Di rumahnya, Raka lagi asik ngemil keripik Maicih basreng. Raka sambil mastiin jadwal Manchester United ntar malem. Kan ini hari Sabtu, tapi sekarang masih siang.
Sehabis dari Hutan Pinus kemarin lusa, Raka mau nggak mau ngerasa semakin salah paham dengan sikap Ben. Bayangin aja, Ben selalu kepo bahkan terasa posesif ke Raka.
Terus, Raka juga jadi inget pesen-pesen chat dari Ben kemarin. Kalau dipikir-pikir, Ben seperti pacar yang galau karena nggak dikabarin pacarnya seharian. Sialan kampret. Ngapa dia uwu gitu.
"Nonton apa kok cengar-cengir aja kamu?" tanya ibu Raka yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
"Oh? Ini Ma, abis liat jadwal bola. Sekarang liat film Aquaman ini," jawab Raka. Dia langsung tahu lagu Sigur Rós yang jadi OST-nya karena musik dan suara vokalisnya khas banget.
Lalu, ibu Raka cuma diam tapi beliau ikutan duduk di sebelah Raka. Sekarang, Raka dan ibunya duduk bersebelahan. Ibu Raka pakai daster kain Bali warna ungu. Raka sendiri pake kaos ijo belel dan celana pendek item.
"Itu apa, basreng ya? Mama minta Ka," kata ibu Raka.
Raka menoleh ke ibunya lalu dia sodorkan sekantong keripik pedas itu. Ibu Raka mengintip ke dalam kantongnya. Lalu, beliau ambil segenggam keripik. Terus, beliau kembalikan sekantong keripik itu ke Raka.
"Mama kok jadi suka basreng sih? Pedes gini," gumam Raka.
Ibu Raka mengunyah keripiknya sambil bilang, "Gurih enak Ka. Mama kan suka pedes."
Raka cuma tersenyum nggak percaya, terus dia ngelanjutin nonton Aquaman di channel HBO di TV. Ibu Raka sekilas menoleh ke anaknya, beliau tanya, "Ka, temen kamu si Ben itu, temen atau pacar kamu?"
Seketika Raka tersedak. Bukan karena pedesnya si keripik tapi karena pertanyaan ibunya. Raka gugup, "K-kok Mama tau-tau nanya gitu?"
"Habis dia berangkat pulang sama kamu terus. Perasaan kamu juga deket sama siapa itu? Bagus? Tapi ya nggak bareng tiap hari," kata ibu Raka, curiga.
Raka mengatupkan bibir sambil tetap nonton TV. Ibunya juga sama. Sesaat cuma kedengaran suara efek jderr-jderr dan backsound film, dan kriuk-kriuk keripik dikunyah.
"Ben cuma temen Ma. Raka nggak punya pacar. Jadi Ben itu temen SMA. Dulu akrab sih. Trus sempet jauhan terus sekarang deket lagi," kata Raka sedikit mengarang indah.
Ibu Raka mengerutkan alis sambil mengunyah keripiknya lagi, "Soalnya Mama liat udah sebulanan ini kamu bareng dia terus. Kayak orang pedekate. Mama ya terserah kalo kamu ada cowok, tapi jangan aneh-aneh lah ya. Ben itu belok juga?"
Aduh. Pertanyaannya makin sulit. Nggak ada contekan jawaban gais. Raka mengunyah keripiknya pelan-pelan sambil mikir. Alah udahlah. Raka bilang, "Dia itu sih, ya dia juga suka sama cowok."
"Mmm, ternyata kamu ada temen kuliah kayak gitu juga. Kayaknya pas SMA, kamu nggak ada cerita tentang Ben," gumam ibu Raka. Keponya udah setingkat kabupaten sekarang.
"Ya pokoknya gitu Ma," sahut Raka asal. Dia lalu memilih buat beranjak aja, daripada terus diberondong pertanyaan soal Ben. Raka lalu berdiri dari sofa, dia taruh keripiknya di tempatnya duduk tadi.
"Ma, Raka mau manasin motor ya," pamit Raka.
Ibunya menoleh ke dia lalu beliau mengangguk. Ibu Raka kemudian mengambil kantong keripik Maicih di dekatnya dan nerusin ngemil sambil nonton film.
Raka kemudian ambil selembar tisu dan mengelap jari-jarinya sampai bersih dari bumbu keripik pedes. Habis ngebuang tisu di tempat sampah, dia lantas menuju garasi rumahnya. Mobil lagi nggak ada soalnya dibawa ayahnya ke bengkel buat ganti oli.
Lalu, Raka nyalain mesin motor Honda Scoopynya yang sebulanan ini jarang dipake.
"Skupi, maap nih gue jadi jarang naikin lo. Tapi kan lo gue panasin tiap hari. Biar hubungan kita tetap panas," gumam Raka sambil menepuk-nepuk jok motornya.
Setelah ngebiarin mesin motornya menyala sekitar lima menit lebih, Raka matiin mesinnya lalu dia ke kamar.
Raka ambil hp-nya dari saku celana. Dia baru sadar ada pesen chat dari Ben dua menit yang lalu. Isi chatnya "ka gw lagi pengen".
Raka langsung memutar bola mata pas dia ngebaca chat dari Ben itu. Jadi nyesel tadi sempet geer sendiri. Raka jadi sadar, kalau hubungan mereka cuma sebatas ena-ena.
Nggak semestinya Raka ngerasain emosi-emosi nggak penting seperti kesel, senang dan---kecewa. Lagian ini mulai terasa mengganggu dia. Terutama pas di Hutan Pinus kemarin. Muncul desiran aneh di dalam hatinya. Dasar hati ini emang nggak tau diri.
Raka menghela napas. Sebel juga, rasanya dia seperti jadi budak seks. Tapi, Raka juga menikmatinya. Dahlah bodo amat. Dia akhirnya ngebalas chat dari Ben yang bilang dia lagi pengen. Raka bales, "ok kapan? dimana?"
Sorenya.
Raka nungguin Ben jemput dia. Ayah dan ibu Raka tadi keluar ke Lotte Mart buat belanja keperluan rumah tangga. Jadinya Raka nungguin Ben sendirian di rumah.
Tadi, Ben ngajakin Raka ena-ena di rumahnya. Tapi Ben mau ngajakin Raka buat mampir dulu ke warung kopi kakaknya Abdul.
Sialan. Raka jadi nggak bisa menghilangkan perasaan geer di hatinya. Habis ini berasa kencan. Tapi Raka cuma ngejawab 'iya' buat semua ajakan Ben tanpa bertanya-tanya.
Akhirnya jam setengah enam, Ben dateng. Dia pake T-shirt tebal lengan panjang warna hitam, celana jeans dan sneakers. Dia juga pake tas selempang warna cokelat.
Raka langsung menenteng helmnya, keluar rumah, ngunci pintu ruang tamu. Dia ngedeketin Ben yang lagi nungguin di depan rumah. Lalu, pas udah di luar, Raka mengunci gembok pagarnya.
Ben merhatiin Raka pakai kemeja flanel lengan panjang motif kotak-kotak warna merah hitam yang nggak dikancingkan, T-shirt putih, celana jeans dan sneakers juga. Dia juga pake tas selempang tapi warna hitam.
Kok Raka cakep sih, pikir Ben.
"Heh," sapa Raka. Ben rada kaget, tapi dia langsung balik kalem.
"Lo suka ngopi kan?" tanya Ben.
Raka mengangguk, "Pokoknya enak."
Ben ketawa, "Enak enak. Abdul ini temen gue banget. Dia biasa ikut nimbrung jagain warung kopi kakaknya."
"Oh gitu," sahut Raka santai.
Entah kenapa sih, Ben nggak sabar aja ngeliat ekspresi Raka. Ben lalu mencubit pipi Raka. Kedua mata Raka melebar. Kaget tapi seneng entah kenapa. Fuck nyebelin, gerutu Raka dalam hati.
"Lo ngapain Ben cubit-cubit?" Raka menuntut.
"Pengen aja," jawab Ben.
"Nggak jelas lo," gumam Raka.
Lalu, Raka langsung naik ke atas sepeda motor Ben. Si Ben jadi senyum-senyum. Sebenernya Ben juga nggak paham sama dirinya sendiri yang semakin lama makin gampang gemes ke Raka. Tapi Ben nggak memusingkannya, dia pun tancap gas dan beranjak dari situ.
Nggak lama kemudian.
Sampai di warung kopi kakak Abdul, Ben parkir motor. Lalu, Raka turun dan ngelepas helm, Ben juga. Raka melihat-lihat tempat tersebut yang cozy banget.
Tempatnya di sebuah kedai kecil. Interiornya didominasi dinding batu bata dan tempat duduk dan meja kayu. Di dalam rame tapi nggak penuh sesak, jadi tetep nyaman.
Ben ngajakin Raka duduk di salah satu kursi dan meja kosong. Mereka pun duduk berseberangan sehingga Ben jadi berhadapan dengan Raka.
Lalu, setelah pesen dua gelas kopi, Ben nungguin minumannya dateng sambil ngerokok. Raka merhatiin Ben. Ini pertama kalinya mereka kencan---salah, maksudnya hangout bareng pas malem minggu.
"Nih?" tanya Ben sambil menyodorkan satu pak rokoknya dan korek api ke Raka.
Raka menggeleng lalu mengibaskan asap rokok tipis di depan wajahnya. "Gue kan nggak ngerokok," kata Raka.
Ben mengangkat alis, "Oiya ya. Eh kena asapnya ya."
Begitu aja, Ben langsung matiin dan ngebuang rokoknya yang masih utuh sebatang ke asbak yang ada di meja. Raka cuma bengong ngeliatin, mau nggak mau dia tersentuh. Aduh.
Nggak lama kemudian, dua gelas kopi pesenan mereka dianterin ke meja. Abdul yang mengantar.
"Yo gimana kabar lo Ben? Mana cewek lo?" tanya Abdul sambil celingukan.
Ben ketawa, "Cewek yang mana? Ini gue ngajakin temen. Raka, ini Abdul nih. Dul, ini Raka, temen kampus."
Si Abdul meringis dan bersalaman sama Raka. Raka balas bersalaman sambil tersenyum sopan.
"Gue duduk sini yaa," kata Abdul tiba-tiba. Dia lalu duduk di sebelah Raka.
Sontak Raka terkejut apalagi Ben. Tapi Raka cuma meringis, nggak tau harus gimana, dia ngikut aja. Sementara Ben tersenyum datar. "Lo nggak bantuin abang lo?" tanya Ben.
"Bantulah. Ya ini nemuin kalian bentar. Pengunjung spesial," jawab Abdul sambil ketawa. Ben ikut tersenyum.
Abdul lantas menepuk bahu Raka dan tangan Abdul dibiarin diem di situ. "Lo anak DKV juga berarti?" tanya Abdul.
"Enggak, gue di sasing," jawab Raka. Aneh, Abdul orangnya suka banget pegang-pegang tapi nggak bikin risih.
"Oh, di apa, Sastra Inggris? Lo jago Bahasa Inggris dong," tebak Abdul.
Raka tersipu, "Iya Sastra Inggris. Gue nggak jago sih. Pengennya jago makanya ambil jurusan itu, biar belajar."
Abdul ketawa santai. Lalu dia ngelepasin tangannya dari pundak Raka. Kata Abdul, "Ya bener sih. Belajar dulu, baru ntar jago ya."
"Bener banget," sahut Raka, dia ikutan tersenyum. Abdul asik juga orangnya. Bisa aja ngobrol garing tapi lucu, cari-cari topik. Berasa nyambung juga sama dia.
Penasaran sama Abdul, Raka berinisiatif nanya, "Lo lagi kuliah juga atau?"
"Gue baru lulus. Keliatan muda ya gue?" Abdul terkekeh.
Raka terbelalak, "Serius? Iya gue kira seumuran sama kita."
"Seumuranlah, beda tipis aja," kata Abdul.
Raka mengangguk setuju, "Hehe bener juga."
"Ehem," Ben tiba-tiba berdeham keras.
Raka dan Abdul langsung menoleh ke Ben. Si Ben pasang muka polos lalu menyeruput kopi dari gelasnya, dia nggak ngomong apa-apa.
Dalam hati, Ben nggak mengira kalau Raka yang kesannya cuek itu gampang akrab sama orang baru. Sialan sok akrab banget dia, pikir Ben.
Raka nggak ngerti apa-apa, dia cuma diem ngeliatin Ben. Lalu Abdul bilang, "Ya udah ntar ngobrol lagi. Kalo sama Ben gue mah sering ngobrol. Sampe bosen."
Setelah itu, Abdul berdiri dan tersenyum ke Raka dan Ben. Dia menepuk pundak Ben, lalu Ben ngebalas dengan anggukan aja. Abdul terus balik ke counter, ninggalin Raka dan Ben yang sekarang jadi berdua lagi.
Raka meneguk kopinya dengan perasaan hangat. Tapi Ben tiba-tiba nanya, "Lo barusan itu ngapain?"
Hah? Raka menatap Ben dengan ekspresi bingung.