07. Dia Tak Sendiri

12 4 15
                                    

Ini sudah saatnya Lala bangun dari tidurnya. Tepat pukul lima pagi.

"Astaga, udah senin aja," gumamnya pelan sembari meregangkan sendi-sendinya.

Sehari yang lalu atau lebih tepatnya di hari minggu kemarin, Lala dipaksa Lili untuk ikut bersamanya menuju rumah neneknya yang ada di ujung kota. Mereka bertiga berkendara dengan dijemput oleh Fatma—bibi Lala dari Papanya—menuju kediaman Mawar.

Diperjalanan kemarin, Lala hanya berdiam diri seperti biasanya. Tak seperti Lulu yang bercerita ini-itu pada Fatma yang sudah merawatnya sejak kecil.

"Jadi gitu, Bunda! Keren, 'kan, Lulu? Cuma Lulu, lho, yang bisa salto dikelas!"

"Iya, Bunda tau, kok, kalo Lulu itu keren! Jadi dapet nilai berapa dikasih pak guru?"

"Dikasih seratus dong!" jawabnya penuh rona Bahagia.

Seisi mobil menyunggingkan senyum senangnya. Lala yang mendengar cerita Lulu sedemikian rupa pun berusaha untuk tetap bisa menjaga emosinya tetap stabil saat sudah diluar rumah begini.

"Kalau Lala, gimana disekolah?" tanya Fatma tiba-tiba.

Otomatis Lala terdiam. Ia bingung harus menjawab apa.

"Biasa aja," jawabnya singkat.

Fatma melirik ke arah Lili yang ada disampingnya. Dan tentu saja Lili meresponnya dengan anggukan kepala agar Fatma maklum terhadap Lala.

"Kalau nanti kamu butuh buku kumpulan soal untuk ujian gitu, bisa minta ke Bunda, aja, ya! Pasti bakal Bunda pilihin buku yang bagus!"

"Iya, makasih Bunda." Lagi-lagi, balasan yang seadanya.

Jujur saja Lala masih mengingat momen itu. Momen dimana mereka turun dari mobil dan mulai menjumpai neneknya yang tinggal seorang diri. Lala merasakan ada hawa yang berbeda dari biasanya terhadap rumah itu. Namun ia menghiraukannya begitu saja demi kenyamanan mereka Bersama.

"Udah, jangan diinget lagi, ih. Aku harus sekolah hari ini."

Lala bangkit dari ranjangnya dan mulai melangkah menuju kamar mandi.

Selesai berbenah dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, tepat pukul setengah tujuh pagi, ia sudah siap dengan seragam putih abu-abu khas anak SMA di hari senin dan selasa.

Kalau hari rabu, ia pakai batik. Di hari kamis baju olahraga, jum'at pramuka, dan sabtu seragam khusus SMA Cemerlang yang berwarna kuning air dipadukan dengan bawahan cokelat pramuka—seperti rok atau celananya.

"Ma, aku pergi dulu."

Serasa de javu, Lala melihat ada lelaki yang berdiri di depan etalase kue milik Lili. Namun bedanya, kali ini lelaki itu melihatnya secara utuh. Dari kepala hingga kaki.

"Eh, tunggu, ini Kala dateng, nyariin kamu katanya."

Lala menyerit. Ada apa gerangan ini?

Kala mengangkat tangannya dengan kaku. "H-halo, Lala. Gue Kala."

Lala hanya melihat lelaki itu sekilas. Kemudian berlalu meninggalkan keduanya dengan wajah yang tentu saja kebingungan.

"Tante, Kala pamit dulu, ya."

Dengan Langkah yang cukup cepat, Kala menyusul Lala yang sudah hampir sampai di mulut gang.

"Lala!"

Panggilan itu membuatnya terhenti. Ini pertama kalinya.

"Sorry kalo gue ganggu lo," ujar Kala saat sudah berada di depan gadis itu. "Tapi ada yang harus gue tanya secepatnya. Boleh, 'kan?"

Lala meremas tali ranselnya dengan erat. Ia tak nyaman melakukan interaksi semacam ini.

Give Me Your Forever [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang