35. Sebuan Komentar Untuk Kedua Kalinya

16 4 0
                                    

Selamat Membaca
-
-
-
-
-

35. Sebuah Komentar Untuk Kedua Kalinya

"24 jam mikirin komen apa yang pantes buat live IG nya Ria."

~~~🥀~~~


Di ruang Bimbingan Konseling kini sudah terlihat Adel dan Ilvan yang duduk bersampingan, menunggu Ibu Anne berbicara.

"Adel, Ilvan, sebelumnya ibu mendapat panggilan dari ayah kalian. Beliau memberitahu ibu jika kalian satu ayah, beliau juga menginginkan kalian akur kembali seperti dulu."

"Kenapa harus BK bu? Lagian kita akur-akur aja kok bu," Ilvan menjawab sedikit nyolot.

"Begini Ilvan, ibu akan membuka konsultasi jika kalian kesulitan dalam menjalin kembali hubungan pertemanan atau saudara." Ibu Anne berucap selembut mungkin.

"Kita bisa sendiri bu, lagian kita bukan anak kecil lagi yang masih dibantu orang kalo nyelesein masalah pribadi," Ilvan menjawab tak sabaran.

"Heh," Adel menyikut pelan tangan Ilvan. "Maaf bu," Adel tersenyum canggung.

"Tidak papa nak... ibu hanya khawatir, karena pernah ada kejadian seperti ini akhirnya mereka jadi berjauhan dan tidak akur. Ibu hanya takut kalian mengalami itu, mengingat kalian adalah teman yang cukup dekat."

Adel sedikit menundukan kepalanya sebelum menjawab.
"Terimakasih atas perhatiannya ibu, tapi kami bisa kembali akur dengan sendirinya. Kami akan temui Papih nanti dirumah untuk membicarakan ini."

"Baik kalau begitu. Selesaikan dengan kepala dingin ya anak-anak... untuk privasi kalian tenang saja."

Ibu Anne mempersilahkan mereka keluar. Sungguh pembicaraan yang sedikit tak berfaedah. Bahkan Ilvan hampir mengatakan 'ibu gabut ya? Gak ada temen ngobrol' tapi untung saja bisa ia tahan.

"Garing banget si Bu Anne," Ilvan menghentakan kakinya kesal. Jika saja ia tidak membuang waktu di Bk pasti dia sudah berada di tempat ternyaman di pojok GOR melihat aksi Wahyudi Firdaus dan Niken Sabrina menyampaikan materinya.

"Jangan gitu. Nanti pulang, temuin Papih, kita ngobrol bertiga," Adel berbicara dengan terus berjalan menuju GOR.

"Kangen kakak!" Ilvan berlari layaknya anak kecil untuk memeluk Adel dari samping.

"Maaf, tapi gue gak kangen lo."

Ilvan melepaskan pelukannya dengan cepat. Menatap Adel dengan tatapan penasaran dengan hidung yang hampir memerah.

"Beneran?"

Adel terkekeh sebentar, "Nggak, sini peluk."

Adel mengusap lembut rambut Ilvan, dengan senyumnya yang samar ia mendengar beberapa kata yang datang dari adik tiri nya itu.

"Kalo lu gak kangen sama gue. Gue gak bakal peluk lu lagi kak."

"Emang siapa yang mau dipeluk situ?" Lagi-lagi Adel mengejek.

"Kakak!" Nada merengek terdengar dari Ilvan.

~~~🥀~~~

"Saya mau tanya. Seberapa pentingnya kesiapan mental untuk perjalanan menuju masa depan?" Tanya lelaki berambut gondrong yang menjadi tamu materi acara Canus.

Perempuan disampingnya yang sedang memegang mikrofon melangkah maju, melangkahkan kakinya diantara tempat duduk yang dikosongkan. "Gimana kalau kita tanya murid-murid Canus saja." Ucapnya sehingga Bang Yudi yang tadi bertanya mengangguk dan menjawab, "Boleh itu."

          

"Yu, saya sama Bang Yudi udah nyiapin satu bingkisan buat yang berani jawab," Mbak Niken mengangkat satu bingkisan kecil di tangan kiri-nya.

"Ada gak ini?" Bang Yudi kembali bertanya.

"SAYA!"

Plak

"Pelan aja bisa gak sih?" Tanya Bintang setelah memukul paha Lograr.

"Nanti gak pada denger bego!"  Sarkas Lograr dengan bisikan.

"Wah saya harus jalan jauh banget ya," ucap Bang Yudi seraya berjalan menuju pojok gor dipaling belakang, tempat kumpulan pemuda G.A.B berada.

"Silahkan Dek, apa pendapat kamu," Bang Yudi memberikan satu mikrofon kepada Lograr.

~~~🥀~~~

Dion, Mira, Adel dan Ilvan duduk di atas rumput hijau di belakang rumah Mira. Setelah mereka berbicara di ruang tamu yang dipenuhi ketegangan, mereka berniat untuk berpindah tempat agar merubah suasana.

"Sebentar ya, mamih ke dapur dulu," Mira beranjak dari duduknya, meninggalkan tiga orang dengan perasaan canggung.

"Selama ini papih dimana?" Adel membuka topik.

"Papih menetap di Bulgaria, tapi akhir-akhir ini bulak-balik ke beberapa negara buat urus pekerjaan."

"Pantes bikin pusing," Ilvan bergumam kecil. Dirunya tengkurap dengan tangan yang bergerak mengelus Ojak.

Dion melirik anak pemuda itu, "Soapa yang bikin ousing?"

"Ayah lah, pertama ada di Perancis, terus pindah ke kota lain. Sampe pengen tak hajar."

"Kok tau?" Dion menatap Adel dan Ilvan bergantian.

Ilvan mengangkat kelima jari tangannya di depan Dion, "Cukup anak muda yang tau, orang berumur jangan tau."

Dion hanya menghela nafas melihat sifat Ilvan yang pertama dali dilihatnya. Awalnya ia kira anaknya itu akan kalem atau childish, tetapi. Sangat menyebalkan.

Matanya beralih kepada Adel yang tengah menggeram kesal saat melihat ponselnya.

"Ada apa Adel?" Pertanyaan Dion membuat sang gadis mendongkak menatapnya.

Adel terdiam sebentar, "Adel keluar sebentar pih."

Adel beranjak pergi menemui Mira. Berpamitan untuk pergi menuju cafe miliknya.

Ia melajukan motornya dengan emosi, disaat Vanie mengirim foto Galaxy Cafe sudah berantakan di beberapa bagian.

Ia menulikan telinganya mendengar umpatan para pengendara dan pejalan kaki di jalanan Lembang. Di benaknya terus berpikir siapa seseorang yang sudah menunggu untuk dirinya hancurkan?

Meski hanya masalah Cafe yang dihancurkan, itu sudah menjadi sebuah penghinaan untuk Adel, selain membuat pelanggan berpikiran negatif jika ia mempunya masalah, itu juga bisa membuat beberapa klien yang akan bekerja sama malah memilih mengundurkan diri.

"Datang juga lu bitch," perempuan dengan tinggi semampai berdiri jauh di depannya.

"Sandra, tutup. Dan lu, Rosa, ikut gue." Adel berubah, kini amarah menyelimutinya. Apalagi saat ia berpikir jika Rosa adalah orang yang melakukannya.

Aku, Kamu & LEMBANG (END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt