DORR!
Sebuah peluru melesat menembus bahu kanan Naruto. Dengan tatapan tajam Naruto segera mengambil pistol yang ada dibalik jas Madara. Menargetkan seseorang yang bersiap pergi dari lantai 2 mansion Senju.
Dua tembakan Naruto layangkan pada penyusup itu dikakinya. Penyusup itu jatuh berlutut saat merasa sakit dikedua kakinya.
"Seret dia ke hadapanku!" Naruto berteriak kepada penjaga yang sedang menyusuri anak tangga. Kedua penjaga itu mengangguk hormat menerima perintah dari Naruto.
Mengabaikan sakit di bahunya dan tatapan tidak percaya orang-orang disekitarnya, Naruto duduk dengan santai. Minato menjadi orang pertama yang memeriksa keadaan putrinya diikuti Madara.
"Ayo kita ke rumah sakit." Minato berniat menggendong Naruto namun segera ditolak.
"Aku malas bergerak." Naruto menatap tajam Madara yang mengambil pistol miliknya dari tangan sang pujaan hati.
"Tapi itu berbahaya Sayang." Kushina duduk disamping Naruto yang tersenyum tipis padanya.
"Aku baik Bu."
"Kami sudah membawanya, Nona." dua penjaga itu memaksa si penyusup untuk berlutut.
"Aku tidak akan berbelit. Siapa yang menyuruhmu?" tanya Naruto datar. Namun si penyusup hanya diam tidak mengatakan apapun.
"Kau diperintah untuk membunuhku kan? Kenapa kau membidik Tobirama?" Tobirama mendelik tajam mendengar Naruto menyebut namanya tanpa tambahan apapun.
Mito terkejut sampai memegangi dadanya mendengar penuturan Naruto. Kenapa ada orang setega itu ingin membunuh cucunya? Si penyusup hanya diam menatap lurus Naruto.
"Kau-" ucapan Naruto terpotong oleh Madara yang menahan tangannya yang sedang memegang pisau. Naruto menatap Madara meminta penjelasan.
"Biarkan aku yang mengurusnya. Kau telpon saja Indra atau siapapun untuk mengobatimu. Tidak ada bantahan!" tekan Madara saat melihat Naruto ingin protes. Madara segera meminta dua penjaga itu mengikutinya bersama si penyusup.
Dengan dengusan sebal, Naruto memainkan ponselnya berniat menghubungi Otsutsuki Indra untuk mengobatinya. Dua kali panggilannya ditolak membuat Naruto kesal.
"Halo, ini aku Kak." suara Naruto mengalihkan fokus orang-orang yang mengikuti kepergian Madara.
"Aku tahu. Ada apa malam-malam?" dapat Naruto dengar suara Indra terdengar sedikit ketus.
"Maaf sudah mengganggu waktumu dan Kak Shion untuk berkembang biak, tapi bisakah kau membantuku mengeluarkan sesuatu."
"Dimana kau sekarang?"
"Mansion Senju."
"Tumben sekali kau mau berdekatan dengan orang itu."
"Kakek Hashirama ulang tahun. Lagipula sebrengsek apapun Tobirama, pria tua itu tetap pamanku. Dia juga suami Ibuku. Meski aku tidak sudi mengakui hal itu." Naruto menghela napas lelah mengabaikan pelototan Tobirama yang tidak terima disebut brengsek. Minato hanya tersenyum kikuk ke arah Mito dan Hashirama yang terlihat terkejut mendengar kalimat kasar Naruto.
"Aku pergi." Indra segera memutuskan panggilan.
Naruto memejamkan matanya setelah menaruh ponselnya asal diatas meja. Dari tempatnya duduk, Kushina dapat melihat wallpaper ponsel putrinya. Foto mereka bertiga, dirinya, Minato dan Naruto sebelum perceraian mereka terjadi. Apa yang dilihat Kushina juga dilihat oleh Minato dan Tobirama.
Suasana hening, seakan jika mengeluarkan sedikit saja suara dapat menyebabkan ledakan bom yang sedang Naruto tahan. Hanya terdengar suara permohonan dari luar mansion tempat Madara menginterogasi penyusup.
"Permisi, Hashirama-sama, ada seseorang yang mencari Nona Muda Naruto." seorang pelayan datang membuat Naruto kembali membuka mata.
"Persilahkan dia masuk." Naruto menjawab sebelum Hashirama membuka mulut. Pelayan itu mengangguk lalu pergi.
Tidak berselang lama, Indra datang memakai piyama tidur dan sebuah tas kotak besar berisi peralatan medisnya. Setelah memberi salam singkat, Indra segera mendekati Naruto. Kushina segera menyingkir dan berdiri disamping Tobirama. Memberi ruang Indra untuk bekerja.
"Apa yang terjadi sebenarnya, bocah nakal? Sudah kukatakan keluar dari lingkaran merah itu. Kenapa kau tidak juga menurut? Itu sangat berbahaya." Indra menceramahi Naruto sebelum melakukan prosedur. Naruto mengerucutkan bibirnya.
"Aku sudah keluar kok. Mereka saja yang masih terus mengejarku." ujar Naruto pelan membuat sudut bibir Indra berkedut kesal.
"Bukankah Ashura sudah memperingatkanmu. Berbaringlah." Naruto berbaring di sofa yang tengah didudukinya. "Aku lupa tidak membawa anestesi. Bisa kau tahan? Aku akan kembali untuk mengambilnya." Indra hendak berdiri saat tangan Naruto menahannya.
"Lakukan saja."
"Kau yakin? Rasa sakitnya berbeda dari biasanya."
"Cepat." Indra menghela napas mengalah menghadapi kekeras kepalaan Naruto. Gadis nakal ini ingin tahu bagaimana sakitnya saat pisau ini membelah kulit dan dagingnya? Orang yang diberi anestesi saja masih bisa merasakan sakit.
Dengan hati-hati memulai operasi kecil terhadap gadis yang sudah dianggapnya adik itu. Indra terus memperhatikan wajah Naruto yang mengeluarkan keringat dingin. Mata birunya terpejam saat Indra membedah lapisan kulitnya.
"Percayalah. Aku sudah tidak berurusan lagi dengan mereka sejak Madara kembali." Naruto berkata dengan gigi gemerutuk menahan sakit. Sial jika tahu akan begini lebih baik ia menunggu Indra mengambil anestesi. Naruto menyesali keputusannya.
"Dan kau pikir aku percaya? Bocah nakal sepertimu tidak akan berhenti sebelum orang-orang disekitarmu khawatir." ceramah dari Indra masih terus berlanjut meskipun tangannya sudah bekerja mengobati Naruto.
"Apa yang dikatakan Dokter Otsutsuki benar. Kau hanya bocah nakal yang memikirkan kesenanganmu saja." Deidara bersedekap dada menatap Naruto tajam.
"Ayolah Kak Dei jangan ikut menceramahiku seperti Kak Indra. Tidakkah kalian lihat aku sedang terluka." Naruto merengek yang tentu saja diabaikan Deidara.
"Naru benar, Dei. Jika kalian ingin-"
"Tidak, Paman. Yang terluka itu bahunya, telinganya masih berfungsi dengan baik. Kau bisa membodohi Ayahmu, tapi aku yang paling tahu dirimu." Deidara menghela napas menghadapi Naruto. Kepalanya pusing hanya dengan memikirkan Adiknya, rasanya seperti memiliki hutang triliunan dolar yang harus dibayar dalam waktu 2 hari.
"Hm terserahmu saja." Naruto memejamkan mata saat merasakan sakit yang sangat menusuk dibahunya. Indra semakin fokus dengan pekerjaannya, hingga pertanyaan Kushinapun tidak dijawab. Keselamatan Naruto yang terpenting saat ini, pertanyaan Kushina tidak penting.
Minato dan semua orang di tempat itu menatap ngeri Naruto yang dioperasi tanpa dibius. Minato terus menghela napas untuk menenangkan dirinya. Berdoa semoga Naruto bisa bertahan.
***
"AAAARRRGGHHH!" raungan kesakitan terdengar lantang di tengah indahnya taman kecil di Mansion Senju. Di atas hamparan rumput terlihat seorang pria sedang berlutut dengan tubuh penuh luka. Di samping kiri dan kanannya berdiri dengan gagah pengawal Senju yang diperintah seenaknya oleh Madara. Sementara Madara berdiri angkuh menatap dingin pria yang terluka.
"Kau memilih lawan yang salah. Siapapun yang berencana melukai Narutoku, dia harus mati." aura kelam Madara menguar membuat dua pengawal Senju sedikit bergidik ketakutan.
"Ampuni aku, Tuan." si pria memohon dengan suara lirih yang hampir hilang karena terus berteriak kesakitan. Setelah berada diluar, Madara memerintah pengawal melepas baju dan celananya. Setelah itu lengan dan kakinya dipenuhi oleh luka sayatan benda tajam. Bagian depan tubuh dan punggungnya terasa mati rasa oleh bekas cambuk yang berduri. Telinga kirinya pun nyaris putus karena menerima pukulan keras menggunakan benda tumpul. Bahkan Madara mengeluarkan paksa bola mata kanan pria itu dengan wajah tanpa ekspresi.
"Untuk apa aku mengampuni sampah sepertimu?" Madara mendekati tahanannya lalu menendang dagu pria itu keras hingga membuatnya terjungkal.
"Bawakan aku air garam." perintah Madara pada pelayan yang berdiri didekat pintu geser. Pelayan itu segera menyiapkan apa yang diinginkan Madara.
Dengan wajah bak pembunuh berdarah dingin, Madara menyiramkan air yang bercampur garam itu pada tubuh polos si pria penyusup yang dipenuhi luka. Seketika pria itu berteriak keras karena merasa sakit disekujur tubuhnya.
Setelah cukup puas menyiksa si penyusup yang menembak Naruto, Madara segera mengarahkan ujung pistolnya ke tengah kening si pria. Setelah suara tembakan bergema, rintihan sakit si pria terhenti bersamaan dengan napasnya yang hilang.
Merasa urusannya sudah selesai, Madara segera membersihkan wajah dan tangannya dari darah menjijikan penyusup yang sudah menjadi mayat itu. Jubah plastik bernoda darah yang dipakainya dibuang begitu saja ke dalam tempat sampah. Dia tidak ingin gadisnya melihat jejak darah di tubuhnya.
"Naru?"
Naruto melirik Madara yang berjalan dengan wajah datar. Enggan menghadapi Madara yang Naruto yakini saat ini sedang menahan gejolak emosi yang merusak jiwa. Naruto tahu, Madara masih belum meredakan amarahnya. Tatapan datar Madara beralih ke Indra yang sedang fokus menggunting dan menjahit.
"Apa sudah selesai?" Indra hanya melirik tanpa berniat menjawab. Madara yang menerima respon seperti itu berdecih kesal. Jika tidak ingat dokter sialan itu sedang mengobati pujaan hatinya, Madara pasti akan mematahkan leher Indra saat ini juga.
"Brengsek aku bertanya padamu!" Indra tetap bungkam mendengar nada tinggi Madara. Hal itu membuat Madara kesal setengah hidup lalu menyambar pisau yang sempat dipegang Naruto. Semua orang yang ada disana sudah berkeringat dingin takut Madara lupa diri dan menikam Indra.
"Sayang, tenanglah." suara lembut Naruto mengalun membuat Madara melemparkan pisaunya entah kemana. Menghela napas lalu duduk disamping Minato. Kushina, Mito dan Nagisa menatap ngeri kekasih Naruto itu.
'Hah? Tidak ada adegan berdarah?' Deidara mencebik kesal dengan pemikiran anehnya.
"Bedebah itu sangat setia pada tuannya, aku gagal." Madara berkata pelan dengan tatapan tertuju pada Naruto.
"Tidak masalah, itu bisa kita urus nanti. Saat ini yang terpenting adalah Naruto." Minato menepuk pundak Madara.
"Hn."
.
.
.
Tbc
Aing terlalu sibuk mikirin healing yg belom kesampean gaes. Jadi ceritanya makin ngawur tapi maksa update. Maafkan kalo kurang berkenan diotak dan mata kalian.
>_<