduk diam, seorang maid menyiapkan sarapannya. Suasana begitu hening tanpa suara. Aturan tidak tertulis di rumah itu adalah tidak boleh ada suara saat makan.
Sena telah menyelesaikan sarapannya, begitu pula ayahnya. Ia membuka suara pertama kali "Kakek nggak ikut sarapan? Apa papa mengusir kakek?" Tanya sena blak-blakan.
"Tutup mulutmu. Apa itu cara bicara yang benar? Papa tidak mungkin mengusirnya. Papa sudah memaksa kakek kembali demi perawatannya. Dia harus memperhatikan kesehatan jantungnya."
"Maaf, Pa."
"It's okay. Ada hal penting yang harus papa sampaikan. Beberapa tahun lagi kuliahmu selesai, papa mau kamu mulai masuk mengenal perusahaan, bisnis, dan kolega kita. Ikutlah ke undangan perjamuan makan besar presiden nanti malam." Yuri menatap serius anaknya.
"Bisnis yang mana maksud papa? Bisnis normal atau bisnis illegal di dunia bawah itu? Jangan harap. Sena nggak mau terjun ke sana seperti papa."
"Sena Tadashi, jaga bicaramu. Bisnis itu adalah bisnis turun temurun keluarga kita. Bisnis yang memberikan kamu semua kemewahan dan fasilitas yang kamu rasakan saat ini. Pukul 7 malam, Hotel Ritz-Carlton. Jangan terlambat, semua yang kamu butuhkan akan disiapkan supir dan maid. Papa akan mengumumkan kamu sebagai putra tunggal penerus Tadashi, dan tentu saja mengenalkanmu dengan putri kolega papa. Kalian akan serasi bersama."
YOU ARE READING
RACE AND RAIN | NOMIN AU
RomanceKehidupan Sena identik dengan balapan, lintasan, dan kebebasan. Tipe manusia yang sebaiknya dijadikan kawan daripada lawan. Dikenal dengan wajah yang sempurna dan kebolehannya di dunia balap, Sena begitu tak tersentuh. Apa benar Sena sesempurna itu...