#02. Unstoppable

540 58 43
                                    

San x Wooyoung

. . .

Kemarin ketinggalan. Video trailer edited by me :D

. . .

CAUTION :
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek2 baper(?). Gejala seperti naiknya tekanan darah, euforia, cengengesan, mual2 dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

Pagi-pagi sekali, Wooyoung berjalan di jalanan sekitar rumahnya untuk menuju ke sekolah. Dia menguap selagi membuka ponsel dan mengecek notifikasi. Umpatan dan gerutu pun terlontar dari mulutnya karena temannya belum membalas pesan yang dikirimkannya semalam.

“Apa sih yang dilakukan anak berengsek itu semalaman?” Wooyoung kembali membuka obrolannya dengan Yeosang dan berniat mengirimkan pesan lagi.

Akan tetapi, sebuah panggilan lebih dulu masuk dari San di waktu yang amat tepat. Wooyoung menjawab telepon tersebut dan berceloteh, “Hei San, apa Yeosang menghubungimu? Anak gila itu sama sekali tidak—”

Kata-kata Wooyoung terpotong saat San menyampaikan, “Yeosang masuk rumah sakit.”

Kedua kaki Wooyoung sontak berhenti. “Kau bicara apa? Apa maksudnya itu?” dia mempertanyakan dengan nada menggugat—sebab, pikirnya, apa-apaan ini?

“Nanti akan kujelaskan. Sekarang tunggu aku di tempat biasa.”

Wooyoung mematikan telepon, lalu memasukkan ponselnya kembali sembari mulai mengambil langkah berlari. Dadanya bergemuruh dan batinnya tak tenang. Kabar dari San membuatnya kalut bukan main.

Tak berapa lama Wooyoung dan San akhirnya tiba di rumah sakit. Sewaktu keduanya masuk ke ruangan tempat Yeosang dirawat, di sana telah ada beberapa teman sekelas mereka yang menemani Yeosang.

Sementara Yeosang sendiri, Wooyoung amat bersyukur karena dia melihat sobatnya yang satu itu berbaring di tempat tidur dalam keadaan sadar, meski dengan beberapa perban dan plaster di beberapa bagian tubuh serta wajah. Setidak-tidaknya, pemandangan itu jauh lebih baik dari yang ada dalam pikiran paranoid Wooyoung—di mana dia sempat berpikir bahwa Yeosang sekarat, kritis, terluka parah, koma, tak tertolong.

Wooyoung begitu lega sampai-sampai saat Yeosang menyebut namanya, dia tanpa sadar sudah berlari dan merengek pada anak lelaki tersebut. “Kang Yeosang, sayangku! Syukurlah kau tidak mati!”

Lalu, San menempeleng kepala Wooyoung sebelum pemuda itu memeluk Yeosang yang tubuhnya penuh luka. Sambil mengusap-usap kepalanya, Wooyoung menekuk lutut di sebelah ranjang Yeosang—memperhatikan tiap jengkal bagian tubuh temannya tersebut dengan teramat jeli—dan berkata, “Kau oke, kan? Ceritakan padaku apa yang terjadi.”

          

“Masih anak-anak yang sama?” San bertanya.

Yeosang mengangguk. “Maaf, aku tidak bisa membereskan mereka.”

“Siapa yang peduli itu?” Wooyoung membalas. “Harusnya sekarang mereka bersyukur karena kau tidak menghabisi mereka.”

“Wooyoung, kau harus lebih berhati-hati mulai sekarang,” Yeosang berkata. Sejenak berikutnya dia memandang semua yang ada di ruangan tersebut seraya mengatakan, “Mereka membawa senjata tajam, dan mereka tidak akan segan-segan melukai kalian.”

“Senjata tajam?” Wooyoung mengulangi perkataan Yeosang.

Yeosang sekali lagi mengangguk, dan Wooyoung lantas meneliti sekali lagi pemuda tersebut dari ujung ke ujung. Dia baru menyadari, perban-perban yang membalut tangan serta beberapa bagian wajah Yeosang bukanlah untuk menutupi luka lecet atau memar semata. Darah yang terlihat di baliknya terlalu pekat untuk luka kecil.

Wooyoung pun menyadari bahwa itulah luka-luka akibat senjata tajam yang diceritakan Yeosang.

“Kau tidak terluka parah?” San bertanya pada Yeosang, sekadar memastikan bahwa temannya yang satu itu memang benar-benar telah berada dalam kondisi baik.

Ketika Yeosang mengangguk dan menjawab, “Jangan khawatirkan aku.”

Semua merasa lega—kecuali Wooyoung.

Wooyoung masih memandangi Yeosang, dan yang paling membuatnya tergerus adalah luka di pipi serta pelipis anak lelaki tersebut. Tangannya sempat terangkat, seakan ingin menyentuh luka di sana, tapi terlalu ragu untuk melakukannya. Dia takut kalau luka itu lebih parah dari yang terlihat.

Jadi Wooyoung hanya memandangnya saja. “Yeosang ... wajahmu ....”

Yeosang justru tersenyum. “Ini akan jadi luka kehormatan,” dia berkata sambil menyentuh luka yang tertutup perban di pipinya. Seakan-akan itu hal yang pantas dibanggakan.

Akan tetapi, Wooyoung merasa sakit mendengarnya. Dia tahu lebih dari siapapun betapa Yeosang amat percaya diri dengan wajahnya dan selalu membanggakannya. Yeosang selalu mengatakan bahwa ketampanannya adalah asetnya, kelebihannya, senjatanya untuk mengambil hati orang.

Dan sekarang dua buah bekas sayatan akan menghiasi wajah elok itu selamanya.

Wooyoung tidak bisa menerima hal ini.

Karenanya, tanpa banyak mengulur waktu lagi Wooyoung langsung menegakkan diri. “Kau jangan khawatir,” ucapnya pada Yeosang sambil tersenyum. “Urusan ini, serahkan saja padaku.”

Ketika Wooyoung membalikkan badan, Yeosang sempat ingin memanggil dan menghentikannya, tapi San kemudian ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Sesaat selanjutnya semua yang ada di sana pun membuntuti kedua pemuda tersebut keluar dari ruangan.

Ketika tersisa Yeosang seorang di ruangan tersebut, seorang anak lelaki muncul di ambang pintu. “Sunbae,” dia memanggil, entah tengah menyapa atau sekadar mengucapkan panggilan itu saja.

Yeosang menghela napas pelan. “Mau apa kau ke sini?” dia bertanya.

“Aku menunggumu semalaman. Kau tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku.”

Yeosang menatap ke arah lain. Dia membalas saja, “Maaf.”

Anak lelaki itu berjalan masuk dan berdiri di sebelah Yeosang, akan tetapi Yeosang tak mau menatapnya. “Kenapa tidak menghubungiku?”

Pertanyaan itu pun tak mendapat jawaban. Bukannya memberikan penjelasan, Yeosang malah mengatakan, “Maaf. Wajah cantik yang kau sukai sekarang sudah rusak.”

Love & Pride | ATEEZ Sanwoo [COMPLETE]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora